Pengelolaan Terumbu Karang Jadi Diplomasi Maritim Indonesia
Indonesia menjadikan kerja sama kelautan enam negara dalam Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security atau CTI-CFF sebagai garda terdepan diplomasi maritim.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Indonesia menjadikan kerja sama kelautan enam negara dalam Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security atau CTI-CFF sebagai garda terdepan diplomasi maritim. Pemangkasan masa realisasi rencana aksi regional dari 10 tahun menjadi lima tahun dapat semakin memperkuat peran enam negara anggota organisasi tersebut dalam pelestarian ekosistem bahari dunia.
Kerja sama dalam CTI-CFF itu tidak hanya mencakup pelestarian terumbu karang, tetapi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara menyeluruh. “Isu-isu penting seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, hingga pelestarian keanekaragaman hayati bahari dibahas di CTI-CFF. Jika dibandingkan dengan ICRI (International Coral Reef Initiative) yang hanya membidangi terumbu karang, CTI-CFF punya kekuatan tersendiri. Suara Indonesia dan lima negara anggota lainnya akan semakin didengar dalam upaya pelestarian lingkungan internasional,” kata Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rusandi saat dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Jumat (10/5/2019).
CTI-CFF beranggotakan Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Kepulauan Solomon, dan Papua Niugini. Sekitar 600 jenis atau 76 persen dari seluruh spesies terumbu karang di dunia hidup di perairan wilayah enam negara anggota CTI-CFF itu, termasuk 15 spesies endemik kawasan.
Terumbu karang tersebut menjadi tempat tinggal 2.500 atau 37 persen spesies ikan koral. Berbagai mamalia laut dan kura-kura juga hidup di area ini. Adapun 364 orang juta orang yang tinggal di area segitiga terumbu karang bergantung pada sumber daya bahari.
Keenam negara mengacu pada rencana aksi regional (Regional Plan of Action/RPOA) dalam upaya pelestarian keanekargaman di kawasan segitiga terumbu karang. Sejak dibentuk pada 2009, baru ada satu RPOA yang dihasilkan dan berlaku hingga 10 tahun. Keenam negara berkumpul di Manado pada 30 April hingga 2 Mei 2019 untuk rencana pembaruan RPOA.
“Selama 10 tahun, sudah banyak keadaan yang berubah, seperti perubahan iklim dan kelangkaan spesies, sehingga RPOA itu tidak bisa lagi dijadikan acuan. Masa berlakunya juga terlalu panjang. Karena itu, ada rencana untuk mendorong RPOA dipersingkat menjadi lima tahun dengan isu-isu yang disepakati keenam negara,” kata Andi.
RPOA baru akan disepakati pada Agustus mendatang. Andi mengatakan, RPOA yang dibuat akan menyelaraskan upaya keenam negara dalam pembentukan jaringan kawasan konservasi perairan, adaptasi perubahan iklim, manajemen perikanan dengan pendekatan ekosistem, dan perlindungan spesies akuatik.
Upaya tersebut akan dipacu di tiga wilayah, yaitu perairan Sulu-Sulawesi, Bismarck-Solomon, dan Lesser Sunda. Indonesia memiliki wilayah perairan di ketiga wilayah tersebut.
“Di Bismarck-Solomon (daerah Papua, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon), ada penyu belimbing dengan naluri migrasi yang tinggi, bahkan sampai antarbenua. Ini menjadi concern Indonesia juga. Isu-isu di setiap negara harus dipetakan untuk mendorong kerja sama pelestarian,” katanya.
Di daerah Sulu-Sulawesi, Indonesia juga memiliki spesies endemik yang disebut ikan raja, tepatnya di perairan dalam Sulawesi. Pembentukan jaringan kawasan konservasi perairan dapat menguntungkan Indonesia karena pengelolaan ekosistem akan menjadi tugas bersama.
“Masih banyak isu lain yang bisa ditangani bersama, seperti pemutihan terumbu karang, spesies karismatik, dan sampah perairan. Ini harus dikelola bersama,” kata dia.
Saat ini, Indonesia sebagai negara terbesar menjadi contoh bagi lima negara CTI-CFF lainnya, misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat serta dalam kemampuan identifikasi spesies hiu. Di sisi lain, Indonesia juga menjadi penghasil sampah plastik pencemar laut kedua terbesar di dunia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Interim CTI-CFF Hendra Yusran Siry mengatakan, penyingkatan masa berlaku RPOA dari 10 tahun menjadi lima tahun dapat membuat negara-negara anggota lebih fleksibel terhadap perubahan lingkungan. Kerja sama antarnegara juga akan semakin kuat.
“Yang paling penting adalah rasa kepemilikan yang tinggi antar negara. RPOA yang akan dijadikan acuan kebijakan dalam negeri ini harus dibuat lebih berbobot dan dapat mendorong aksi bersama. Apalagi, tidak ada satu pun negara yang bisa menjaga lingkungan sendirian,” kata Hendra.
Ia menambahakn, RPOA yang dibentuk nantinya juga akan memuat tiga pilar utama kerja sama, antara lain penguatan komunikasi antarnegara serta mekanisme pendanaan. Adapun isu-isu yang disepakati semua negara anggota akan menjadi acuan untuk menguatkan kelembagaan kerja sama dengan membentuk kelompok kerja teknis yang sesuai.
Negara-negara ASEAN, terutama Indonesia, memiliki peran besar dalam CTI-CFF. “Ada beberapa negara yang kapasitas manajemen maritimnya masih rendah. Forum ini juga dapat meningkatkan kerja sama Selatan-Selatan sekaligus menjadi pusat diplomasi maritim,” ujar Hendra.