Reinkarnasi Kisah Marhaen di Karawang
Pertemuan tak sengaja Soekarno dengan seorang petani di daerah Bandung selatan, Jawa Barat, pada dekade 1920-an turut mewarnai perjalanan hidup presiden pertama RI itu. Adalah Marhaen, petani yang hidup di bawah garis kecukupan, yang menginspirasi Soekarno muda membangun pandangan-pandangan politiknya.
Pertemuan tak sengaja Soekarno dengan seorang petani di daerah Bandung selatan, Jawa Barat, pada dekade 1920-an turut mewarnai perjalanan hidup presiden pertama RI itu. Adalah Marhaen, petani yang hidup di bawah garis kecukupan, yang menginspirasi Soekarno muda membangun pandangan-pandangan politiknya.
Nama petani itu kemudian menjadi istilah yang digaungkan oleh Soekarno untuk merujuk pada sebuah pandangan ideologis, marhaenisme. Hampir satu abad berselang, cerita kehidupan Marhaen masih bergulir dengan kisah yang tak jauh berbeda, dan marhaenisme menjadi kata yang tak asing bagi kalangan intelektual di Indonesia.
Pertemuan Marhaen dengan Soekarno terjadi pada tahun 1921, saat Soekarno masih berusia 20 tahun. Saat itu, Soekarno sedang berjalan-jalan melihat keadaan penduduk. Kala itu, Bandung selatan merupakan lokasi pertanian yang cukup padat dengan kepemilikan lahan setiap petani rata-rata kurang dari sepertiga hektar.
”Bagaimana mungkin sawah yang begitu kecil ini cukup untuk seorang istri dan empat orang anak,” kata Marhaen saat menjawab pertanyaan Soekarno (Adams, 1965).
Dalam buku Soekarno an Autobiography karya Cindy Adams, Soekarno mengungkapkan bahwa Marhaen adalah seorang petani yang memiliki sebidang tanah kecil. Lahan tersebut merupakan warisan dari sang ayah. Hanya saja, produksi dari petak sawah yang diusahakan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
”Bagaimana mungkin sawah yang begitu kecil ini cukup untuk seorang istri dan empat orang anak,” kata Marhaen saat menjawab pertanyaan Soekarno (Adams, 1965). Hampir satu abad berlalu, kisah Marhaen seolah mengalami reinkarnasi atau terlahir kembali.
Hingga kini masih terdapat petani yang bertahan hidup dengan sebidang tanah kecil sehingga tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Jika satu abad yang lalu Soekarno menemukan kisah ini di bagian selatan Jawa Barat, kini cerita serupa masih terjadi di daerah Karawang, bagian utara Jawa Barat.
Petani di daerah Karawang hidup di bawah ambang batas kecukupan kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat diukur dari nilai tukar petani pada subsektor tanaman pangan (NTPP) yang berada di bawah angka 100. Jika nilai tukar petani berada di bawah 100, petani mengalami defisit. Artinya, penghasilan petani lebih kecil dibandingkan pengeluaran.
Pada tahun 2017 lalu, NTPP daerah Karawang hanya mencapai 91,16, jauh di bawah angka 100. Padahal, Karawang merupakan salah satu daerah lumbung padi di Indonesia dengan jumlah panen 1,6 juta ton gabah pada tahun 2017.
Produksi ini lebih tinggi dibandingkan daerah pertanian lain di Jawa Barat, seperti Indramayu yang sebesar 1,4 juta ton dan Subang 1,3 juta ton.
Petani subsisten
Nilai tukar petani subsektor tanaman pangan yang berada di bawah angka 100 menegaskan subsistensi petani di daerah ini. Hal ini menunjukkan bahwa petani tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serupa dengan kehidupan Marhaen satu abad silam.
Subsistensi kehidupan petani ini salah satunya terjadi di Kecamatan Tempuran, salah satu daerah lumbung padi yang terletak di bagian utara Kabupaten Karawang. Dari 8.809 hektar luas lahan di Kecamatan Tempuran, 6.480 hektar atau 73,6 persen di antaranya adalah area persawahan. Meski demikian, petani daerah ini masih hidup di bawah garis subsistensi atau batas kecukupan kehidupan sehari-hari.
Faktor utama yang menyebabkan subsistensi petani Tempuran adalah minimnya lahan garapan yang dimiliki. Menurut data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Pertanian Kecamatan Tempuran, rata-rata petani di daerah ini hanya memiliki lahan seluas 0,8 hektar. Padahal, jika membandingkan penghasilan dan kebutuhan petani di daerah ini, setiap petani seharusnya memiliki luas lahan minimal 2 hektar untuk dapat memperoleh keuntungan.
Jika dirata-rata, penghasilan petani dengan luas lahan 1 hektar di Tempuran adalah sebesar Rp 2,9 juta. Namun, penghasilan ini belum dikurangi dengan biaya lain-lain, seperti beban sewa, perbaikan mesin, dan utang.
Menurut salah satu petani pemilik lahan di Kecamatan Tempuran, Jejen Supriyadi, terdapat penyusutan penghasilan yang disebabkan oleh tingginya biaya sewa sejumlah peralatan pertanian dan perbaikan mesin yang rusak. Salah satu beban biaya yang harus dikeluarkan adalah perbaikan mesin atau pergantian kerangka traktor yang membutuhkan biaya hingga Rp 10 juta. Meski ditanggung secara bersama oleh anggota kelompok tani, petani secara individu tetap harus mengeluarkan biaya untuk iuran perbaikan alat pertanian.
Selain itu juga terdapat beban biaya lain, seperti biaya sewa ojek saat panen yang mencapai Rp 1,34 juta per hektar. Biaya ini harus dikeluarkan karena minimnya pembangunan jalan usaha tani sehingga petani harus menyewa kendaraan khusus untuk dapat melalui jalanan tanah saat mengangkut hasil panen.
Akibatnya, rata-rata penghasilan menyusut hingga sekitar Rp 2 juta per hektar dalam satu bulan. Jika dibagi dengan rata-rata kepemilikan lahan di Kecamatan Tempuran seluas 0,8 hektar per petani, setiap petani hanya memperoleh penghasilan Rp 1,6 juta per bulan. Penghasilan ini sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari petani.
Menurut Ilan Jaya, Ketua Gabungan Kelompok Tani di Kecamatan Tempuran, rata-rata setiap hari petani membutuhkan Rp 50.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani yang sudah berkeluarga dengan satu anak minimal membutuhkan biaya hidup Rp 100.000 per hari. Artinya, dalam satu bulan, petani yang telah berkeluarga membutuhkan biaya hingga Rp 3 juta.
Berdasarkan rata-rata penghasilan sebesar Rp 1,6 juta per bulan dengan luas lahan 0,8 hektar, petani membutuhkan lahan minimal seluas 2 hektar untuk memperoleh keuntungan dari usaha tani. Namun, ruang usaha tani yang semakin menyempit menyebabkan petani sulit memiliki lahan yang lebih luas. Minimnya jumlah lahan dan penghasilan yang dimiliki oleh petani ini menjadi persoalan yang sama seperti dihadapi petani Marhaen satu abad silam.
Warisan lahan
Ruang usaha tani yang semakin menyempit salah satunya disebabkan adanya budaya warisan lahan. Lahan pertanian yang dimiliki oleh seorang petani di daerah ini diwariskan kepada sang anak. Budaya tersebut hingga saat ini masih menjadi kebiasaan para petani di daerah Tempuran, yang berdampak pada fragmentasi lahan atau menyusutnya kepemilikan lahan pertanian.
Salah satu petani yang masih menerapkan sistem warisan lahan adalah Ada Syaifudin. Menurut Ada, orangtuanya dahulu memiliki lahan seluas 15 hektar yang dimanfaatkan sebagai area persawahan. Lahan pertanian ini kemudian diwariskan kepada Ada dan beberapa saudara lainnya. Ia memperoleh lahan warisan seluas 5 hektar.
Kini, Ada juga mewariskan lahan pertanian yang dimiliki kepada enam anaknya. Artinya, setiap anak memperoleh luas lahan kurang dari 1 hektar. Menurut dia, warisan lahan merupakan hal yang perlu dilakukan untuk menjamin penghasilan bagi keturunannya. Selain itu, hal ini telah menjadi tradisi bagi keluarga Ada sehingga tetap dilanjutkan.
”Kita punya lahan, rugi kalau tidak dimanfaatkan oleh anak-anak. Jadi, saya wariskan kepada setiap anak supaya mereka juga bisa kerja,” kata Ada.
Menurut penyuluh pertanian di Kecamatan Tempuran, Enjang Sastra, warisan lahan adalah salah satu hal yang menggerogoti penerimaan petani pada setiap generasi di Karawang. Sejak Enjang menjadi penyuluh pertanian, 28 tahun lalu, warisan lahan menjadi kecenderungan yang tak dapat dihentikan. Hingga kini belum terdapat kebijakan yang membatasi kebiasaan tersebut.
Pemerintah sebelumnya telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hanya saja, dalam beleid ini belum terdapat aturan tentang pewarisan lahan pertanian secara turun-temurun.
Ruang usaha tani yang semakin menyempit salah satunya disebabkan adanya budaya warisan lahan.
Di daerah Karawang, upaya perlindungan lahan pertanian juga dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dalam aturan ini, 87.253 hektar lahan pertanian di Karawang ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Lahan pertanian ini tidak boleh dialihfungsikan hingga tahun 2031.
Namun, dalam aturan ini tidak terdapat ketentuan yang mengatur pewarisan lahan pertanian. Akibatnya, petani masih hidup dalam siklus budaya warisan lahan yang berdampak pada semakin kecilnya luas lahan garapan petani pada tiap generasi.
Keadaan ini juga persis seperti yang dialami oleh Marhaen satu abad silam. Kala itu, bermodalkan lahan warisan dari sang ayah, ia tak memiliki pilihan selain menjadi petani untuk menghidupi keluarganya.
Dampaknya, hasil pertanian yang diraihnya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini menegaskan adanya persoalan yang masih sama antara dunia pertanian saat itu dan apa yang dialami petani sepuluh dekade kemudian. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)