JAKARTA, KOMPAS –Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengajukan uji materi terhadap pasal 114a Peraturan Pemerintah No 13 tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Pasal tersebut dinilai melanggar aturan karena menerobos sejumlah regulasi maupun perundangan.
Tim Advokasi Keadilan Ruang tersebut mempermasalahkan Pasal 114a PP No 13 tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pasal ini mengizinkan beberapa kegiatan yang tercantum dalam Lampiran PP RTRW Nasional untuk melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan pemerintah daerah kabupaten/kota maupun provinsi.
Daftar proyek tersebut disinyalir erat kaitannya dengan proyek strategis nasional. Dengan pasal 114a PP RTRW Nasional, proyek yang ada dalam Lampiran PP tersebut diizinkan mendapatkan izin pemanfaatan ruang sekalipun tidak ada dalam RTRW Kab/Kota atau RTRW Provinsi.
“Dalam hal rencana kegiatan pemanfaatan ruang bemilai strategis nasional dan/atau berdampak besar yang belum dimuat dalam peraturan daerah tentang rencana tata ruang provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota, dan/atau rencana rincinya, izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini,” bunyi pasal 114a.
Tim Advokasi Keadilan Ruang menganggap pasal 114a PP RTRW Nasional merusak tatanan hukum perencanaan tata ruang yang telah dibangun UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pembolehan dalam pasal 114a PP RTRWN ini, dianggap merusak tatanan hukum yang telah dibangun UU Tata Ruang, yang mengharapkan rencana tata ruang dibuat secara “komplementer dan berjenjang.”
Dwi Sawung, Pengkampanye Energi dan Perkotaan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jumat (10/5/2019) di Jakarta, menuturkan Pasal 114a telah beroperasi dalam konteks riil, “Ada proyek yang telah jelas cacat izinnya karena ketidaksesuaian dengan rencana tata ruang daerah. Di perkara PLTU Cirebon 2, bahkan izin lingkungannya telah dinyatakan batal dan diperintahkan dicabut karena ketidaktaatan ruang. Tapi setelah dibatalkan pengadilan, pemerintah malah mengeluarkan lagi dengan dasar Pasal 114a PP RTRW Nasional,” kata dia.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, menuturkan alasan lain pengajuan uji materi adalah dilewatinya penyusunan RTRW dari proses yang penting yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Nelayan tradisional berulang kali menggunakan instrumen hukum untuk mempertahankan ruang hidupnya yang terancam proyek infrastrtuktur mulai dari PLTU Batubara hingga Tanggul Laut Raksasa (NCICD) dengan mengawal perizinan pemanfaatan ruang dan KLHS.
“Pasal 114a PP RTRW Nasional jadi jalan pintas memaksakan proyek tersebut dengan cara yang sewenang-wenang dan melanggar hak-hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidupnya,” ujar Marthin.
Pasal 114a PP RTRW Nasional jadi jalan pintas memaksakan proyek dengan cara sewenang-wenang dan melanggar hak nelayan atas tanah tempat tinggalnya dan wilayah perairan sebagai ruang hidup.
Belum spesifik
Terkait hal itu, Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar IPB yang juga Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan detil rencana tata ruang wilayah provinsi maupun daerah, belum spesifik mencantumkan nama proyek. “Jadi tidak dimasukkan dalam konteks ruang baik. yang diagendkan detil tata ruang provini atau kabupaten,” katanya.
Pola ruang dibedakan dalam lindung dan budidaya serta pola struktur dalam perkotaan dan perdesaan. Ia menyebut dalih proyek strategis nasional merupakan kebutuhan nasional yang tak memiliki hubungan strategi ruang.
Namun diakuinya, sejumlah proyek strategis nasional yang mendapatkan perlindungan khusus itu bermasalah di lapangan. Menurut dia, meski dicap sebagai proyek strategis nasional, itu harus mengikuti berbagai regulasi yang ada termasuk persyaratan lingkungan.
“Semua proyek itu tidak lepas dari kualifikasi amdal dan izin lingkungan. Toh itu kalau sudah disahkan harus sesuai tata ruang kalau diurut dalam normanya,” ungkapnya.
Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif RUJAK, menyayangkan nuansa sentralistik yang dibawa Pasal 114a, “Perubahan RTRW Nasional terutama pada Pasal 114A justru membawa kebijakan tata ruang Indonesia kembali pada kebijakan sentralistik, top down dan cenderung otoriter,” ujarnya.
Jika harapan pemerintah pusat agar ada pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam berbagai otorita ruang, tidak berarti jalan keluarnya hanya bisa sentralistik. Pemerintah pusat seharusnya menfasilitasi kerja sama ketataruangan antar daerah.
Elisa menambahkan, perubahan ini menjauhkan kepentingan rakyat, yang aspirasinya disampaikan melalui pemerintah daerah, baik kota, kabupaten dan provinsi dapat sewaktu-waktu dan tiba-tiba diingkari atas nama proyek strategis nasional. Para pemohon berharap Mahkamah Agung mempertimbangkan semua alasan permohonan secara obyektif dan mengabulkan permohonan mereka.
Para pemohon juga mengingatkan para pelaku usaha yang melaksanakan pembangunan proyek strategis nasional juga untuk tetap memperhitungkan ketiadaan usaha dan/atau kegiatan dalam RTRW kabupaten, kota, dan provinsi. Pemegang proyek agar tidak mengandalkan Pasal 114a dalam memproses izin pemanfaatan ruangnya.