Akhir April 2019, Uli Pangaribuan, advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta, terbata-bata menjawab pertanyaan awak media, terkait kasus pemerkosaan yang menimpa dua anak, kakak beradik J (14) dan J (7). Uli tidak habis pikir, bagaimana mungkin majelis hakim Pengadilan Negeri Cibinong membebaskan terdakwa, H (41), pelaku pemerkosa, karena alasan tak ada saksi yang melihat langsung kejadian perkara.
Padahal, kasus kekerasan seksual tersebut dialami para korban dalam waktu yang cukup lama, sekitar tiga tahun atau semenjak J berumur 12 tahun dan J berumur 4 tahun. “Majelis hakim benar-benar tidak berpihak pada korban yang merupakan anak-anak,” ungkap Uli, Senin (22/5/2019), saat menyampaikan sikap Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta atas kasus tersebut.
Kepada awak media, Uli membeberkan sejumlah kejanggalan yang ditemukan selama proses persidangan kasus tersebut. Mulai dari jumlah hakim yang hanya satu orang, sementara dalam putusan disebutkan majelis hakim yang berjumlah tiga orang. Begitu juga perlakuan terhadap para korban dan ibu mereka. Selain saat sidang kedua korban tidak boleh didampingi pendamping dan orangtua, saat persidangan pun korban dipertemukan dengan pelaku.
“Keluarga korban juga tidak diinformasikan tentang perkembangan proses persidangan,” kata Uli.
Sementara itu, terdakwa atau pelaku sebenarnya dalam pemeriksaan persidangan sudah mengakui pernah melakukan kekerasan terhadap kedua anak korban. Di persidangan selain keterangan saksi, hasil visum terhadap J dan J juga terbuka telah terjadi kekerasan seksual. Karena itulah, jaksa menuntut 14 tahun penjara dan denda Rp 30 juta kepada terdakwa.
Tapi akhir dari perkara tersebut, mengejutkan Uli dan keluarga korban, karena 25 Maret 2019, majelis hakim yang diketuai Muhammad Ali Askandar serta anggota Chandra Hutama dan Raden Ayu Rizkiyati memutus bebas terdakwa karena tak ada saksi yang melihat langsung kejadian perkara.
Belakangan kasus ini menuai sorotan dan kritik publik. Hingga akhirnya, MA mengambil tindakan terhadap majelis hakim, termasuk ketua PN Cibinong, pada akhir April lalu. Pemeriksaan hakim masih berjalan, sementara jalan J dan J mendapatkan keadilan masih panjang.
Kasus J dan J hanyalah salah satu dari kasus kekerasan seksual yang menggugah rasa kemanusiaan. Betapa sulitnya anak-anak korban tersebut meraih keadilan. Pengadilan yang merupakan benteng terakhir mereka mendapat keadilan, ternyata masih jauh dari harapan.
Kasus J dan J hanyalah salah satu dari kasus kekerasan seksual yang menggugah rasa kemanusiaan. Betapa sulitnya anak-anak korban tersebut meraih keadilan.
Perjuangan panjang untuk mendapatkan keadilan yang dilalui J dan J merupakan potret suram yang selama ini dihadapi para korban kekerasan seksual. Kasus J dan J hanyalah sebagian kecil dari kasus pemerkosaan yang sampai ke jalur peradilan. Sementara fenomena kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak, bagaikan gunung es.
Tidak semua diproses hukum
Dari waktu ke waktu kekerasan seksual mengalami perkembangan dan beragam jenis atau bentuk, sementara hukum materiil dan formal yang mengatur kekerasan seksual sangat terbatas. “Tidak semua jenis kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat dapat diproses hukum, karena tidak tersedia perangkat hukumnya,” ujar Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati.
Misalnya, soal perkosaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal perkosaan dalam arti yang sempit yakni penetrasi penis ke vagina dan pemaksaan fisik. Padahal pola dan bentuk perkosaan semakin beragam.
Padahal, sepanjang tahun 1998-2013 Komnas Perempuan menemukan ada 15 jenis kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, namun hanya sebagian kecil yang dikenal hukum nasional Indonesia saat ini. Ke-15 jenis kekerasan seksual tersebut adalah perkosaan; pelecehan seksual; eksploitasi seksual; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; intimidasi, ancaman atau percobaan perkosaan; prostitusi paksa; pemaksaan kehamilan; pemaksaan aborsi; pemaksaan perkawinan; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan; dan pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi.
Sepanjang tahun 1998-2013 Komnas Perempuan menemukan ada 15 jenis kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, namun hanya sebagian kecil yang dikenal hukum nasional Indonesia saat ini.
Dari sisi kasus kekerasan seksual, Data Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2001-2011 dari 400.000 kasus yang dilaporkan, sekitar 94.000 kasus merupakan kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, hanya seperempat dari kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh para korban dan keluarga. Hanya sebagian kecil yang sampai ke pengadilan.
“Kami berharap DPR dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang, yang akan memastikan negara menjamin hak-hak atas pemulihan korban,” kata Nurhewati.
Undang-undang yang mengatur Penghapusan Kekerasan Seksual, setidaknya akan menjadi jawaban dari semua kebuntuan dan hambatan para korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan. Supaya jangan ada lagi pelaku kekerasan seksual yang dibebaskan, dan korban mendapatkan keadilan serta pemulihan.
Karenanya, langkah DPR dan pemerintah untuk segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sangat dinantikan. Semoga saat pembukaan Masa Persidangan V Tahun Sidang 2018-2019 DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan akhirnya mengesahkan menjadi undang-undang.