JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia melaporkan pengecualian data hak guna usaha perkebunan sawit kepada Presiden. Organisasi lingkungan tertua di Indonesia tersebut menilai perintah pengecualian data hak guna usaha tersebut mengangkangi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan data dan informasi tersebut bersifat terbuka.
Keterbukaan data dan informasi hak guna usaha dinilai menjadi kunci awal untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria di perkebunan. Menurut catatan Walhi yang berasal dari laporan Kantor Staf Kepresidenan, konflik perkebunan yang sebagian telah memiliki HGU itu mendominasi di antara konflik-konflik agraria sektor lain, yaitu kehutanan, infrastruktur, dan transmigrasi.
Sejumlah 156 kasus dari total 267 kasus yang melibatkan 52.623 keluarga bersengketa atas lahan seluas 341.237 ha. Konflik agraria ini bisa diatasi dengan membuka data dan informasi dan menggunakannya untuk mediasi antara perusahaan perkebunan dan masyarakat.
Namun, pada 6 Mei 2019, Deputi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian mengeluarkan surat kepada pengusaha sawit yang di antaranya berisi pengecualian data dan informasi HGU dari informasi yang dapat diakses pemohon informasi publik.
”Sehubungan dengan hal itu, kami harapkan Saudara dapat ikut serta mendukung kebijakan untuk melindungi data dan informasi kelapa sawit tersebut dan diharapkan untuk tidak melakukan inisiatif membuat kesepakatan dengan pihak lain (konsultan, non-governmental organization, multilateral agency, dan pihak asing) dalam pemberian data dan informasi yang terkait kebun kelapa sawit”, demikian isi surat tersebut yang ditandatangani Deputi Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud.
”Kami mengajukan protes secara resmi kepada Menteri Koordinator Perekonomian (sebagai atasan Deputi Pangan dan Pertanian) dan kami laporkan kepada Presiden. Kami berharap Kemenko (Perekonomian) bisa mencabut surat tersebut,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kamis (9/5/2019) di Jakarta.
Kami berharap Kemenko (Perekonomian) bisa mencabut surat tersebut.
Ia mengatakan, surat pengecualian data dan informasi izin hak guna usaha (HGU) kebun kelapa sawit bagi publik itu mengunci ketiadaan penyelesaian konflik-konflik agraria. Itu menunjukkan rapat terbatas kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 3 Mei 2019 untuk menyudahi konflik-konflik agraria perusahaan dengan masyarakat (Kompas, 4 Mei 2019) tak dijalankan.
Padahal sejak 2017, Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan uji keterbukaan informasi HGU sawit terkait nama pemegang izin, luasan, lokasi, jenis komoditas, dan peta area HGU. ”Ini jelas melawan hukum. Pembangkangan pada institusi peradilan. Pilar yudikatif tertinggi dipandang sebelah mata oleh eksekutif. Kami berharap Presiden mengambil sikap,” katanya.
Menyelesaikan konflik
Data dan informasi HGU penting dibuka bagi publik untuk menyelesaikan berbagai karut-marut konflik agraria antara perusahaan dan masyarakat, perusahaan dan perusahaan, ataupun perusahaan dan pemerintah (bila dalam kawasan hutan). Izin HGU ini bisa menjadi bahan untuk memediasi pihak-pihak yang bersengketa.
Hal yang kerap terjadi, kata Nur Hidayati, perusahaan dengan dalih telah memegang HGU mencaplok lahan dan ruang kelola masyarakat. Ketika masyarakat mempertanyakan dan ingin melihat bukti HGU tersebut, perusahaan maupun pemerintah tak mau membuka/menunjukkannya.
Agus Subekti, warga Danau Sembuluh, Kabupaten Surian, Kalimantan Tengah, menuturkan, PT SLM memaksa mengambil alih tanah-tanah dan kebun yang dikelola 400-an warga seluas 500 ha. Padahal, warga telah mengantongi surat keterangan tanah (SKT).
”Kami juga mempunyai bukti adat kepemilikan atas tanah, yaitu pohon-pohon durian berusia ratusan tahun yang sejak lama dikelola nenek moyang kami,” katanya yang juga penggagas Forum Perjuangan Kesejahteraan Masyarakat Danau Sembuluh.
Untuk membuktikan hal ini, pihaknya bahkan menantang pemerintah untuk memverifikasi data dan mengecek langsung kepemilikan lahan masyarakat dengan izin HGU perusahaan. ”Silakan datang dan lihat langsung di lapangan,” katanya.
Hingga malam, Deputi Musdhalifah belum dapat dihubungi. Namun, mengutip berbagai sumber, ia membenarkan telah membuat surat itu. Pada surat itu disebutkan penyampaian tersebut terkait pelaksanaan komitmen pemerintah untuk meningkatkan praktik perkebunan sawit berkelanjutan dan menindaklanjuti hasil pertemuan Pemerintah Indonesia dengan Komisi Uni Eropa terkait kebijakan kelapa sawit.
Terkait hal itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Kamis (9/5/2019), mengatakan, pemerintah sedang membangun pusat data terkait kebijakan satu peta. Untuk itu, akses publik terhadap dokumen HGU perkebunan ditutup karena masih dalam evaluasi dan pemutakhiran data.
Pemutakhiran data HGU tersebut terkait beberapa program pemerintah yang sedang berjalan, seperti Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH) dan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit. ”Ini kita enggak mau terlalu gaduh permasalahannya, kita selesaikan dulu. Nanti kalau udah pasti, baru kita lihat,” kata Darmin.