JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia memperkuat stabilitas sistem keuangan dan perlindungan konsumen dalam transaksi valuta asing. Penguatan itu melalui aturan tentang perizinan penyedia platform transaksi perdagangan secara elektronik di pasar uang.
Aturan itu disesuaikan dengan perkembangan di pasar uang dan valuta asing. Seiring dengan kemajuan teknologi, BI perlu mengawasi seluruh transaksi.
”Pengaturan ini untuk mendorong permintaan domestik melalui peningkatan efisiensi dan transparansi, integritas, pemerintahan, perlindungan nasabah, dan integrasi pasar keuangan,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI Agusman, Rabu (8/9/2019), di Jakarta.
Aturan itu berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 21/5/PBI/2019 tentang Penyelenggara Sarana Pelaksanaan Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (Valas).
Menanggapi aturan BI itu, ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, berpendapat, payung hukum yang memayungi perizinan penyedia platform transaksi perdagangan pasar uang elektronik (ETP) dapat meningkatkan transparansi bertransaksi. Dengan demikian, pembentukan harga mata uang semakin optimal.
”Transaksi ETP dengan denominasi rupiah sudah berjalan hampir dua tahun. Karena peran dari sistem ini penting, BI akhirnya menerbitkan aturan rinci tentang penyedia ETP untuk pertama kali,” ujar Josua.
Menurut Josua, jika pasar uang bekerja secara efisien, data pasar akan merefleksikan kinerja mata uang yang sebenarnya. Hal itu akan meningkatkan kredibilitas BI sebagai bank sentral yang berfungsi mengatur stabilitas nilai tukar.
Mengakomodasi
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David E Sumual, menilai, penerbitan aturan BI ini mengakomodasi pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan platform elektronik.
”Sebenarnya kasusnya mirip-mirip seperti teknologi finansial ilegal. Akan tetapi, karena ada kaitannya dengan sistem pembayaran, BI yang menerbitkan payung hukum. Seandainya ada persoalan di pasar keuangan, dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas ekonomi makro,” ujar David.
Dalam peraturan BI ini, penyedia ETP diharuskan berbentuk badan usaha dengan modal disetor Rp 30 miliar dan modal dipelihara Rp 10 miliar. Sementara perusahaan pialang diwajibkan berbadan usaha dengan modal disetor Rp 12 miliar dan modal dipelihara Rp 5 miliar.
BI memberikan waktu transisi selama tiga tahun bagi penyedia ETP hingga 31 Oktober 2022 untuk memenuhi PBI itu. Agusman mengungkapkan, masa transisi diberikan agar penyedia ETP dapat memenuhi aturan pembentukan badan usaha serta permodalan.
Penegakan aturan ini sejalan dengan inisiatif G-20 Over the Counter (OTC) Derivative Market Reform atau Pembaruan Pasar Derivatif OTC negara-negara yang tergabung dalam G-20 dan penerbitan Panduan Internasional. Derivatif OTC merupakan transaksi derivatif berdasarkan kontrak bilateral yang dilakukan di luar bursa atau tanpa menggunakan pialang.
BI, di dalam aturan ini, mengatur secara khusus ketentuan perizinan dan penyelenggaraan transaksi yang dilakukan penyedia platform transaksi perdagangan secara elektronik di pasar uang dan perusahaan pialang (PPU).
Aturan juga berlaku bagi bank yang menyediakan sarana transaksi pasar uang dan pasar valas atas akun milik sendiri dan penyelenggara bursa (bursa berjangka).
Khusus bagi bank yang menyediakan sarana transaksi pasar uang dan pasar valas atas akun milik sendiri, perizinan akan diatur secara lengkap sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan. Alasannya terkait dengan aturan perbankan.
Sementara aturan terkait dengan izin penyelenggara bursa berjangka akan diatur Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. (DIM)