Semua perusahaan pengalengan yang tergabung dalam Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia telah mengantongi Standar Nasional Indonesia. Hal ini dilakukan agar produk industri pengalengan ikan di Indonesia memiliki standar yang sama.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Semua perusahaan pengalengan ikan yang tergabung dalam Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) telah mengantongi Standar Nasional Indonesia. Dengan itu, semua produk industri pengalengan ikan di Indonesia diharapkan memiliki standar sama.
Selain soal menjamin mutu produk yang melindungi konsumen, semua industri pengalengan ikan di Indonesia diharapkan siap bersaing secara sehat dalam perdagangan regional, terutama di kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
”Total anggota Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia yang aktif maupun tidak aktif berjumlah 52 perusahaan atau pabrik. Sebanyak 36 pabrik di antaranya perusahaan pengalengan ikan dan semuanya sudah berstandar nasional Indonesia,” ujar Ketua Apiki Ady Surya di sela-sela Pelatihan Proses Sterilisasi Komersial F0 Industri Pengalengan Ikan yang diselenggarakan Apiki bersama Badan Standardisasi Nasional (BSN) di Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (9/5/2019).
Ady mengatakan, penerapan SNI untuk industri pengalengan itu didasari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2018. Pada 23 Juni 2019, SNI menjadi hal wajib bagi industri pengalengan tuna, sarden, dan makarel.
Melalui standardisasi tersebut, Apiki ingin menjaga konsistensi sistem jaminan mutu dan keamanan pangan. Dengan ada standar tersebut, semua produk anggota Apiki memiliki kualitas yang sama.
”Karena mutunya sudah standar, persaingan yang terjadi di pasar ialah adu keahlian dalam melayani konsumen. Penerapan SNI Wajib juga menjadi komitmen Apiki untuk melayani konsumen,” kata Ady.
Hal senada disampaikan Kepala Seksi Fasilitasi Industri dan Organisasi Publik BSN Tegar Ega Pragita. Menurut dia, standardisasi tidak hanya digunakan untuk mengatur standar kualitas produk, tetapi juga standar keamanan dan keselamatan konsumen.
”Dengan adanya SNI, konsumen mendapat perlindungan sehingga mereka hanya mendapat produk yang bermutu dan aman. Aman dalam artian bebas dari cemaran mikroba, logam, maupun kimia histamin (zat kimia yang diproduksi oleh sel-sel di dalam tubuh ketika mengalami reaksi alergi atau infeksi),” tutur Tegar.
Tegar menjelaskan, beberapa hal yang diatur standarnya antara lain kualitas, bobot tuntas, bentuk, ukuran, dan rasa. Pengaturan standar tidak hanya dilakukan pada produk jadi, tetapi juga pada bahan baku.
Namun, tidak semua aturan SNI dinilai tepat oleh pelaku industri pengalengan. Asisten Direktur PT Delta Pasific Indotuna Abdul Khalid justru menilai aturan bobot tuntas berpotensi membuat banyak produk ikan kaleng ekspor masuk ke Indonesia. Adapun bobot tuntas ialah berat ikan setelah cairan ditiriskan.
”Dalam SNI, bobot tuntas di dalam kaleng tuna diatur 60 persen, sedangkan di aturan ekspor bobot tuntas yang diminta 70 persen. Semakin tinggi bobot tuntas, harga jualnya semakin mahal. Hal ini akan berdampak ke pasar lokal. Harga jual akan menjadi lebih mahal. Kami khawatir nantinya akan tidak terserap,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Apiki meminta Khalid mengajukan keberatan melalui mekanisme perundangan yang ada. Harapannya, penerapan SNI tidak merugikan industri pengalengan dalam negeri, tetapi justru membantu dalam persaingan di pasar global.