Setelah seluruh tahapan pada Pemilu 2019 tuntas, evaluasi akan dilakukan oleh pemerintah bersama penyelenggara pemilu dan legislatif. Salah satu yang dikaji, kemungkinan penerapan ”e-voting” pada Pemilu 2024.
Oleh
Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah seluruh tahapan pada Pemilu 2019 tuntas, evaluasi akan dilakukan oleh pemerintah bersama penyelenggara pemilu dan legislatif. Evaluasi termasuk terhadap dasar hukum penyelenggaraan pemilu, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
”Mungkin salah satu yang perlu dicermati saat evaluasi, apakah lima tahun ke depan sudah perlu dilakukan e-voting (pemilu berbasis elektronik)?” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat rapat dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain Tjahjo, hadir pula dalam rapat yang membahas evaluasi pelaksanaan Pemilu 2019 itu Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, dan perwakilan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Lebih lanjut Tjahjo mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah mengajukan rencana penerapan e-voting. Pihaknya bahkan telah mengirim tim ke India dan Korea Selatan untuk meninjau pelaksanaan sistem tersebut di kedua negara itu.
”Namun, karena faktor geografis dan faktor sambungan telekomunikasi itu yang akhirnya KPU menunda dulu (untuk penerapannya pada Pemilu 2019),” katanya.
Hal lain yang penting dievaluasi, menurut Tjahjo, mengenai keserentakan pemilu. Evaluasi akan mengkaji dampak positif dan negatif dari pemilu legislatif dan pemilu presiden yang digelar serentak dalam satu hari seperti pada Pemilu 2019.
”Apakah keserentakan yang sudah menjadi putusan dari Mahkamah Konstitusi itu harus serentak dalam satu hari, atau bisa berbeda hari atau bulan?” tanyanya.
Ini perlu dikaji mendalam karena desain pada Pemilu 2024, tak hanya pemilu legislatif dan presiden yang akan digelar pada 2024, tetapi juga pemilihan kepala daerah serentak.
Yang perlu dipikirkan pula, beban dari petugas penyelenggara pemilu, khususnya yang mengawal suara di tingkat tempat pemungutan suara. Seperti diketahui, ratusan petugas pada Pemilu 2019 meninggal karena kelelahan. Pada pemilu selanjutnya, kejadian serupa harus bisa dicegah.
Asisten Khusus Jaksa Agung Asep Nana Mulyana dan Wakil Kepala BIN Letnan Jenderal (Purn) Teddy Lhaksamana, yang hadir dalam rapat, turut mendukung rencana penerapan e-voting.
”Perlu dipertimbangkan penghitungan suara melalui sistem elektronik dengan tingkat pengamanan siber yang tinggi. Ini bisa mengurangi beban pengisian formulir yang terlalu banyak dan hasil penghitungan bisa cepat disajikan,” kata Teddy.
”People power”
Sementara Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dalam paparannya turut menyinggung soal people power yang diteriakkan sejumlah elite sebagai reaksi dari hasil sementara Pemilu 2019.
Dia pun mengingatkan jika memang mobilisasi massa itu ingin dilakukan, harus menempuh terlebih dulu mekanisme yang ada. Mekanisme itu seperti rencana unjuk rasa harus dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pihak kepolisian. Unjuk rasa ada batas waktunya. Selain itu, ada batasan-batasan yang tak diperbolehkan, seperti menggunakan kekerasan dan melawan pemerintah.
”Kalau tidak melalui mekanisme ini, apalagi sudah ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu Pasal 107 KUHP jelas dan tegas, ini adalah UU yang dibuat oleh rakyat,” ujarnya.
”Bahasanya jelas, yaitu perbuatan yang bermaksud menggulingkan pemerintah yang sah adalah perbuatan makar dan ada ancaman pidananya,” ujarnya.
Selain itu, dia mengingatkan pihak-pihak yang melakukan penghasutan atau menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran. Untuk orang-orang ini pun bisa diambil langkah hukum oleh aparat penegak hukum.
”Misalnya mengatakan A ada kecurangan A, tetapi buktinya tak jelas sehingga terjadi keonaran dan masyarakat terprovokasi untuk ribut. Itu yang melakukan bisa dikenai Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, mirip seperti kasus Ratna Sarumpaet. Dia menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran,” tuturnya.