JAKARTA, KOMPAS — Agenda pemajuan kebudayaan masih dilakukan secara sporadis dengan sumber daya manusia yang terbatas. Meski demikian, sampai sejauh ini upaya pemajuan kebudayaan mulai menggerakkan orang-orang yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang kebudayaan.
Draft Rancangan Undang-Undang Kebudayaan pertama kali dibahas pada 1982. Selama 35 tahun, draft tersebut berulangkali dirundingkan oleh pemerintah maupun DPR, namun tak kunjung berhasil dirumuskan. Dua tahun lalu, konsep ini baru mulai mengerucut setelah pemerintah mencoba memfokuskan diri pada upaya pemajuan kebudayaan dengan penetapan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Selama 35 tahun rancangan UU Kebudayaan bolak-balik dibahas pemerintah dan DPR tapi tak pernah berhasil dirumuskan karena terlalu luas. Karena kita tak mungkin membuat UU Kebudayaan, maka diskusi selanjutnya lebih fokus tentang tata kelola kebudayaan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Selasa (7/5/2019), dalam diskusi “Linking Research Agenda with Cultural Progress" di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta. Diskusi ini menghadirkan pula pembicara lain, yaitu antropolog sekaligus anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Dave Lumenta.
Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah
Upaya pemajuan kebudayaan merupakan amanat UUD 1945. Karena itulah, seperti diatur dalam UU Pemajuan Kebudayaan, setiap kabupaten/kota dan provinsi diminta merumuskan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang kemudian menjadi dasar perumusan Strategi Kebudayaan dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Sejauh ini, sudah ada 320 kabupaten/kota dan 34 provinsi yang telah menyerahkan PPKD ke Ditjen Kebudayaan Kemdikbud.
Sejauh ini, sudah ada 320 kabupaten/kota dan 34 provinsi yang telah menyerahkan PPKD ke Ditjen Kebudayaan Kemdikbud.
Menurut Hilmar, proses yang sangat masif ini melalui proses yang tidak mudah. Sebab, pada umumnya, pemerintah daerah tidak mempunyai ruang riset untuk melakukan identifikasi, anggaran, serta sumber daya manusia profesional.
”Masih ada 190-an kabupaten/kota yang belum menyusun PPKD. Kalau tidak menyusun tidak apa-apa, tapi Dana Alokasi Umum tidak akan turun untuk mereka. Prinsipnya, penyusunan (PPKD) ini menjadi basis pembangunan kebijakan tentang kebudayaan,” terangnya.
Hingga kini, upaya pemajuan kebudayaan masih bergulir di tahap metode penghimpunan informasi menjadi data-data yang bermakna. Pada tingkat ini, Hilmar mengakui banyak pemerintah daerah masih memiliki kesulitan yang luar biasa karena minimnya ketersediaan SDM.
“Jumlah orang yang terdidik di bidang ilmu sosial dan humaniora sangat terbatas. Meski demikian, UU Pemajuan Kebudayaan telah berhasil membuka ruang luas karena dalam penyusunan PPKD rata-rata setiap daerah harus menyelenggarakan antara enam hingga tujuh pertemuan yang melibatkan minimal 20 orang dalam setiap pertemuan. Keterlibatan orang-orang yang berpengalaman dan punya pengetahuan tentang kebudayaan cukup substansial di sini,” kata dia.
Sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan, langkah pemajuan kebudayaan (berupa perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan) dilaksanakan dengan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, PPKD provinsi, dan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan inilah yang akan menjadi dasar perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan sebagai acuan penyusunan rencana pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang bidang kebudayaan.
Sesuai amanat UU Pemajuan Kebudayaan, langkah pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, PPKD provinsi, dan strategi kebudayaan.
Perumusan strategi kebudayaan melibatkan sekitar 800 diskusi yang diikuti 5.000-an orang selama 10 bulan sejak Maret 2018. Dari seluruh proses itu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud menerima laporan PPKD yang terkumpul dari 320 kabupaten/kota dan 34 provinsi.
Angka sebagai ukuran
Dave mengatakan, saat ini segala macam program pemerintah dikepung dengan sistem audit dan pengukuran. “Kita lupa bahwa sebenarnya berangkat dari pertarungan ideologis. Dengan pengukuran kuantatif, maka yang dinilai hanya angka. Sehingga, lama-lama negara ini tidak mengetahui apa-apa tentang dirinya karena yang diketahui hanya angka dan angka,” ucapnya.
Sistem pengukuran ini berbeda dengan metode yang dilakukan pemerintah Belanda di zaman kolonial. Laporan-laporan Belanda justru banyak disampaikan dalam bentuk narasi dan deskripsi dan bukan angka-angka. Dengan demikian, asal-muasal masalah terlihat dan cara penangannya lebih jelas.