Manajemen Pemilu di Negeri Padat Pemilih, India
Butuh persiapan panjang untuk menggelar sebuah pemilihan umum, terlebih di negara dengan jumlah pemilih yang terbilang besar. Untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun ini di Indonesia yang memiliki jumlah pemilih 192,8 juta orang, Komisi Pemilihan Umum RI mulai mempersiapkan tahapan pemungutan mulai 3 September 2017, dengan agenda pendaftaran peserta pemilu.
Jika dihitung dari tanggal pelaksanaan pemungutan suara, persiapan tersebut sudah dilakukan sejak 19 bulan sebelumnya. Walau sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, sejumlah catatan masih mengemuka di balik pelaksanaan pemilu pada 17 April 2019.
Sejumlah masalah yang mengemuka adalah penetapan daftar pemilih tetap, mekanisme pindah memilih, keterlambatan logistik, dan meninggalnya setidaknya 412 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Besarnya jumlah pemilih, tersebarnya lokasi tempat pemungutan suara (TPS), dan kurangnya tenaga yang terlibat menjadi salah satu simpul permasalahan yang harus dicermati untuk memperbaiki kulitas pemilu di Indonesia.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menyelenggarakan pemilu dengan jumlah pemilih besar di dunia. Terdapat delapan negara yang memiliki jumlah pemilih di atas 100 juta orang. Selain Indonesia, sebaran lumbung pemilih terdapat di Jepang, Bangladesh, Pakistan, Rusia, dan Brasil. Sementara dua negara yang memiliki jumlah pemilih terbesar adalah India dan Amerika Serikat.
Jumlah pemilih di AS pada pemilu 2016 mencapai 214,1 juta orang. Pemilihan presiden di AS bukan berdasarkan jumlah suara pemilih (popular vote), melainkan berdasarkan perolehan electoral college. Dewan elektoral ini adalah para utusan atau delegasi yang dipercaya partai.
Mereka juga tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan atau legislatif. Tugasnya memilih presiden setelah lima pekan dari pemungutan suara. Untuk merebut kursi presiden, seorang kandidat harus memenangi mayoritas electoral college, yaitu sejumlah 270 dari seluruh 538 electoral college.
Pemilu India
Jumlah pemilih terbesar di dunia adalah India. Pada pemilu 2019, jumlah pemilih di India mencapai 900 juta orang. Karena menganut sistem pemerintahan Westminster, Inggris, masyarakat India hanya memilih anggota DPR mereka. Perdana menteri sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi dipilih oleh partai atau koalisi parpol di parlemen.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, India memiliki jumlah pemilih hampir lima kali lipat lebih banyak. Tidak hanya itu, dari segi geografis, medan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan India pun juga tidak mudah, yaitu mulai dari hutan lebat hingga Pegunungan Himalaya di ketinggian 15.256 kaki.
Untuk mendistribusikan logistik pemilu, Komisi Pemilihan India mengerahkan sedikitnya 700 kendaraan khusus, mulai dari kapal, pesawat terbang, hingga helikopter. Tidak jarang, untuk kondisi geografis hutan lebat yang tidak memungkinkan bagi kendaraan lewat, digunakan hewan seperti unta dan gajah.
Medan sulit yang harus dihadapi termasuk saat Komisi Pemilihan India membuatkan TPS bagi Bharatdas Darshandas, seorang pendeta Hindu, yang tinggal seorang diri di tengah hutan rimba dengan luas 350 kilometer persegi di Negara Bagian Gujarat.
Hal itu dilakukan mengingat pentingnya suara pemilih bagi kemajuan demokrasi India. Suara masyarakat India diperebutkan 1.841 partai yang mengincar 543 dari 545 kursi di parlemen India yang dikenal sebagai Lok Sabha, dua kursi sisanya untuk komunitas Anglo India. Proses pemilihan dibagi menjadi tujuh tahap hingga 19 Mei 2019. Hasil pemilu harus diumumkan pada 23 Mei 2019.
Salah satu kendala yang dihadapi India dengan jumlah pemilih yang besar dan kondisi geografis yang beragam adalah tingkat partisipasi pemilih. Walau berhasil mengakomodasi sekitar 500 juta suara, tingkat partisipasi pemilih di pemilu India pada 2014 hanya berkisar di angka 66 persen. Angka ini jauh di bawah partisipasi pemilih di Indonesia pada Pemilu 2014 di angka 75 persen.
Sadar akan jumlah pemilih yang besar, India membutuhkan cara pemungutan suara yang aman, tetapi tetap efisien. Teknologi menjadi jawaban India dalam mengatasi tantangan tersebut. Salah satu bentuk teknologi yang digunakan oleh Pemerintah India adalah e-Voting. Bahkan, teknologi e-Voting ini telah dirintis oleh India sejak 1980.
Mulai digagas pada 1977, penggunaan e-Voting ini mengundang pro dan kontra. Setelah diuji coba pada 1980 dan digunakan pada Pemilu India tahun 1982, penggunaan teknologi e-Voting ini pernah dihentikan akibat munculnya ketidaksetujuan di parlemen India. Setelah melalui proses pembahasan yang alot, akhirnya Undang-Undang Pemilu India pada 1990 memperbolehkan mesin pemilihan elektronik (electronic voting machine/EVM) untuk kembali digunakan.
EVM dirancang dalam dua unit, yaitu unit kontrol dan unit pemungutan suara. Kedua unit tersebut disatukan oleh sebuah kabel. Unit kontrol EVM disimpan oleh ketua KPPS atau anggota KPPS India, sedangkan unit pemungutan suara disimpan dalam bilik suara.
Unit kontrol digunakan oleh petugas TPS untuk memverifikasi identitas pemilih. Pada prinsipnya, alih-alih mencoblos kertas suara, pemilih akan menekan tombol di sebelah nama atau simbol kandidat yang ingin mereka pilih.
Unit pemungutan suara sendiri terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah mesin pemungutan suara yang berisikan nama dan simbol calon. Bagian inilah yang akan digunakan oleh pemilih untuk memberikan suaranya. Bagian kedua dari unit pemungutan suara adalah mesin pencetak atau biasa disebut voter verifiable paper audit trail (VVAPT).
Mesin ini berfungsi untuk mencetak slip pemilihan, seperti resi saat kita berbelanja di supermarket, dan menyimpannya sebagai rekap data secara manual. Jadi, tidak hanya menyimpan rekam jejak pemilihan secara daring, KPU India juga memegang rekam jejak pemilihan secara luring.
Sistem keamanan
Sadar akan resiko peretasan dalam menggunakan sistem e-Voting, keamanan sistem menjadi faktor yang krusial dalam penyelenggaraan pemilu di India. Untuk mengamankan suara rakyat, KPU India telah menyematkan berbagai fitur keamanan dalam sistem pemilu elektronik mereka.
Pengamanan pertama dimulai dari rancangan mesin EVM yang tidak dapat melakukan transmisi atau menerima frekuensi radio sehingga komunikasi nirkabel tidak dapat dilakukan untuk meretas mesin EVM.
Selain itu, cip yang digunakan dalam mesin EVM juga bersifat one time programmable, atau pemograman sekali. Hal ini berarti perangkat lunak yang tertanam di dalam cip tersebut hanya bisa dipogram satu kali saat dibuat, dan tidak dapat dimodifikasi atau dihapus ketika sudah terpasang.
Tidak hanya dari segi sistem, pengamanan mesin EVM dan penyelenggaraan pemilu berbasis e-Voting ini juga dilakukan dari segi sumber daya manusia secara luring. Pengamanan luring dimulai dari penyimpanan EVM yang dilakukan di tempat penyimpanan tertentu yang dijaga oleh aparat keamanan, dengan akses terbatas hanya untuk petugas yang berwenang.
Penyetoran dan pengambilan mesin ini harus dilakukan dengan dokumen segel yang ditandatangani petugas yang bertanggung jawab. Siapa pun yang keluar dan masuk ke ruang penyimpanan ini pun harus melewati serangkaian pengecekan.
Pengamanan juga dilakukan ketika mobilisasi mesin EVM dilakukan. Pada saat distribusi, hanya truk kontainer yang disegel oleh KPU India yang dapat mengangkut mesin EVM. Setiap truk yang mengangkut mesin akan dilengkapi GPS (global positioning system) yang dapat dilacak secara real time dan 24 jam.
Tidak hanya itu, setiap perjalanan truk pengangkut ini akan selalu dikawal oleh pihak kepolisian. Terakhir, dokumentasi berupa foto dan video akan dilakukan setiap mesin dinaikkan atau diturunkan dari kendaraan pengangkut.
Jumlah pemilih yang besar bukan menjadi kendala dalam menyelenggarakan pemungutan suara. Melaksanakan demokrasi di negara yang besar secara geografis dan jumlah penduduk tentu tidak mudah. Teknologi dapat digunakan untuk membantu terwujudnya demokrasi rakyat. (LITBANG KOMPAS)