Sebanyak 24 persen dari 4.000 spesies sumber pangan liar menuju kepunahan. Padahal keragaman hayati menjadi kunci bagi ketahanan pangan, terutama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 24 persen dari 4.000 spesies sumber pangan liar menuju kepunahan. Padahal keragaman hayati menjadi kunci bagi ketahanan pangan, terutama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Indonesia telah kehilangan banyak ragam hayati karena kebijakan penyeragaman pangan.
”Tanaman padi di Indonesia termasuk yang paling banyak hilang jenisnya sejak masuknya Revolusi Hijau pada 1970-an. Saat itu ada penyeragaman jenis tanaman padi yang harus ditanam petani,” kata Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen) Kementerian Pertanian Mastur, di Jakarta, Kamis (9/5/2019).
Fenomena penyeragaman jenis tanaman ini juga terjadi untuk berbagai tanaman pangan lain. Bahkan, kebijakan pangan bias beras sejak Orde Baru, menyebabkan sumber pangan lain saat ini semakin merosot keberadaannya, misalnya sorgum, jewawut, dan sagu.
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang diluncurkan Februari 2019 telah menekankan pentingnya keberagaman hayati bagi keberlangsungan pangan. Disebutkan, saat ini berbagai spesies yang berkontribusi penting bagi sektor pertanian terancam punah, meliputi berbagai jenis burung, kelelawr, hingga serangga yang bisa mengontrol hama dan penyakit, serangga penyerbuk, dan mikroorganisme tanah.
Spesies yang berkontribusi pada jasa ekosistem yang penting bagi pangan dan pertanian, termasuk penyerbuk, organisme tanah, dan musuh alami hama, dengan cepat menghilang. Penurunan juga terjadi pada spesies sumber pangan liar, meliputi tanaman, ikan, dan mamalia. Dari sekitar 4.000 spesies liar sumber pangan tersebut, 24 persen di antaranya anjlok populasinya.
Menurut ahli serangga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Rosichon Ubaidilah, penyusutan spesies serangga di Indonesia, termasuk di antaranya serangga penyerbuk diperkirakan 30-40 persen. Penyusutan spesies serangga akan mengancam produksi tanaman pangan (Kompas, 9/5/2019).
Laporan terbaru The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang diluncurkan pekan ini menunjukkan, praktik buruk di sektor pertanian justru menjadi penyebab utama menurunnya keberagaman flora dan fauna secara global.
Bahaya penyeragaman
Penyeragaman jenis tanaman dan penanaman secara monokultur, menurut Mastur, memicu masalah serius, misalnya serangan hama yang tak terkendali. ”Keragaman sumber daya genetik ini menjadi kunci ketahanan pangan kita dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan,” kata Mastur.
Keragaman sumber daya genetik ini menjadi kunci ketahanan pangan kita dalam menghadapi berbagai tantangan ke depan.
Setiap tanaman pangan memiliki karakteristik yang berbeda karena beradaptasi dengan kondisi yang bermacam-macam. Ada tanaman pangan yang tahan di lahan marjinal dan gambut, misalnya sagu, dan ada yang tahan kering, seperti sorgum. Kekayaan karakteristik ini seharusnya dioptimalkan sesuai kondisi lokal dan sosial dengan mendorong keberagaman pangan.
Bahkan, tanaman padi memiliki karakteristik beragam. Misalnya, ada yang tahan penyakit blas, wereng, kondisi tanah asam, hingga tanah kering. Produktivitasnya juga beragam, demikian juga kandungan nutrisinya.
”Perbedaan karakteristik ini jadi dasar jika kita ingin menghasilkan benih unggul. Contohnya, terkait pemanasan global, kita bisa merakit benih dengan karakteristik tahan kering atau banjir,” ungkapnya.
Upaya penyelamatan sumber daya hayati tanaman pangan di Indonesia salah satunya melalui pembentukan bank gen, salah satunya di BB-Biogen. ”Koleksi sumber genetika tanaman pangan dan pertanian kita total sekitar 30.000 aksesi (koleksi yang telah didata). Sebanyak 10.000 di antaranya ada di BB-Biogen. Untuk tanaman padi ada 3.000 aksesi,” kata Mastur.
Jumlah koleksi ini masih sangat kecil jika dibandingkan negara lain, seperti China yang punya 400.000 aksesi tanaman pangan dan pertanian dan Jepang punya 200.000. Dengan kekayaan hayati berlimpah, seharusnya Indonesia memiliki minimal 500.000 aksesi.
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Prof Dwi Andreas Santosa mengatakan, sebagian benih lokal padi saat ini masih dimuliakan dan beredar di kalangan petani, sekalipun jumlahnya jauh berkurang.
”Reduksi keragaman hayati memang terjadi sejak lama. Dulu tentara ikut memaksa petani menanam padi tertentu saja. Sekarang tidak mudah lagi mencari varietas padi bulu, seperti rojolele, itu tidak mudah lagi,” ucapnya.
Namun, belakangan petani mulai menyadari pentingnya memuliakan dan menanam kembali padi lokal ini karena banyak di antaranya memiliki mutu unggul. ”Salah satunya yang kami kembangkan sekarang adalah padi IF8 yang sudah ditanam beberapa daerah dengan produksi rata-rata 11 ton per hektar. Padi ini juga tahan banjir karena tanamannya mencapai 1 meter,” katanya.
Padi IF8 ini awalnya ditangkarkan petani di Karanganyar dari persilangan jenis lokal. ”Kami terus melakukan pelatihan pemuliaan benih di jaringan kami dan menodorong penyilangan dari benih-benih lokal. Ini bagian dari kontribusi untuk melestarikan keragaman hayati di kalangan petani,” kata Dwi.