Dalam bisnis komoditas batubara, harga adalah salah satu faktor yang paling sulit diterka. Tak ada yang bisa memprediksi harga batubara di pasaran. Saat harga tinggi, perusahaan untung. Sebaliknya, saat harga batubara jatuh, perusahaan akan buntung.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Dalam bisnis komoditas batubara, harga adalah salah satu faktor yang paling sulit diterka. Tak ada yang bisa memprediksi harga batubara di pasaran. Saat harga tinggi, perusahaan untung. Sebaliknya, saat harga batubara jatuh, perusahaan akan buntung.
Bagaimana menyiasatinya? Beberapa perusahaan yang bisnis murninya pada tambang batubara mulai mencoba melirik lini bisnis lain, seperti menjadi produsen listrik swasta, jasa konstruksi, atau bisnis membangun infrastruktur. Diversifikasi usaha, begitu yang mereka lakukan. Apalagi, bisnis berbasis komoditas sumber daya alam yang tak terbarukan akan menghadapi kepastian di kemudian hari, yaitu cadangan habis.
PT Indika Energy Tbk, perusahaan yang salah satu bisnisnya berupa tambang batubara, sudah mengantisipasi hal itu. Persoalan harga batubara yang fluktuatif, stigma terhadap tambang batubara, serta cadangan batubara yang pasti habis menjadi perhatian utama perusahaan. Perusahaan yang masuk daftar emiten Kompas100 itu berencana mengurangi peran batubara dalam pendapatan perusahaan.
Bergabung di Indika Energy sejak 2004, Azis Armand, yang kini menjabat sebagai Managing Director dan CEO Indika Energy, memimpin perubahan yang dijalankan perusahaan. Banyak tantangannya, termasuk mengubah pola pikir dari bisnis lama menuju bisnis yang sama sekali baru bagi perusahaan. Ia menyebutkan, komunikasi yang terbuka dan kemauan untuk berubah merupakan kuncinya.
Berikut petikan perbincangan santai Kompas dengan Azis di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (10/5/2019).
Apa dampak stigma tambang batubara bagi perusahaan?
Kita sadari, nuansanya sangat negatif, terutama akhir-akhir ini, yang semakin lama semakin keras. Akan tetapi, apa yang kami lakukan di tambang kami di Kalimantan Tengah, seperti reklamasi dan pascatambang, terus kami terapkan. Usaha-usaha untuk meminimalkan dampak pertambangan juga terus kami lakukan.
Memang, beberapa tahun yang lalu kami mencoba memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber energi pembangkit listrik. Namun, usaha ini lebih pada pemenuhan kebutuhan bisnis kami sendiri. Kami sedang mencoba menyeimbangkan hal tersebut (antara produksi batubara dan pengembangan energi terbarukan).
Apakah tahun ini akan berat?
Akan lumayan berat. Yang berat adalah ketidakpastian permintaan batubara sedang tinggi, pertumbuhan ekonomi tidak jelas, sementara China dan India berpengaruh besar terhadap permintaan batubara. Harga solar juga tidak jelas di tengah situasi geopolitik yang memanas.
Triwulan I-2019, laba bersih kami merah, ada penurunan yang drastis. Kalau dilihat dari kinerja operasional, volume produksi relatif stabil. Akan tetapi, harga jual batubara turun, sedangkan salah satu komponen produksinya meningkat, yakni harga solar. Jadinya, kami kena dampak ganda.
Usaha menurunkan biaya terus kami lakukan. Yang paling penting faktor fluktuasi harga batubara. Sejak 2017 sudah dicanangkan usaha untuk menurunkan dampak tersebut dengan cara diversifikasi usaha. Kami tidak akan berinvestasi lagi untuk kepemilikan tambang batubara. Akuisisi Kideco (Kideco Jaya Agung, anak usaha Indika Energy) pada akhir 2017 adalah yang terakhir. Fokus kami, investasi di sektor lain sesuai kompetensi yang dimiliki.
Apa kunci beradaptasi dalam perubahan bisnis bisa berjalan mulus?
Pertama, yang paling penting adalah mencairkan ego sektoral (silo mentality) di tubuh perusahaan. Untuk beradaptasi dalam perubahan harus ada keterbukaan tentang apa yang ingin dicapai bersama. Kedua, harus memperbanyak komunikasi. Kalau tidak adaptif, apakah perusahaan bisa bertahan? Itu yang harus dibicarakan secara terbuka kepada semua orang di perusahaan.
Salah satu bukti nyata ada di anak perusahaan Indika yang kinerjanya negatif terus. Sampai akhirnya, kalau tidak melakukan sesuatu atau tidak beradaptasi, perusahaan itu akan diterminasi oleh klien. Artinya, kami enggak bisa bertahan. Apalagi, ada kontrak karyawan yang berdasar kontrak pekerjaan. Kalau tidak ada pekerjaan, ya, tidak akan ada kontrak karyawan. Nah, dari situ tampaknya muncul rasa kebersamaan bahwa semua harus berubah. Akhirnya dicari perubahan apa yang harus dilakukan sehingga berdampak positif bagi perusahaan.
Bagaimana Indika menatap masa depan energi terbarukan?
Kami sedang mengerjakan proyek pembangkit listrik batubara. Apakah mau investasi lagi untuk hal yang sama? Mungkin tidak. Kami sedang mengkaji pengembangan energi terbarukan, khususnya yang bersumber dari tenaga surya. Salah satu tantangannya adalah lahan. Kalau mau ekonomis, pengembangan tenaga surya harus berskala besar dan ada kepastian permintaan pasar. Itu bisa didapat di Jawa, hanya saja ada masalah keterbatasan lahan di Pulau Jawa.