Tragedi Grace Natalie, Tragedi bagi Demokrasi?
Mengapa Grace Natalie harus gagal? Pertanyaan itu wajar mengemuka, bukan hanya di kalangan pendukungnya, melainkan juga mereka yang sempat tersihir oleh pidato-pidatonya. Dalam khazanah politik saat ini, sejatinya memang sulit menemukan sosok yang mampu memukau panggung dengan orasi yang konsisten, berapi-api, dan sangat berani melakukan kritik keras dalam bahasa tertata rapi. Ia seolah menjadi cabai pedas yang menyengat jagat perpolitikan yang sudah jumud.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikelola oleh banyak anak muda ini cukup memberikan angin segar akan perubahan suasana perpolitikan. Sejumlah aksinya yang terbilang nekat kerap menghiasi pemberitaan media cetak, elektronik, dan media sosial. Iklan segar dan kreatifnya juga kerap muncul di televisi, menampilkan sekuel yang lebih luwes dengan gaya kekinian, dibandingkan dengan partai-partai lainnya yang cenderung kaku.
Pernyataan-pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie nyaris selalu menimbulkan kontroversi, percikan lidah apinya senantiasa membuat gerah tokoh-tokoh dari partai mapan. Dalam pidato politik berjudul ”Beda Kami PSI dengan Partai Lain”, di Festival 11 di Medan, Sumatera Utara, Senin (11/3/2019), Grace menyindir partai-partai lama di parlemen yang tidak bertindak apa-apa saat tiga gereja di Jambi disegel pada September 2018.
Ia menegaskan, partainya tidak akan pernah mendukung peraturan daerah yang berlandaskan Injil dan Syariah jika dipercaya duduk di parlemen. Ia mempertanyakan komitmen partai-partai besar, seperti Golkar dan PDI-P, ”Bagaimana mungkin disebut partai nasionalis kalau diam-diam menjadi pendukung terbesar perda syariah?” kata Grace.
Jika lolos ke parlemen, PSI juga berjanji akan menggagas larangan berpoligami bagi pejabat publik dan aparatur sipil negara (ASN) guna memperjuangkan keadilan bagi perempuan Indonesia. Dua pidato itu, penolakan terhadap Perda Injil dan Syariah dan larangan poligami bagi kader PSI, telah memantik respons yang keras dari berbagai kalangan dan partai ini dicap sebagai sedang mengembangkan islamophobia.
Akan tetapi, Grace menegaskan, politik PSI adalah politik nilai dan politik ideologis. Dengan itu, seolah ia ingin menggarisbawahi bahwa PSI tidak takut terhadap kecaman-kecaman apa pun atas misi yang diperjuangkannya.
Meskipun demikian, kegarangan PSI dan ingar-bingar polemik yang diciptakan partai dengan nomor urut 11 itu belum berhasil dikonversi menjadi dukungan riil. Selama beberapa bulan hingga saat-saat menjelang Pemilu 2019 hasil survei sejumlah lembaga survei tetap menempatkan PSI sebagai partai papan bawah dengan perolehan suara di kisaran 1 persen. Litbang Kompas, dalam survei terakhir sebelum pemilu, Maret 2019, mendeteksi suara untuk PSI hanya sebesar 0,7 persen. Dengan margin of error 2,2 persen, pencapaian maksimal untuk PSI adalah 2,9 persen. Sulit bagi partai ini lolos ke parlemen.
Tampaknya tak ada harapan jika tidak ada hasil exit poll dari luar negeri yang mendadak mengabarkan partai baru ini mendapat respons yang sangat baik dari warga negara Indonesia di banyak negara. Pemilu di luar negeri memang dilaksanakan lebih dulu sehingga memungkinkan dilakukan survei pasca-pemilihan lebih cepat daripada di Indonesia.
Berdasarkan exit poll yang banyak beredar di media sosial, PSI mendapatkan suara terbesar, mengalahkan PDI-P dan partai-partai besar lainnya. Di Singapura perolehannya mencapai 19,8 persen, Di Melbourne 39,09 persen, Sydney 30,83 persen, Berlin 19,42 persen, Toronto 50,9 persen, New York 18,81 persen, London 35,9 persen, dan Arab Saudi 12,6 persen. Tidak jelas apakah hasil itu benar atau hoaks. Tetapi, jika melihat hasil pemilu yang saat ini sudah dihitung KPU, tampaknya hasil exit poll itu memang cukup realistis.
Meski demikian, kegarangan PSI dan ingar-bingar polemik yang diciptakan partai dengan nomor urut 11 itu belum berhasil dikonversi menjadi dukungan riil.
Di Daerah Pemilihan Jakarta II, yang meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan luar negeri, suara PSI terbilang menonjol. Pada data KPU hingga data masuk di dapil itu mencapai 32 persen pada 4 Mei 2019, suara untuk PSI mencapai 77.348 pemilih. Jika dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain, PSI berada di urutan keempat setelah PDI-P, PKS, dan Gerindra.
Dan, jika dibandingkan dengan dapil Jakarta lainnya, seperti Dapil Jakarta I dan Dapil Jakarta III, suara PSI di Dapil Jakarta II memang terlalu menonjol. Di Jakarta I hanya tercatat 14.973 (kondisi 14,2 persen data masuk) dan di Dapil Jakarta III sejumlah 3.708 pemilih (kondisi 1,9 persen data masuk).
Melihat kondisi data masuk pada dua dapil itu, kalaupun sudah mencapai 32 persen seperti pada Dapil Jakarta II, suara PSI di Dapil Jakarta I dan III diperkirakan masih akan lebih rendah daripada Dapil Jakarta II saat ini.
Namun, tentu capaian-capaian itu menjadi tak berarti ketika data terpetakan secara nasional, baik lewat hitung cepat (quick count) maupun hasil penghitungan KPU. Indikasi masih lemahnya dukungan terhadap PSI secara nasional terbaca lewat hitung cepat Litbang Kompas saat Pemilu 17 April 2019, PSI hanya mendapatkan 2,03 persen suara.
Dengan margin of error +/- 1 persen, maka suara PSI diperkirakan akan berada di antara 1,03 persen dan 3,03 persen. Proporsi perolehan itu juga diperkuat oleh data hitung langsung KPU yang memperlihatkan PSI memperoleh 1,74 persen saat data masuk mencapai 30,08 persen.
Barikade partai lama
Senada dengan PSI, partai-partai baru lainnya, yaitu Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Garuda, dan Partai Berkarya, juga mengalami nasib serupa. Empat partai baru itu bisa diperkirakan tidak akan lolos masuk parlemen. Bahkan, Perindo yang telah merintis partai selama empat tahun juga terpaksa harus menerima kenyataan sulitnya menyelinap masuk di antara barikade partai-partai lama.
Perindo yang di awal pendiriannya sangat gencar mempromosikan diri lewat televisi dan berbagai media hanya mampu mengumpulkan suara sebanyak 2,74 persen (dari data masuk 30,8 persen versi KPU). Sementara Partai Garuda hanya mendapat 0,58 persen dan Partai Berkarya 2,22 persen. Dengan kondisi perolehan demikian, mimpi untuk lolos ambang batas parlemen tampaknya masih akan berlanjut.
Dalam sejarah pemilu demokratis pascareformasi, lolos dari ambang batas suara, baik lewat electoral threshold maupun parliamentary threshold, memang semakin sulit. Electoral threshold adalah ambang batas atau syarat minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya sehingga partai yang tak memenuhi ambang batas akan tereliminasi. Sementara parliamentary threshold merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh partai untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Pemilu 1999 menggunakan acuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 39 disebutkan bahwa partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2 persen dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3 persen jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah kabupaten/kotamadya.
Dalam sejarah pemilu demokratis pascareformasi, lolos dari ambang batas suara, baik lewat electoral threshold maupun parliamentary threshold, memang semakin sulit.
Menggunakan sistem Kuota Hare dengan proporsional tertutup, pemilu menggunakan bilangan pembagi pemilih untuk menentukan jumlah kursi yang diperoleh partai politik. Alhasil, Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai politik akhirnya meloloskan banyak perwakilan partai untuk duduk di parlemen (20 partai).
Namun, pada pemilu berikutnya peserta pemilu menyusut menjadi setengahnya, 24 partai, karena sebagian tak lagi bisa ikut Pemilu 2004 atau harus berganti nama partai. Dari jumlah peserta itu, hanya 16 partai yang lolos ke Senayan.
Pada Pemilu 2009, partai-partai yang tidak melewati batas 3 persen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 terpaksa mengganti nama dan tanda gambar. Pemilu itu mencatat tumbuhnya kembali partai-partai politik, sebagian merupakan wajah lama yang berganti nama, beberapa yang lain merupakan partai baru, termasuk Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Namun, inilah pemilu tersulit bagi partai untuk dapat duduk di parlemen. Dari 38 partai peserta pemilu, hanya sembilan partai (24 persen) yang lolos masuk ke parlemen. Penyebabnya, selain partai lama terkena pembatasan 3 persen electoral threshold sesuai dengan ketentuan dalam pemilu sebelumnya, semua partai juga terkena ketentuan baru 2,5 persen parliamentary threshold, sesuai dengan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
Setelah itu, struktur partai di parlemen menjadi lebih oligopolis dan monoton. Terlebih dengan diberlakukannya ambang parlemen batas yang lebih tinggi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 2012.
Ketentuan yang dijalankan untuk Pemilu 2014 itu menyebutkan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen untuk anggota DPR. Pemilu 2014 menjadi pemilu paling miskin kepesertaan partai politik. Hanya 12 partai politik yang dapat ikut pemilu. Itu pun semuanya partai lama.
Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tetap eksis sebagai peserta pemilu meskipun keduanya tidak lolos parliamentary threshold di pemilu sebelumnya. Sejak Pemilu 2009 memang tidak ada keharusan partai politik yang gagal memenuhi ambang batas parlemen untuk berganti nama dan tanda gambar. Jika masih ingin ikut pemilu, status mereka diperlakukan sama seperti partai baru.
Dalam Pemilu 2014, kegagalan (lagi-lagi) PBB dan PKPI, serta tiadanya partai baru di parlemen, makin melanggengkan hegemoni partai-partai lama. PDI-P, Golkar, PKB, PAN, PPP, PKS, Demokrat, Gerindra, Hanura, dan Nasdem sukses melewati ketentuan ambang batas parlemen.
Pemilu 2019 yang dilaksanakan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017 memiliki aturan baru. Ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4 persen untuk anggota DPR. Parliamentary threshold memang terlihat cukup efektif membatasi jumlah partai politik di parlemen.
Terbukti sejak Pemilu 2009 jumlah partai politik di parlemen kemudian memang menjadi stabil pada jumlah 9-10 partai. Namun, dengan demikian, juga makin menutup peluang partai-partai baru untuk memberikan warna ideologis yang berbeda di Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.
Tumbangnya Partai Hanura, gagalnya partai-partai gurem lama (PBB dan PKPI), serta terhentinya langkah partai-partai baru (PSI, Perindo, Garuda, dan Berkarya) pada Pemilu 2019 menjadi pelajaran berharga. Partai tak dapat lagi digarap secara instan hanya menjelang pemilu.
Dibutuhkan waktu yang lebih panjang dan strategi pengelolaan yang jitu untuk menancapkan pengaruhnya melampaui ambang batas. Orientasi perjuangan pada nilai dan ideologi (seperti PSI) nyaris tak akan mengubah apa-apa jika tidak dibarengi dengan output berupa dukungan suara yang banyak.
Pelajaran kedua, yang mungkin lebih esensial bagi kepentingan Indonesia ke depan, adalah stagnasi dan pembelahan ideologis yang kian terlanggengkan. Meskipun koalisi partai di dalam parlemen lebih bersifat cair, itu pun tak mampu mereduksi kerasnya wacana yang kian terbentuk dalam dua kali pemilu, yaitu ideologi yang menitikberatkan pada kebangsaan (nasionalisme) dan yang berpihak pada kepentingan Islam.
Jika sistem pemilu pada akhirnya berkontribusi membentuk dua blok aliran tersebut, maka ke depan Indonesia terperangkap ke dalam jalur ideologi yang makin sempit. Dan, ketika jalan menyempit, jalan ilahiah lebih sulit ditolak daripada memangku demokrasi. Inilah tragedi demokrasi, tragedi Grace Natalie. (Bambang Setiawan/Litbang Kompas)