Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas telah mengumumkan kinerja triwulan I-2019. Capaian utama yang menjadi sorotan lembaga ini adalah produksi siap jual (lifting) minyak dan gas bumi yang masih di bawah target APBN 2019. Pekerjaan rumah menanti untuk lembaga yang dipimpin oleh Dwi Soetjipto, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) ini.
Dalam pengumumannya, SKK Migas menyebutkan capaian lifting minyak sampai dengan April 2019 adalah 750.000 barel per hari. Sementara target lifting minyak dalam APBN 2019 adalah 770.000 barel per hari. Apabila dikombinasikan dengan lifting gas bumi, capaian triwulan pertama tahun ini masih 89 persen dari target.
Indonesia sudah dalam persoalan lifting minyak yang terus merosot dari tahun ke tahun. Di satu sisi konsumsi bahan bakar minyak tidak pernah susut seiring bertambahnya jumlah kendaraan dan aktivitas ekonomi masyarakat. Akibatnya adalah kebergantungan terhadap impor masih tinggi. Separuh dari konsumsi bahan bakar minyak nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari sampai 1,6 juta barel per hari didapat dari impor.
Impor memang bukan sesuatu yang terlarang selama dapat menaikkan nilai tambah di dalam negeri. Masalahnya, impor minyak mentah ataupun BBM kerap dituding menjadi biang keladi defisit neraca perdagangan. Tahun lalu, Indonesia butuh 29 miliar dollar AS untuk impor minyak dan BBM. Pembengkakan nilai impor bisa menggerus cadangan devisa nasional.
Kembali ke soal lifting, kendati masih di bawah target, SKK Migas optimistis sampai tutup tahun ini target bisa dipenuhi. Dasarnya adalah masih ada sejumlah proyek hulu migas di dalam negeri yang bakal segera berproduksi secara komersial. Dari 11 proyek yang disebut SKK Migas, akan ada tambahan produksi minyak 13.500 barel per hari.
Tambahan produksi tentu saja menjadi kabar baik bagi Indonesia. Hanya saja, dengan tambahan sebanyak itu belum cukup untuk melepaskan diri dari kebergantungan terhadap impor. Indonesia memerlukan penambahan produksi berskala besar yang didapat dari penemuan cadangan baru, bukan dari pengembangan lapangan yang ada.
Eksplorasi untuk penemuan cadangan baru adalah kunci.
Bagaimana untuk mendapat cadangan baru berskala raksasa? Hanya satu jawabannya: mencari dan terus mencari. Eksplorasi untuk penemuan cadangan baru adalah kunci. Apalagi, ada lebih dari 70 cekungan baik di darat maupun di lepas pantai Indonesia yang sama sekali belum diteliti. Produksi migas yang kita nikmati sekarang diperoleh dari sumur-sumur tua yang berusia puluhan tahun.
Untuk mendorong penemuan baru, tidak cukup dengan kata-kata. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus berbesar hati mempermudah upaya penemuan cadangan baru itu lewat regulasi yang positif, tidak mempersulit investor, dan memberikan kepastian hukum. Ketidakpastian adalah momok bagi investor hulu migas dalam menjalankan aksi korporasinya mengingat nilai investasi sektor ini nilainya bisa mencapai triliunan rupiah.
Contoh yang masih segar di ingatan adalah Blok Masela di Maluku. Blok kaya gas bumi yang dikembangkan Inpex dan Shell itu hingga kini belum ada kejelasan rencana produksinya. Salah satu sebabnya adalah keputusan pemerintah yang tidak konsisten soal pengembangan gas yang semula di laut lepas (off shore) menjadi di daratan (on shore).
Bukan hanya itu, ketidakpastian juga masih membayangi hulu kebijakan migas nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang itu masih dalam proses revisi yang tidak kunjung tuntas dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan UU itu dipastikan akan menyebabkan perubahan pada aturan turunannya. Lagi-lagi akan ada ketidakpastian di masa mendatang.
Kondisi hulu migas nasional sedang sulit. Sebaiknya tidak perlu dipersulit dengan kebijakan yang serba tak pasti.