Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (3-Selesai)
Jerat kemiskinan petani di daerah lumbung padi Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tak lepas dari kendala saat memasuki panen. Kesulitan yang dialami petani adalah tidak adanya sistem penjualan gabah yang terstruktur hingga panjangnya rantai penjualan gabah kering panen.
Jerat kemiskinan petani di daerah lumbung padi Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tak lepas dari kendala saat memasuki panen. Kesulitan yang dialami petani adalah tidak adanya sistem penjualan gabah yang terstruktur hingga panjangnya rantai penjualan gabah kering panen.
Pada bidang pemasaran, tidak adanya strategi untuk menjual gabah dengan harga yang lebih tinggi turut menjadi penyebab sulitnya petani untuk meningkatkan penghasilan. Petani hanya mengikuti siklus penjualan klasik, yaitu melalui tengkulak.
Di daerah Tempuran, petani belum terbiasa dengan sistem koperasi. Ilan Jaya (65), Ketua Gabungan Kelompok Tani di Tempuran, mengatakan, belum seluruh petani mengenal sistem koperasi. Sebab, belum terdapat koperasi tani aktif di sana. Dampaknya, petani tak dapat menjual gabah melalui koperasi, tetapi langsung kepada tengkulak yang datang.
Koperasi tani baru dibentuk pada 2018 di daerah Tempuran dan belum berfungsi hingga awal 2019 lalu. Ketua Koperasi Tani Kecamatan Tempuran Acim Mulya mengatakan, koperasi sedang dalam tahap pengembangan. Nantinya koperasi tani ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penyedia kebutuhan pertanian dan sebagai tempat penjualan gabah bagi petani.
Kesulitan yang dialami petani adalah tidak adanya sistem penjualan gabah yang terstruktur hingga panjangnya rantai penjualan gabah kering panen.
Selain koperasi, kendala pada penjualan gabah adalah belum adanya merek yang melekat pada beras hasil panen dari Tempuran. Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran Yadi, hal ini berdampak pada sulitnya petani untuk menaikkan harga gabah. Petani pun hanya menjual gabah tanpa mengetahui adanya potensi untuk meningkatkan harga gabah jika beras yang dihasilkan memiliki merek khusus.
Sebelumnya, gabah Tempuran pernah diberi nama beras Cilamaya. Penamaan ini diberikan berdasarkan nama beras yang telah dikenal sebelumnya di pasaran. Hanya saja, hingga kini belum terdapat penamaan beras yang melekat dengan daerah Tempuran. Oleh karena itu, UPTD Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran berencana memberikan merek khusus bagi beras yang berasal dari gabah di Tempuran.
Namun, terdapat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program ini. Sebab, petani hanya mampu untuk mengolah lahan hingga panen. Setelah panen, gabah yang dihasilkan tidak diolah oleh petani menjadi gabah kering giling ataupun beras. Menurut petani pemilik lahan, Ada Syaifuddin, butuh modal tambahan untuk mengolah gabah kering panen menjadi gabah kering giling. Oleh karena itu, Ada memutuskan untuk menjual gabah kering panen secara langsung kepada tengkulak.
”Kami tidak punya modal kalau mengolah sampai ke gabah kering giling, apalagi sampai ke beras. Itu butuh modal dan waktu. Jadi, setelah panen, gabah langsung dijual kepada tengkulak,” kata Ada.
Terbatasnya ruang gerak petani dalam hal pemasaran menyebabkan petani sulit meningkatkan penghasilan. Dampaknya, petani memilih untuk menjalani rutinitas seperti masa tanam sebelumnya, yaitu menjual gabah kepada tengkulak.
Tengkulak perantara
Pada saat melakukan penjualan, petani di daerah Tempuran harus berhadapan dengan rantai penjualan yang cukup panjang. Sebelum sampai ke tangan tengkulak, petani menjual gabah kering panen kepada calo gabah. Calo atau moderator merupakan sebutan para petani untuk tengkulak perantara. Calo inilah yang menjual gabah kering panen dari petani kepada tengkulak.
Calo membeli hasil panen kepada petani setiap musim, tetapi dengan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasar. Contohnya, pada panen 2017 lalu, petani hanya dapat menjual gabah kering panen sebesar Rp 5.000 per kg. Padahal, harga pasar untuk gabah kering panen saat itu mencapai Rp 5.300 per kg.
Selisih sebesar Rp 300 ini berdampak pada tergerusnya penghasilan petani. Jika dari 1 hektar lahan petani berhasil panen hingga 7,7 ton gabah, petani kehilangan Rp 2,3 juta untuk setiap panen 1 hektar jika menjual gabah kering panen kepada calo.
Dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,8 hektar, petani di daerah Tempuran harus kehilangan Rp 1,8 juta setiap musim. Jika dibandingkan dengan penghasilan petani yang hanya Rp 1,6 juta dalam satu bulan, kehilangan Rp 1,8 juta untuk setiap kali panen adalah jumlah yang besar.
Menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Karawang Indriyani, tengkulak telah berkeliling satu minggu sebelum panen untuk mencapai kesepakatan pembelian gabah kepada sejumlah pihak. Hal ini dilakukan agar tengkulak mendapatkan gabah dengan harga yang sesuai.
Dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,8 hektar, petani di daerah Tempuran harus kehilangan Rp 1,8 juta setiap musim.
Petani penggarap lahan di Tempuran, Herman, mengatakan, tengkulak ini berasal dari luar daerah Karawang, seperti Garut dan Subang. Tengkulak dari luar daerah ini memanfaatkan jasa penduduk lokal untuk menjadi calo penjualan gabah.
Petani tidak memiliki pilihan lain. Satu-satunya cara untuk menjual gabah hasil panen adalah melalui calo. Menurut penyuluh pertanian Kecamatan Tempuran, Enjang Sastra, kehadiran calo dan tengkulak pada satu sisi justru memberikan keuntungan bagi petani. Sebab, petani tetap dapat menjual gabah di atas rata-rata harga nasional.
Harga gabah kering panen di Tempuran memang relatif tinggi dibandingkan harga gabah nasional. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, rata-rata harga gabah kering panen pada tingkat petani di Indonesia tahun 2017 adalah Rp 4.615 per kg. Sementara harga gabah kering panen di daerah Karawang mencapai Rp 5.000 per kg.
Namun, tingginya harga gabah ini tidak menjamin kesejahteraan petani. Sebab, petani juga mengeluarkan modal yang besar untuk biaya tanam sebagai dampak dari sarana dan prasarana pertanian yang belum memadai.
Petani juga tidak dapat menjual gabah kepada Perum Bulog. Sebab, harga gabah yang ditawarkan oleh Bulog jauh di bawah harga pasar atau harga yang ditawarkan calo. Dampaknya, petani tidak bersedia menjual gabahnya kepada Bulog karena terancam mengalami kerugian jika menjual dengan harga rendah.
Kepala Seksi Analisa Harga Pasar Bulog Subdrive Karawang-Bekasi Argo Dwi Cahyadi mengungkapkan, sulit untuk menyerap gabah sesuai harga pasar. Sebab, kemampuan Bulog untuk menyerap gabah terbatas pada harga Rp 3.700 per kg untuk gabah kering panen di tingkat petani. Hal ini telah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Karawang Wawan Kuswandi mengatakan, pemerintah daerah juga menyerahkan penetapan harga gabah pada mekanisme pasar. Artinya, belum ada intervensi dari pemerintah setempat untuk menaikkan harga gabah di tingkat petani atau tindakan lain untuk memutus rantai penjualan gabah.
Keadaan ini turut menjebak petani pada masa pascapanen. Pada satu sisi, petani harus mencukupi kehidupan sehari-hari selama enam bulan. Namun, di sisi lain, petani tidak dapat menentukan harga dan hanya menjadi subyek pasif setiap kali musim panen tiba.
Jika berbagai kesulitan yang dihadapi petani tak segera diatasi, petani tetap akan hidup subsisten. Hal ini tentu akan memberikan efek domino bagi kemunduran dunia pertanian di Indonesia. Padahal, sebagai tulang punggung kedaulatan pangan di negeri ini, sudah seharusnya petani hidup sejahtera. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (1)
Baca Juga: Jerat Kemiskinan Petani di Lumbung Padi (2)