Penugasan untuk meliput Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K datang seperti sambaran kilat. Kami cuma punya waktu kurang dari seminggu untuk membentuk tim, menyusun rencana, sebelum lomba lari maraton ultra itu dimulai di Pototano, Sumbawa Barat, NTB, 1 Mei 2019.
Penugasan untuk meliput Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K datang seperti sambaran kilat. Kami cuma punya waktu kurang dari seminggu untuk membentuk tim, menyusun rencana, dan tiba setidaknya dua-tiga hari sebelum lomba lari maraton ultra itu dimulai di Pototano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (1/5/2019).
Berkebalikan dengan lomba lari terekstrem di Asia Tenggara itu yang butuh stamina berkesinambungan, penugasan kami berlangsung dengan cepat. Tim kami terdiri atas lima orang, yakni jurnalis foto dan jurnalis dari Jakarta, jurnalis dari Surabaya, serta dua jurnalis dari Mataram yang satu di antaranya baru didatangkan dari Padang.
Kami akhirnya berkumpul di Mataram, Sabtu (27/4/2019) siang, di rumah Khaerul Anwar (RUL), wartawan senior Kompas. Di sana disusun rencana detail liputan, pembagian tugas, dan tentu tak boleh ketinggalan menyantap salah satu kuliner khas, paket nasi kelor. Setelah itu, mengejar waktu ke Pototano di Pulau Sumbawa yang berjarak 6-7 jam perjalanan dari Mataram, termasuk penyeberangan dengan feri.
Selepas tengah malam, kami tiba di Pototano dan untunglah mendapat penginapan yang juga akan ditempati oleh 55 peserta lomba lari itu. Menurut jadwal dari panitia, peserta akan tiba di Pototano pada Selasa (30/4/2019) sore. Kami punya waktu dua hari untuk mencari bahan liputan persiapan lomba dan sisi lain kehidupan masyarakat ”Tana Samawa”, julukan Pulau Sumbawa.
Ada beberapa tema liputan di luar lomba yang akhirnya dapat kami susun dan telah terbit, antara lain permen susu, madu, seni tutur sakeco, tenun, dan jagung. Persiapan, pelaksanaan, dan pascalomba akhirnya juga dapat kami liput meski harus diakui ada sejumlah kekurangan.
Kami merasa belum puas dengan tugas yang dijalankan dan dengan hati terbuka menerima berbagai kritik dan masukan. Tujuannya jelas, liputan serupa di tahun depan lebih baik.
Berlari
Nah, saatnya berbagi kisah tentang liputan Lintas Sumbawa 320K. Lomba ini diikuti 55 pelari. Lomba dibagi menjadi dua kategori, yakni individu putra putri yang menempuh jarak 320 kilometer (km) dan relay atau lari beranting 2 x 160 km. Untuk jarak 320 km, panitia menyediakan water station (WS) di setiap 20 km dan check point (CP) di setiap 40 km.
Saat acara berlangsung, bahan penulisan tentu adalah peristiwa yang terjadi sepanjang lomba. Dengan mobil, kami memantau pergerakan pelari. Kami juga mengandalkan live tracking pada laman Kompas Tambora Challenge untuk melihat persaingan keseluruhan para pelari.
Lomba edisi ini cukup spesial karena diikuti Alan Maulana (juara 2015), William Beanjay (juara 2018), dan Eni Rosita (juara 2017-2018) di kategori individu. Selain itu, ada juga Oktavianus Quaasalmy (juara 2017 kategori relay) dan Santih Gunawan (juara 2018 kategori relay) yang turun di nomor individu.
Lomba dimulai di Pototano, Rabu, 1 Mei 2019, pukul 15.00. Kami memantau pelari dan terkadang mengikuti mereka dari belakang. Tentu saja bukan dengan berlari, melainkan cukup dengan naik mobil. Ya, sesekali berlari juga sih ketika membutuhkan foto yang bagus atau mencari tempat yang sip untuk melihat suasana lomba.
Dengan tenaga lima orang, tidak mungkin bagi kami untuk melihat satu per satu peserta, apalagi memantau gerak-gerik mereka. Urusan itu biarlah menjadi tanggung jawab pengawas dan panitia. Kami harus berkonsentrasi melihat para juara dan pelari terdepan dan atau yang terbelakang.
Jika pelari terdepan dengan pelari terbelakang berjarak 50 km, untuk memantau seperti apa kondisi di depan dan belakang, terkadang kami terpaksa bolak-balik. Dengan berlari? Tentu tidak Ferguso, kan, sudah ada mobil.
Pada hari pertama, para pelari terdepan, Jumardi (relay) dan Hendra Siswanto (individu), dapat menempuh 80 km. Kami cukupkan pemantauan sampai Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa, yang berada di Km 90-100 dalam lintasan itu.
Di sana kami menginap, menulis laporan, dan melepas malam dengan tidur selepas stres dengan laporan. Bagaimana dengan para pelari? Ada yang cuek dengan terus berlari, seperti Jumardi dan Hendra, ada pula yang mulai tumbang atau beristirahat untuk memulihkan energi yang terkuras.
Di luar WS dan CP, pelari diberi kebebasan untuk berhenti, bahkan jajan. Yang tidak diperbolehkan adalah menerima dukungan dari keluarga atau tim yang dibawa sendiri. Pemberian dari masyarakat, seperti makanan dan minuman, boleh diterima dan dikonsumsi.
Jika WS dan CP adalah hak pelari, hak tempat berhenti dan jajan bagi tim peliput adalah warung, toko, dan kedai. Pilihan utama ialah area dengan sinyal telekomunikasi dan internet prima.
Liputan yang melelahkan dan penulisan laporan yang bikin keringat dingin mengucur tentu tak berguna jika informasi dan foto tidak bisa dikirim dan dipublikasikan.
Kami pun membuat pengandaian. Jika pelari berlari terus ke depan menuju finis, tim peliput juga ”berlari”, tetapi maju mundur menuju tempat dengan sinyal bagus untuk membuat dan mengirim laporan. Jika tenggat sudah dekat dan teman-teman editor di Jakarta sudah mulai ”cerewet”, pembuatan laporan bak lomba lari cepat.
Otak, jari, dan mata ibarat kaki-kaki yang harus melesat kilat menyelesaikan lema, kalimat, paragraf, yang akhirnya menjelma menjadi berita dan feature. Kalau sudah begini, sangat mungkin terjadi kesalahan ketik sehingga teguran dari editor menjadi penyempurna malam sebelum menyerah pada bunga tidur.
Di antara kami yang ikut liputan lari, ada juga yang mempraktikkan berlari kecil-kecilan. Ismail Zakaria (ZAK) berusaha setiap pagi berlari beberapa kilometer. Sementara rekan-rekan lain sekadar senam sendiri atau malah meringkuk di balik selimut melanjutkan tidur.
Biar begitu, kami berusaha menjaga mood dengan bersenda gurau. Liputan lomba lari ekstrem jangan sampai ikutan terbawa ekstrem, keletihan, apalagi sampai jatuh sakit.
Komentar kalangan warga kepada para pelari ekstrem rata-rata amat kagum. Para jawara langkah seribu itu bahkan dibilang ”gila”. Siapa pula mau berlari 320 km di rute berupa jalan raya nasional yang lebih sering dilintasi sapi dan kerbau ketimbang kendaraan bermotor.
Biarlah para pelari itu saja yang membawa letih dan siksa karena lomba. Kami tak perlu ikut-ikutan menyiksa diri untuk mengumpulkan, menyusun, dan mengirim informasi.
Seusai lomba, Santih Gunawan menyampaikan harapannya agar para jurnalis yang datang meliput Lintas Sumbawa 320K pada tahun-tahun mendatang dapat turut berpartisipasi. ”Enggak usah 160K atau 320K. Cukup satu atau dua CP saja. Biar ngerti seperti apa lari di sini, enggak cuma lihat,” katanya.
Ya, usul itu pun dibicarakan dalam tim. Tanggapannya, ”Oh, tidak semudah itu, Ferguso.” Tugas kami adalah memacu jemari untuk ”berlari” di papan ketik demi menyelesaikan laporan jurnalistik.
Namun, tantangan untuk ikut berlari juga tidak bisa diabaikan. Mungkin loh ya, dua-tiga tahun mendatang, ada di antara kami dari Redaksi Kompas yang menjadi peserta kategori relay atau malah individu. Mungkin....