Terlena Terkurung di Dalam ”Gardu”
Komunitas berpagar bukan hal baru. Indonesia sudah mengenal area-area hunian terbatas ini. Saat membangun Batavia sekitar empat abad silam, Belanda memisah-misahkan lokasi permukiman orang Eropa, China, Arab, dan warga dari etnis Jawa, Makassar, Sunda, dan lainnya.
Komunitas berpagar terus tumbuh di Indonesia, terutama di perkotaan. Menawarkan keamanan, kenyamanan, dengan kluster dibentengi tembok tinggi, satu pintu keluar-masuk, sistem keamanan tercanggih. Jaminan yang didamba kaum kelas menengah dan menengah atas. Kini, bahkan berkembang hingga perumahan khusus bagi yang beragama tertentu saja.
Komunitas berpagar bukan hal baru. Indonesia sudah mengenal area-area hunian terbatas ini. Saat membangun Batavia sekitar empat abad silam, Belanda memisah-misahkan lokasi permukiman orang Eropa, China, Arab, dan warga dari etnis Jawa, Makassar, Sunda, dan lainnya.
Baca juga: Tantangan Menjadi Kota Cerdas Kini dan Nanti
Ada benteng yang membatasi hunian dan pusat bisnis ataupun pemerintahan yang dikuasai penjajah dengan warga lokal. Tidak terlalu berbeda rasanya saat menengok Kota Solo atau Yogyakarta.
Di Solo atau Surakarta, misalnya, ada istilah jero beteng atau dalam benteng bagi kawasan permukiman yang menyatu dengan keraton tempat raja dan keluarganya tinggal. Di masa lampau, hanya orang-orang terpilih, khususnya terkait fungsi atau pekerjaannya, untuk mendukung langsung kehidupan di keraton yang bisa tinggal di jero beteng.
Etnis tertentu, seperti Tionghoa, secara kultur, telah terbiasa hidup di rumah dengan dikelilingi tembok tinggi. Jejaknya masih bisa dilihat di kawasan Pecinan di Kota Tua, Jakarta Barat.
Isu keamanan disusul mencari kenyamanan selalu menjadi alasan utama yang umum diucapkan saat mewujudkan area hunian eksklusif terpisah dari permukiman lain ini. Selain pagar tinggi, biasanya ada gardu atau pos satpam tempat petugas mengawasi siapa saja yang keluar masuk kompleks.
Abidin Kusno dalam bukunya, Penjaga Memori, Gardu di Perkotaan Jawa, terbitan tahun 2007 menuliskan, gardu adalah bagian dari kebudayaan perkotaan kontemporer yang sering mengambil bentuk ”komunitas tergerbang” atau komunitas berpagar (gated communities).
Abidin menelisik dan menemukan bahwa gardu sudah ada sejak setidaknya era Gubernur Herman Willem Daendels di awal tahun 1800-an. Saat itu, gardu yang bentuknya merupakan miniatur pendopo dibangun di beberapa titik di sepanjang Jalan Pos Besar (Groote Postweg) untuk istirahat para pelintas di ruas antara Anyer-Banyuwangi itu.
”Peristiwa ini terus berlangsung sampai orang menyadari bahwa berhenti di perjalanan pun terkadang tidak aman sehingga banyak orang harus menyewa jasa keamanan saat mengadakan perjalanan,” tulis Abidin yang menjelaskan transformasi awal gardu menjadi pos keamanan.
Peristiwa ini terus berlangsung sampai orang menyadari bahwa berhenti di perjalanan pun terkadang tidak aman sehingga banyak orang harus menyewa jasa keamanan saat mengadakan perjalanan.
Makin lama makin solid gardu berfungsi sebagai pertahanan dan keamanan. Ada gelombang hilang timbul-hilang timbul tren gardu juga pagar atau portal penutup jalan masuk kampung. Tergantung situasi, seperti saat perang kemerdekaan atau situasi genting lain maka gardu muncul lagi. Selama bertahun-tahun, masyarakat kita terbiasa ronda keliling dan jaga di gardu atau pos di kampung untuk secara mandiri menjaga lingkungan tempat tinggalnya.
Pagar tembok tinggi yang memisahkan area tertentu dari area hunian lainnya menyusul kemudian dengan menempatkan gardu dan para penjaganya sebagai garda terdepan. Terlebih di masa pascareformasi, saat kondisi negara kacau balau.
Hasil penelitian Meyriana Kesuma tahun 2008 di kawasan Serpong, Tangerang, seperti dikutip di dalam disertasi Yayat Supriatna berjudul ”Pembangunan Sosial di Komunitas Berpagar Studi Pada Lingkungan Permukiman di Kawasan Alam Sutera-Tangerang Selatan” komunitas berpagar sudah menjadi simbol security dan exclusivity untuk mengakomodasi permintaan konsumen.
Komunitas berpagar sudah menjadi simbol security dan exclusivity untuk mengakomodasi permintaan konsumen.
Pengembang yang memahami ini berusaha untuk terus mempromosikan nikmatnya menjadi bagian dari komunitas berpagar. Yayat turut mengutip peneliti lain, yaitu Blakely dan Snyder yang menyatakan komunitas berpagar tidak terbatas pada hunian orang semata, tetapi juga untuk kegiatan industri, pertokoan dan ritel yang berkembang di kawasan suburban.
Keamanan dan kenyamanan adalah ideal value yang menarik siapa saja. Siapa saja yang di tengah kesibukannya ingin selalu melindungi keluarga dan propertinya. Keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan swasta ini seperti menutupi kekurangan yang belum dicukupi oleh negara.
Yayat, mengutip Landman dan Schonteich, menjelaskan bahwa komunitas berpagar amat berkembang di kota-kota yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi seperti di Johannesburg (Afrika Selatan) dan Brasil (Amerika Selatan).
Baca juga: Kriminalitas Pekerjaan Rumah Tangerang Selatan
Namun, hanya yang berkemampuan tertentu saja yang pada akhirnya dapat membeli keamanan dan kenyamanan ala komunitas berpagar. Jabodetabek menjadi kawasan dengan komunitas berpagar terbesar di Indonesia. Yayat mencatat di disertasinya, di Kota Tangerang Selatan saja pada 2012 sudah ada 200 pengembang yang mengembangkan komunitas berpagar.
Perumahan khusus
Hew Wai Weng, yang artikelnya terangkum dalam buku Jakarta, Claiming Spaces and Rights in The City tahun 2018, melihat bahwa berkembangnya perumahan yang diperuntukkan bagi pemeluk agama tertentu di Jabodetabek juga kota-kota lain adalah bagian dari perkembangan komunitas berpagar di Indonesia.
Berkembangnya perumahan yang diperuntukkan bagi pemeluk agama tertentu di Jabodetabek juga kota-kota lain adalah bagian dari perkembangan komunitas berpagar di Indonesia.
Peneliti urban asal Malaysia yang sempat bekerja di Berlin, Jerman, ini selama 2013-2016 mendalami tren perumahan khusus bagi pemeluk agama tertentu di Jabodetabek. Dia menemukan pada 2016 saja ada sekitar 30 perumahan khusus tersebut, jumlah terbesar di Depok dan sebagian lagi di Tangerang, Bogor, dan Bekasi.
Merujuk pada deskripsi Jason Burke, koresponden untuk koran The Guardian, Hew menuliskan para penghuni perumahan khusus itu sebagai orang-orang yang berpendidikan tinggi dengan penampilan modern.
”They’re also pious and socially conservative”, tulis Hew mengutip Jason. Usia mereka 30-40 tahun, mapan dengan pekerjaan tetap, rata-rata keluarga muda dengan 1-3 anak. ”He/she is not an extremist,” jelas Jason seperti ditulis Hew di artikelnya.
They’re also pious and socially conservative. Usia mereka 30-40 tahun, mapan dengan pekerjaan tetap, rata-rata keluarga muda dengan 1-3 anak.
Pengembang perumahan khusus ini rata-rata bukan bagian dari pengembang arus utama yang biasa memegang proyek perumahan besar. Namun, sebagian dari pengembang itu terbuka untuk menerima investasi dari pihak lain, bahkan yang berbeda keyakinan dengan mereka.
Dalam salah satu wawancara Hew dengan pengembang perumahan khusus, pengembang mengatakan, ia telah menjembatani terjadinya bisnis yang menguntungkan semua pihak. Orang-orang yang hanya mau tinggal di kompleks dengan sesama pemeluk agamanya mendapat tempat, warga lokal yang hanya mau tanahnya dibeli dan dihuni oleh orang yang seagama bisa diwujudkan, investor yang berbeda agama tetap bisa menjalankan bisnis yang mendatangkan laba yang dimaui.
Terkait perumahan khusus ini, salah satu penghuni yang diwawancara Hew menolak jika disebut eksklusif. Narasumber Hew menyatakan, para penghuni kompleksnya berbeda latar belakang ideologi partai politik, warga di luar kompleks juga bebas menggunakan fasilitas publik seperti tempat ibadah di perumahan. Mereka hanya menginginkan dalam kesehariannya, para penghuni bisa saling merasa aman dan nyaman menjalankan rutinitas kehidupan modern dengan tetap di koridor keyakinan yang dianut.
”Saya masih punya banyak teman berbeda agama (di luar kompleks perumahan). Sesungguhnya situasi di perumahan saya tidak jauh berbeda dengan gated community lain. Ada yang didominasi pemeluk agama tertentu, bahkan dengan universitasnya juga. Mengapa kami tidak boleh?” demikian penggalan catatan Hew saat berdiskusi dengan penghuni-penghuni perumahan khusus.
Saya masih punya banyak teman berbeda agama (di luar kompleks perumahan). Sesungguhnya situasi di perumahan saya tidak jauh berbeda dengan gated community lain. Ada yang didominasi pemeluk agama tertentu, bahkan dengan universitasnya juga. Mengapa kami tidak boleh?
Aturan longgar
Sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan ditegaskan lagi dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.
Sesuai aturan itu, pemerintah mewajibkan pengembang yang membangun perumahan dalam satu hamparan harus dengan konsep berimbang 3:2:1. Konsep ini berarti tiga rumah sederhana berbanding dua rumah menengah berbanding satu rumah mewah. Jika pengembang dengan minimal 1.000 rumah atau lebih, maka konsep 3:2:1 harus diterapkan dalam satu hamparan. Boleh tidak satu hamparan pada perumahan sekurang-kurangnya perumahan yang menampung 50 rumah.
Tujuan peraturan tersebut agar tercipta masyarakat yang inklusif, bukan eksklusif.
Namun, lantas terbit revisi Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang. Diperkuat terbitnya Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pada 2018, muncul lagi pemikiran untuk menghilangkan sanksi bagi pengembang yang tidak menjalankan aturan hunian berimbang. Pembangunan hunian berimbang oleh pengembang rumah komersial akan diperbolehkan tidak dalam satu kabupaten atau kota, bahkan boleh beda provinsi (Kompas, 27 Agustus 2018).
Baca juga: Aturan Hunian Direvisi
Kini dan ke depan, dalam proses mendapatkan tempat layak di perkotaan, terus akan saling berkelindan antara isu etnis, agama, juga kelas sosial. Hew meyakini maraknya perumahan khusus bagi pemeluk agama tertentu akan terus terbentuk dan dibentuk oleh masyarakat sendiri, juga kekuatan politik dan ekonomi.
Sejauh mana negara hadir agar segregasi tak semakin dalam? Itulah yang butuh dijawab segera.
Baca juga: Asa Sungai di Masa Antroposen