Sejarah Bahasa Indonesia: Tipis dan Tergesa
Sutan Takdir Alisjahbana, penulis buku ”Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia” dan pemimpin redaksi majalah ”Pembina Bahasa” Indonesia, memiliki pengertian sejarah belum berubah mengenai peringatan hari (kelahiran) bahasa Indonesia. Ia menandai bahasa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Judul: Masa-masa Awal Bahasa Indonesia
Penulis: Harimurti Kridalaksana
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetak: 2018
Tebal: x + 112 halaman
ISBN: 978-602-433-594-6
Sutan Takdir Alisjahbana, penulis buku Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia dan pemimpin redaksi majalah Pembina Bahasa Indonesia, memiliki pengertian sejarah belum berubah mengenai peringatan hari (kelahiran) bahasa Indonesia. Ia menandai bahasa Indonesia dalam peristiwa Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).
Pada 1968, Sutan Takdir Alisjahbana melalui artikel di Kompas membuat pengukuhan sejarah: ”Pada waktu memperingati dan merajakan empat puluh tahun bahasa Indonesia ini, pada tempatnja kita merenungkan apa sebabnja bangsa kita dapat berhasil sebaik itu dalam lapangan bahasa, djauh lebih baik, misalnja dari tetangga kita Malaysia”.
Artikel ini memastikan hari permulaan mengacu pada 28 Oktober 1928. Pendapat itu perlahan mendapat saingan dari keinginan para ahli bahasa Indonesia dalam mencari tanggal bersejarah. Sekian ahli menginginkan peringatan sejarah bermula 18 Agustus 1945, saat bahasa Indonesia termaktub dalam UUD 1945.
Pendapat demi pendapat bermunculan membawa bukti dan argumentasi selalu sedikit, tak pernah berkelimpahan untuk mengadakan perbandingan kritis. Usulan berulang dengan pemantapan disampaikan Harimurti Kridalaksana dalam buku berjudul Masa-masa Awal Bahasa Indonesia (2018). Usulan tersebut masih jarang mendapat mufakat besar, belum terbukti dengan pengadaan upacara peringatan.
Ia memilih tanggal 2 Mei 1926 sebagai hari bersejarah bahasa Indonesia. Argumentasi belum matang, cuma berbekal pengakuan di buku biografi M Tabrani berjudul Anak Nakal Banyak Akal. Buku tersebut tidak dikuatkan pemerolehan dokumen-dokumen bertahun 1926 mengenai Kongres Pemuda I.
Rancangan sumpah sudah diadakan sejak 30 April-2 Mei 1926 sebelum mendapat pengesahan pada 28 Oktober 1928. Tabrani mengenang bahwa pembuat rumusan itu Muhammad Yamin.
Pembeda sejarah adalah penentuan nama untuk bahasa dipilih dalam menggerakkan nasionalisme dan memuliakan Indonesia. Yamin menginginkan bahasa persatuan itu dinamai bahasa Melayu. Tabrani menginginkan nama bahasa Indonesia. Pada masa 1920-an, nama itu belum ada. ”Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini,” pengakuan Tabrani.
Buku itu sumber terpokok bagi Harimurti Kridalaksana ingin membenahi atau mengubah anggapan telanjur dimufakati mengenai sejarah (kelahiran) bahasa Indonesia. Usulan masih sepi polemik. Publik tetap saja mengingat bahasa Indonesia bertanggal 28 Oktober 1928, bukan bertanggal 2 Mei 1926. Kita mungkin bakal mendua jika usulan itu berterima dan mendapat peresmian dari pemerintah.
Publik bakal mengadakan peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Lahir Bahasa Indonesia. Kita masih enggan memberi tanggapan kepada Harimurti Kridalaksana jika tak ada susulan bukti dokumen atau kesaksian sejarah. Usulan di buku tipis terlalu sulit memikat penasaran intelektual. Kepustakaan di penjelasan pun terbatas.
Nama Tabrani diajukan sebagai tokoh bahasa Indonesia bersama pengenalan para tokoh masa lalu: Ki Hadjar Dewantara, Soemanang, Soedarjo Tjokrosisworo, Sutan Takdir Alisjahbana, Poerbatjaraka, Sanoesi Pane, dan Armijn Pane.
Niat ingin menulis sejarah bahasa Indonesia terasa memiliki pelbagai hambatan dan keterbatasan tanpa ada pengumpulan referensi dan penataan secara urut. Buku garapan Harimurti Kridalaksana masih ”percobaan” dengan kekurangan dan kelemahan.
Daftar nama penggerak dan penentu sejarah bahasa Indonesia belum lengkap. Di luar daftar nama tokoh buatan Harimurti Kridalaksana, kita diajak melupakan nama-nama penting di arus pembentukan dan pemajuan bahasa Indonesia. Peran mereka besar sebelum terjadi penamaan bahasa Indonesia dan peristiwa Sumpah Pemuda.
Peran Tirto dan Marco
Nama yang sering disingkirkan dari sejarah bahasa dan sastra ”resmi” di Indonesia adalah Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo. Pada 1985, Pramoedya Ananta Toer mengusulkan Tirto Adhi Soerjo ada di arus kesejarahan bahasa Indonesia.
”Ialah orang yang dengan sadar meletakkan alas dasar bagi bahasa Melayu-lingua-franca sebagai alat komunikasi bagi bangsa-bangsa yang terperintah di Hindia, sedangkan bahasa Melayu sekolah atau resmi atau diplomasi atau dinas atau Gubermen sebagai bahasa yang memerintah. Melayu-lingua-franca ini kemudian berkembang menjadi bahasa organisasi dan perjuangan, juga bahasa pers sampai jatuhnya kekuasaan Belanda”, tulis Pram dalam buku berjudul Sang Pemula (1985).
Tirto Adhi Soerjo, pengarang dan jurnalis Medan Prijaji, memiliki tempat terhormat dalam sejarah bahasa sebelum dinamai bahasa Indonesia pada 1926. Marco Kartodikromo, pengemudi Doenia Bergerak dan penggubah teks-teks sastra sebelum kuasa Angkatan Balai Pustaka, telah berjasa pula membesarkan dan memuliakan bahasa di arus terhubung ke Kongres Pemuda I (1926), Kongres Pemuda II (1928), dan Kongres Bahasa Indonesia I (1938).
Harimurti Kridalaksana tak pula memiliki daftar para penulis peranakan Tionghoa dalam pemuliaan dan pemajuan bahasa Indonesia sejak 1926 sampai peresmian di UUD 1945. Buku bermaksud menghormati sekian tokoh justru sengaja melupakan tokoh-tokoh turut memberi pengaruh besar.
Peristiwa tahun 1926 dan 1928 mulai membedakan bahasa Indonesia dan Melayu secara politik dan kultural. Pemilihan dan persumpahan nama bahasa Indonesia dijelaskan menjadi cara melawan kolonialisme. Bahasa itu demi persatuan. Sebutan sudah berubah dalam Sumpah Pemuda, tetapi dalam penulisan pelbagai berita, artikel, dan buku sampai masa 1930-an, sebutan bahasa Indonesia dan Melayu masih dianggap sama, digunakan secara bergantian tanpa berhitung dampak politis.
Harimurti Kridalaksana lekas saja menganggap Sumpah Pemuda sudah titik terakhir untuk penentuan dua jalan berbeda: bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Penjelasan singkat tak mengikutkan ”gerbong-gerbong” bukti dan argumentasi.
Pada masa 1930-an, Harimurti Kridalaksana memilih mengenang Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938). Pada saat persumpahan 1928, bahasa Jawa sengaja tak dipilih sebagai bahasa persatuan. Kongres Bahasa Indonesia I diadakan di tempat ”kental” sejarah dan perkembangan bahasa Jawa. Di Solo, peristiwa itu seperti ”pertemuan” ide-ide ingin akur agar gejolak bahasa Indonesia mendapat sejenis ”restu” di ruang bersejarah bagi bahasa Jawa.
Solo itu ruang utama bagi politik bahasa kolonial dalam pematuhan dan pembuatan sejarah baru. Pada 1832, Institut Bahasa Jawa dibentuk di Solo. Perbedaan situasi dan masa tak mendapat penjelasan sejarah dan politik untuk menempatkan Solo dalam sejarah awal pelaksanaan kongres dan pemajuan bahasa Indonesia. Pembaca diajak mengingat sejenak saja kongres di Solo tanpa ada gejolak berdampak bagi bahasa Indonesia dan Jawa. Begitu.
Bandung Mawardi
Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah