Anoa Breeding Center Manado mempersiapkan kelahiran anoa keempat sejak 2017. Jumlah anoa akan bertambah menjadi sebelas ekor. Namun, keterbatasan dana menghalangi penambahan infrastruktur maupun sumber daya manusia untuk merawat satwa endemik Sulawesi tersebut
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS – Anoa Breeding Center Manado menyiapkan kelahiran anoa keempat sejak tahun 2017. Jumlah anoa akan bertambah menjadi sebelas ekor. Namun, keterbatasan dana menghalangi penambahan infrastruktur maupun sumber daya manusia untuk melestarikan satwa endemik Sulawesi tersebut.
Peneliti Madya Anoa Breeding Center (ABC) Irawati Dwi Arini mengatakan, salah satu anoa betina dewasa berusia 10 tahun, Manis, diduga bunting hasil pembuahan Rambo, anoa jantan 8 tahun. Kelahiran anoa baru diperkirakan sekitar Agustus 2019. Masa bunting anoa sekitar sembilan bulan dan satu ekor anoa setiap kelahiran baru.
“Manis kami duga sedang bunting. Akan diobservasi lebih lanjut oleh dokter hewan kami,” kata Arini di kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Manado, Senin (6/5/2019).
Saat ini, Manis menempati kandang kecil berukuran sekitar 80 meter persegi. Jika benar bunting, ia akan dipindah ke kandang khusus yang lebih luas sekitar 750 meter persegi untuk persiapan beranak hingga enam bulan setelah beranak.
Pemindahan kandang diperlukan, karena betina yang sedang bunting membutuhkan ruang lebih luas untuk bergerak. “Menjelang kelahiran, anoa betina juga akan makan banyak. Ukuran anak yang dilahirkan juga akan cenderung besar,” katanya.
Setahun terakhir, kandang besar masih ditempati Denok, betina 9 tahun, dan anaknya Deandra, betina 1 tahun yang lahir Juni 2018. Idealnya, induk diletakkan di kandang berbeda dari bayinya setelah enam bulan. Namun, belum ada kandang untuk Deandra.
Oleh karena kekurangan dana, tidak ada kandang baru yang dibangun tahun ini. Nantinya, Deandra akan menempati ruang di kandang Rambo yang telah disekat.
Manajer ABC Alex Novandra mengatakan, ABC adalah satu-satunya pusat pembiakan di luar habitat (ex-situ) yang berhasil membiakkan anoa. Namun, dana Rp 54 juta setiap tahun dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut tidak mencukupi untuk membangun infrastruktur baru bagi anoa.
“Kalau kami hitung-hitung, keperluan anggaran tahunan kami Rp 135 juta. Artinya, biaya perawatan untuk masing-masing anoa sekitar Rp 13 juta per tahun. Bertambahnya jumlah anoa seharusnya sejalan dengan penambahan dana dan infrastruktur kandang sebagai faktor penentu keberhasilan pembiakan,” kata Alex.
Adapun anggaran Rp 54 juta yang diterima ABC digunakan untuk kebutuhan pakan anoa, seperti rumput, dedaunan, pisang, wortel, dan pepaya. Obat-obatan, garam dan tambahan mineral, serta perawatan kandang juga berasal dari dana tersebut. “Itu hanya kebutuhan dasar, belum bisa memenuhi kesejahteraan hewan,” kata dia.
Dana tersebut hanya bisa digunakan untuk mengupah dua penjaga dan pencari rumput. Salah satu pekerja berstatus pegawai kontrak BP2LHK dengan gaji bulanan, sedangkan yang lain berstatus pekerja lepas harian (PLH) dengan upah harian.
Untuk kebutuhan tambahan, ABC bekerja sama dengan beberapa perusahaan seperti PT Cargill Indonesia untuk membangun klinik anoa sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Adapun dana tambahan Rp 60 juta didapat dari CSR PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM) khusus untuk dokter hewan di ABC yang juga terikat kerja dengan PT JRBM.
Alex mengatakan, kontrak ini diperpanjang setiap akhir tahun anggaran perusahaan. “Kami selalu waswas di bulan Maret tiap tahun, apakah perusahaan mau lanjut atau tidak. Kami harap, ada dokter hewan yang memang berstatus PNS (pegawai negeri sipil),” kata dia.
Ketiadaan dokter hewan pernah mengakibatkan kegagalan anoa saat melahirkan tahun 2015 dan 2016. Arini mengatakan, para peneliti ABC yang awam tidak memahami bahwa kaki bayi anoa yang tertekuk menghambat kelahiran. Akibatnya, dua kali bayi anoa mati saat akan lahir.
Saat ini, terdapat sembilan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di ABC, tiga di antaranya jantan, yaitu Rambo, Rocky (6 tahun), dan Maesa (2 tahun). Ada enam betina, yaitu Manis, Denok, Ana (8 tahun), Rita (6 tahun), Anara (2 tahun), dan Deandra. Satu anoa lainnya berjenis pegunungan (Bubalus quarlesi), yaitu Stella, betina berusia 5 tahun.
Harus kreatif
Kepala Subbagian Tata Usaha BKSDA Sulut Hendriks Rundengan mengatakan, kebutuhan akan dokter hewan dengan status PNS dan pegawai lain di ABC telah disadari dan disampaikan kepada Kementerian LHK setiap tahun. Namun, belum ada keputusan dari pusat untuk penambahan tersebut.
“Karena itu, memang kami harus lebih kreatif di lapangan dengan mencari sumber-sumber pendanaan lainnya. Tahun ini pun anggaran sangat kurang karena penghematan 50 persen yang dialihkan untuk penyelenggaraan pemilu 2019. Anggaran semua UPT (Unit Pelaksana Teknis) pemerintah memang dikurangi,” kata Hendriks.
Pada 2018, anggaran BKSDA Rp 24 miliar. Bertepatan dengan penyelenggaraan pemilu 2019, anggaran itu menjadi Rp 12 miliar. Anggaran yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pengelolaan pariwisata, dan pengupahan pegawai harus dialokasikan untuk 13 kawasan konservasi, delapan di Sulut dan lima di Gorontalo, termasuk untuk kawasan habitat asli anoa.
Nantinya, anoa yang dikembangbiakkan di ABC akan dilepas ke salah satu kawasan konservasi in situ, seperti Cagar Alam Gunung Ambang (Bolaang Mongondow Timur) dan Cagar Alam Tangkoko Batuangus (Bitung). Namun, ketiadaan anggaran tidak memungkinkan pembangunan pagar sebagai batasan wilayah jelajah anoa.
Selain itu, terdapat risiko besar pertemuan anoa dengan perambah hutan dan pemburu. “Hampir di setiap kawasan konservasi kami ada perambah. Pengawasan terhadap perburuan juga sangat lemah karena kami hanya memiliki sembilan polhut (polisi hutan),” kata Hendriks.
Total luas 13 wilayah konservasi di bawah tanggung jawab BKSDA Sulut mencapai 121.000 hektar. Idealnya, satu polhut menjaga area seluas 1.000 hektar sehingga seharusnya ada setidaknya 121 polhut. Luas Cagar Alam Gunung Ambang saja sekitar 18.000 sehingga dibutuhkan 18 polhut.
Untuk tetap merealisasikan pelepasan anoa kembali ke habitat aslinya, BKSDA menjajaki kerja sama dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk memindahkan anoa ke Cagar Alam Gunung Ambang dengan dana CSR. Adapun pemindahan ke Cagar Alam Tangkoko Batuangus diupayakan dengan penjajakan CSR dengan PT PLN yang beroperasi di Lahendong, Minahasa.
“Namun, ini semua masih penjajakan. Penangkaran akan lebih dimudahkan jika ada dana lebih. Ini penting karena anoa termasuk 25 satwa prioritas yang populasinya harus ditingkatkan hingga 2 persen, meskipun belum ada data yang jelas berapa jumlah populasinya,” kata Hendriks.
Direktur Biodiversity Conservation Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin, mengatakan, pendanaan dari pemerintah masih berorientasi pada kesejahteraan langsung bagi rakyat serta profit. Akibatnya, pendanaan konservasi masih cenderung kecil. “Padahal, dengan melindungi satwa liar, kita sedang menjaga kesejahteraan bangsa di masa depan,” katanya.