Memulai Liga Champions musim ini sebagai salah satu tim paling sederhana dan irit, Ajax kini justru menjelma menjadi mimpi buruk tim-tim kaya. Itu semua terjadi berkat akademinya yang berjuluk ”De Toekomst” alias masa depan.
Oleh
Yulvianus Harjono
·3 menit baca
Musim ini, Ajax Amsterdam seolah mengajarkan bahwa uang bukan lagi masalah di dalam mengejar prestasi tinggi, selama punya mimpi. Memulai Liga Champions musim ini sebagai salah satu tim paling sederhana dan irit, Ajax kini justru menjelma menjadi mimpi buruk tim-tim kaya. Itu semua terjadi berkat akademinya yang berjuluk ”De Toekomst” alias masa depan.
Berbicara soal anggaran, Ajax ibarat kurcaci dibandingkan dengan tim-tim raksasa di Eropa, seperti Real Madrid, Barcelona, Juventus, bahkan Tottenham Hotspur. Anggaran belanja klub asal Belanda itu adalah yang paling kecil di antara 15 tim lainnya di babak 16 Besar. Ajax hanya menghabiskan 95 juta euro atau setara Rp 1,5 triliun untuk menciptakan skuad berisi 25 pemain, di Liga Champions musim ini
Anggaran senilai itu hanyalah membuat mereka sejajar dengan klub-klub kasta kedua atau Divisi Championship di Inggris, seperti Aston Villa dan Middlesbrough. Nilai itu bahkan tidak cukup untuk mendatangkan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid, seperti dilakukan Juve awal musim panas lalu. Sebagai gambaran, total pengeluaran Juve adalah 424 juta euro atau lebih dari empat kali lipat pengeluaran Ajax.
Kesenjangan itu jauh lebih lebar jika anggaran Ajax dibandingkan dengan Paris Saint-Germain, yang menghabiskan 718 juta euro atau setara dengan Rp 11,5 triliun, untuk memperkuat timnya di musim ini. Namun, seperti diketahui, ambisi tinggi PSG ”membeli” trofi Liga Champions itu terhenti dini pada babak 16 besar. Nasib serupa dialami Juve dan tim kaya Madrid yang disingkirkan Ajax masing-masing di 16 besar dan perempat final.
”Strategi kami adalah menciptakan para pemain bintang, legenda, alih-alih membeli mereka,” ungkap Edwin van Der Sar, CEO Ajax, menjelaskan alasan di balik minimnya dana anggaran belanja pemain mereka seperti dikutip CNN, akhir April lalu.
Strategi itu dituangkan lewat akademi De Toekomst. Tak heran, publik luar melihat akademi sepak bola itu sebagai pabrik ”impian”. Secara tradisi, akademi itu telah melahirkan banyak pemain hebat, seperti Frank Rijkaard, Patrick Kluivert, Christian Eriksen, dan Van Der Sar.
Tiga bintang Ajax saat ini, yaitu kapten Matthijs de Ligt, gelandang Frenkie de Jong, dan Donny van De Beek, merupakan produk akademi mereka sendiri. Ajax tidak mengeluarkan sepeser pun untuk menikmati jasa trio pemain muda yang masing-masing dianggap sebagai pemimpin, otak, dan imajinasi Ajax itu. Satu hal yang paling ditakuti dari tim ini adalah mereka tidak punya rasa takut akan kebesaran nama lawan-lawan mereka.
Tanpa takut
Karakter itu membuat Ajax mampu bermain lepas dengan ciri khas serangan cepat, dinamis, dan menekan, yang membingungkan lawan, tidak peduli di mana mereka tampil. Tak heran, mereka menjadi satu-satunya semifinalis musim ini yang selalu menang di kandang lawan, yaitu berturut-turut Madrid, Juve, dan Spurs.
”Jika Anda seorang penakut, Anda akan mendapatkan masa-masa sulit di sini,” bunyi tulisan besar di Akademi Ajax.
Pasukan Ajax, seperti De Jong dan De Ligt, kini merunut jejak pendahulu mereka seperti Van der Sar, Clarence Seedorf, dan Kluivert. Pada 1995, ketiga legenda Ajax itu hanya sekelompok anak kemarin sore yang minim pengalaman, tetapi memiliki talenta dan mimpi besar. Tanpa diduga, mereka justru menjadi juara dengan mengalahkan tim terhebat saat itu, AC Milan, di final.
Seusai kesuksesan itu, para bintang muda Ajax tersebut dibajak klub-klub kaya Eropa, termasuk Milan pada musim panas 1997. Serupa saat ini, trofi juara Liga Champions juga menjadi bidikan atau persembahan terakhir De Jong dan De Ligt untuk tim yang membesarkannya itu sebelum ”meloncat karier” ke tim yang lebih populer, Barcelona.