Kampung Tempe Memupus Kesan Kumuh
Kawasan tempat produksi tempe selalu terkesan kumuh dan kotor. Akan tetapi, kehadiran Kampung Tempe di RT 03 RW 02 Kelurahan Koang Jaya, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang, mematahkan mitos tersebut.
Jarum jam menunjukkan pukul 10.00. Terik matahari di Kota Tangerang menyengat kulit. Namun, panas itu tidak menyurutkan kerja perajin tempe di Koang Jaya. Mereka mengaduk, merebus kacang kedelai dalam drum di atas perapian dari kayu bakar.
Pekerja lainnya sibuk membilas kacang kedelai yang sudah direbus. Air cucian menuju saluran khusus, sehingga tempat produksi tempe tetap kering dan bersih.
Setelah bersih, kedelai dicampur bubuk ragi tempe dan dimasukkan dalam plastik atau daun pisang. Mereka tidak menggunakan pewarna dan pengawet.
Achmad Turin (44), perajin tempe, telah menerapkan pola produksi bersih untuk usahanya. “Sejak menjadi Kampung Tempe, sekitar 2 bulan lalu, kami diajarkan cara memproduksi tempe dengan memperhatikan lingkungan bersih.”
Seiring menjadi Kampung Tempe, sejumlah 33 perajin di Koang Jaya ini juga mendapatkan pelatihan tentang pembuatan tempe yang bersih, pemasaran, dan diversifikasi usaha. “Selama ini, kami hanya menjual tempe mentahnya saja. Belum terpikir untuk meningkatkan produk menjadi lebih bernilai, misalnya membuat produk olahan tempe untuk oleh-oleh atau tempe yang bisa dikonsumsi langsung,” kata Achmad.
Teti Kusmawati (30), perajin tempe sejak tahun 2006, memanfaatkan hasil pelatihan untuk membuat susu kedelai dan tempe orek. "Sehari, saya memproduksi 20 botol (berukuran kecil) dan 20 bungkus orek tempe. Selain pelanggan memesan langsung, saya juga menitipkan ke tempat oleh-oleh di kantor kecamatan. Belum ada tempat pasaran lain.”
[gallery ids="114074323"]
Teti belum berani memproduksi dalam jumlah banyak karena usaha ini termasuk baru. Ia mengaku masih harus meningkatkan pengetahuan tentang pengolahan susu kedelai maupun orek tempe agar hasilnya lebih prima.
“Kalau susu kedelai kan tidak tahan lama. Kalau orek bisa tahan sebulan. Ke depannya, kami berharap jangkauan pemasaran produksi tempe dan hasil olahan tempe dari sini bisa semakin luas bahkan bisa masuk ke toko modern, hotel, dan restoran,” tambah Teti yang menjadi perajin tempe setelah menikah dengan Hamdan (40) yang juga perajin tempe.
Perajin seperti Teti dan suaminya, menggunakan 1 kuintal kacang kedelai sehari untuk menghasilkan puluhan papan tempe berukuran 2 meter. Sebagian kecil perajin memanfaatkan sedikit kedelai itu untuk produk olahan tempe.
Adapun tempe selama ini masih dijual ke Pasar Malabar, Ramadani, dan Pasar Anyar, Kota Tangerang.
Sejauh ini, produksi tempe sudah punya pelanggannya. Akibatnya, sulit mendapatkan produk mereka dalam jumlah banyak tanpa memesan terlebih dulu. "Kalau mau beli banyak, harus pesan beberapa hari sebelumnya,” kata Sukadi, perajin tempe asal Ponorogo.
Dalam sehari, Sukadi memproduksi 700-800 potong tempe dalam ukuran berbeda. Di antaranya 250 paket tempe mendoan. Satu paket terdiri dari lima helai tempe yang dipotong tipis.
Sejumlah 300 potong tempe dikemas segitiga untuk bacem. Sisanya tempe balok dan tempe berbentuk bujur sangkar.
Tergusur kereta bandara
Pepep Taufik (47), perajin tempe sekaligus tokoh masyarakat setempat, mengatakan, perajin Koang Jaya semula bermukim di Kali Kober, Kota Tangerang. Para perajin ini sudah ada sejak tahun 1980-an.
Saat pemerintahan Presiden Soeharto, perajin tempe dalam masa kejayaan. Selain mendapat kacang kedelai bersubsidi, perajin yang termasuk dalam Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia di Kota Tangerang mendapat tawaran tempat produksi yang baru di Koang Jaya.
“Lokasi industri rumahan tempe ini harus berdiri di tempat yang spesifik. Selain harus dekat dengan air atau sungai, lokasi tempat produksi tidak boleh bergabung dengan masyarakat umum. Ini terkait dengan limbah,” kata Pepep.
Limbah yang dihasilkan dari industri tempe ini antara lain air buangan pencucian, polusi udara karena menggunakan kayu bakar untuk memasaknya, dan juga bau dari gas metan yang dihasilkan saat produksi tempe.
Di Koang Jaya, tersedia 115 kapling untuk perajin tempe. Perajin di Kober tergusur dan pindah ke Koang Jaya sejak tahun 1990-an, karena lahan mereka akan dibangun jalur kereta bandara.
“Awalnya hanya lima perajin yang menempati Koang Jaya. Secara bertahap, sampai tahun 2010, kapling tersebut hampir penuh. Tinggal beberapa kapling saja yang belum ditempati karena perajinnya masih tetap berproduksi di Kober,” kata Pepep.
“Awalnya hanya lima perajin yang menempati Koang Jaya. Secara bertahap, sampai tahun 2010, kapling tersebut hampir penuh. Tinggal beberapa kapling saja yang belum ditempati karena perajinnya masih tetap berproduksi di Kober,” kata Pepep.
Saat Soeharto lengser, tahun 1998, para pengrajin sempat menghadapi masalah sertifikat. Mereka belum mengantongi sertifikat rumah di Koang Jaya. Sekitar tahun 2000, sertifikat rumah bisa selesai dan secara bertahap para pengrajin menempati lokasi barunya di Koang Jaya.
Seiring dengan waktu, pengrajin tempe terpuruk karena harga tempe sering bergejolak. Pengrajin tempe tidak mendapat subsidi kacang kedelai. Pengrajin menjadi lebih mandiri.
“Alhamdulilah, beberapa tahun terakhir ada lima pengrajin mendapat dana bantuan ringan dari BUMN, Telkom. Pengembalian jangka waktu tiga sampai empat tahun dengan cicilan rendah,” kata Pepep.
Ketua RT 03 RW 02 Koang Jaya, Mahdi (53), mengatakan, dari 60 keluarga di RT 03, sejumlah 33 keluarga adalah perajin tempe.
Ubah perilaku
Di masa awal tinggal di Koang Jaya, para perajin tempe masih menerapkan cara produksi yang diperoleh turun-temurun.
Koang Jaya saat itu tak beda dengan kawasan perajin tempe tahu di wilayah lain di Kota Tangerang, seperti Kali Sifon, Kali Kober, Gondrong, Sinta, dan Bencongan. Tempat perajin tempe tak bisa lepas dari kesan sempit, sumpek, basah, kotor, kumuh, dan bau.
Perubahan wajah Koang Jaya baru terlihat setelah Achmad Fauzan (25), pemuda RW 02, berniat menjadikan Koang Jaya sebagai Kampung Tempe. “Saya mengajak perajin tempe dan masyarakat untuk menjadikan kampung inovasi dengan membentuk kampung tematik, Kampung Tempe.”
Perubahan dilakukan mulai dari menata fisik kampung agar jauh dari kesan kumuh. Kampung Tempe ini mulai hijau, asri, dan bersih. Bau limbah produksi tempe tidak terlalu menyengat, tempat produksi agak luas, kering, dan bersih.
Pembuangan air limbah tertata bagus dan tidak meluber ke lantai ruang produksi dan masuk ke saluran air dan langsung ke sungai kecil. Lantai rumah tinggal dan tempat produksi tempe dari para perajin ini sebagian besar terbuat dari keramik.
Mereka membeli pot dan tanaman dan meletakkan di dinding pembatas sepanjang jalan. Dinding tersebut ditata dan jalanan dibersihkan.
Dalam menata kampung itu, awalnya mereka melakukan penghijauan dan pengecetan. Penghijauan dan pengecatan ini, kata Mahdi, menggunakan dana forum RT/RW.
“Begitu warga melihat ternyata kawasan tersebut menjadi indah dan bersih, mereka ikut-ikutan membersihkan dan menanam tanaman. Sekarang ini, warga dengan kesadaran sendiri membeli tanaman untuk dihias di pagar dan halaman rumah,” ujar Mahdi.
Pelatihan dari Pemkot Tangerang juga diadakan bagi perajin.
Memang, sejauh ini, belum terlihat perubahan yang signifikan dari sisi pendapatan perajin. Penghasilan kotor satu perajin sekitar Rp 1 juta sehari. Bila dikurangi tenaga kerja yang rata-rata 1-2 orang, perajin bisa meraup omset bersih Rp 500.000 per hari.
“Dari potensi ini, saya mengajak pengrajin tempe dan masyarakat untuk menjadikan kampung itu sebagai sebuah kampung inovasi dengan membentuk kampung tematik Kampung Tempe,” ujar Fauzan.
Fauzan bersama para perajin memimpikan, Kampung Tempe akan memiliki rumah produksi tempe, sehingga kualitas tempe dari pengrajin akan tersimpan dalam waktu lebih lama dari tiga hari dengan tetap terjaga kualitasnya. Juga di rumah tempe ini mereka bisa memasarkan hasil usaha pengrajin, baik tempe mentah dan olahan tempe siap makan.
Kampung tematik
Kampung Tempe adalah salah satu kampung Tematik yang diprogramkan Pemerintah Kota Tangerang.
Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah mengatakan, hingga kini sudah terbentuk belasan kampung tematik. Ia menargetkan, selama setahun akan ada 300 RW dengan kampung tematik yang berbeda.
Selain menata kawasan menjadi lebih indah, kehadiran kampung tematik ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan mengangkat potensi lokal yang telah ada di suatu wilayah.
Kampung tematik yang sudah terbentuk, seperti Kampung Markisa, Hidroponik Cimone, Greenpul, Berkelir, Batik, dan PHBS Cipondoh.
Arief sangat mengapresiasi warga RW 02 Koang Jaya membangun Kampung Tempe. “Adanya Kampung Tempe akan banyak manfaat yang diperoleh masyarakat. Mereka bisa memanfaatkan limbah produksi tempe untuk diolah menjadi gas metan. Gas metan dapat digunakan untuk memasak kacang kedelai dalam proses pembuatan tempe,” kata Arief.
Dari Kampung Tempe ini juga, lanjut Arief, warga bisa meningkatkan pendapatan dengan menciptakan produk olahan tempe. Produk itu seperti keripik tempe, tempe mendoan, susu keledai, orek tempe, dan lainnya.
“Dalam hal pemasaran, kami (pemerintah Kota Tangerang) akan membantu mereka. Kami akan membantu mensosialiasikan untuk pemasaran ke hotel-hotel, restoran sebagai oleh-oleh Tangerang. Kami juga punya rumah oleh-oleh, yang baru dikembangkan,” kata Arief.
Arief mengatakan, untuk Kampung Tempe ini pihaknya juga belajar dari Malang yang menjadikan produk olahan dari UMKM sebagai oleh-oleh.
Fauzan mengaku, proses ini masih terus berjalan. Peningkatan kapasitas perajin masih dibutuhkan. Ke depan, Fauzan berharap, produksi tempe makin meningkat. Hasil olahan tempe dan kacang kedelai juga perlu diperbanyak. Begitu pula dengan pemasaran yang masih harus diperluas. Dengan begitu, pendapatan perajin juga diharapkan meningkat dan Kampung Tempe semakin bersinar.