JAKARTA, KOMPAS — Aturan mengenai harga rumah bersubsidi 2019 yang belum kunjung terbit membuat pengembang kecil sulit membangun rumah. Sebab, kebanyakan dari mereka bergantung pada pinjaman dari bank.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan, saat ini sekitar 5.200 pengembang rumah bersubsidi yang tergabung di REI memilih menunggu penerbitan aturan mengenai harga rumah bersubsidi 2019.
”Tidak semua anggota REI adalah pengembang besar. Kalau pengembang besar atau yang sudah listed di Bursa Efek Indonesia, mereka bisa mencari pendanaan sendiri. Akan tetapi, kalau pengembang kecil yang membangun rumah bersubsidi, mereka dananya dari bank,” kata Totok ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (5/5/2019).
Menurut Totok, kondisi yang dihadapi pengembang rumah bersubsidi saat ini lebih berat dibandingkan pada awal 2018. Pada saat itu, pengembang rumah bersubsidi kesulitan menjual rumah bersubsidi karena ada ketentuan baru tentang sertifikat laik fungsi (SLF).
Kini, pengembang rumah bersubsidi kesulitan karena hanya bisa menjual rumah persediaan. Sementara pengembang tidak bisa membangun rumah bersubsidi baru karena belum mendapat kepastian mengenai harga rumah.
Totok mengaku telah menyampaikan hal ini kepada Kementerian Keuangan. Rancangan mengenai harga baru rumah bersubsidi 2019 sebenarnya sudah ada dan tinggal diundangkan menjadi peraturan Menteri Keuangan (PMK). ”Harapan kami, kondisi seperti ini segera berakhir,” ujar Totok.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan (Himperra) Endang Kawidjadja mengatakan, aturan tentang harga rumah bersubsidi yang belum terbit membuat proses akad kredit terganggu. Pengembang terpaksa menunggu harga rumah bersubsidi 2019 terbit karena perhitungan harga jual antara pengembang dan bank menjadi tidak sesuai.
Aturan tentang harga rumah bersubsidi yang belum terbit membuat proses akad kredit terganggu.
Proses akad yang terhambat, lanjut Endang, membuat banyak pengembang kesulitan keuangan. Di satu sisi, mereka tidak bisa menjual rumah bersubsidi untuk membangun rumah baru. Namun, di sisi lain, mereka mesti membayar bunga kredit konstruksi ke bank dan membayar tagihan ke kontraktor.
”Membangun rumah bersubsidi itu berkelanjutan. Misalnya, rumah yang akad kredit pada Maret, berarti dibangun 3 bulan sebelumnya. Hal itu bergulir terus. Kalau tidak bisa akad, pembangunan rumah berikutnya akan terhambat,” kata Endang.
Sementara itu, Direktur Consumer Banking PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Budi Satria menambahkan, pihaknya telah mendengar kesulitan pengembang rumah bersubsidi yang tengah menunggu peraturan tentang harga rumah bersubsidi. Namun, dari sisi bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi, akad kredit untuk KPR bersubsidi sampai sejauh ini berjalan dengan baik.
Pada triwulan I-2019, BTN menyalurkan KPR bersubsidi untuk 150.064 unit rumah senilai Rp 9,62 triliun. Dengan demikian, sampai akhir Maret ini, BTN tercatat sebagai bank penyalur terbesar KPR bersubsidi dengan kontribusi 92,9 persen.
Meski demikian, lanjut Budi, penyaluran kredit konstruksi pada triwulan I-2019 hanya naik tipis, yaitu tumbuh 3 persen (YOY). Menurut Budi, kenaikan tipis tersebut tidak sepenuhnya karena pengembang menahan untuk tidak membangun rumah bersubsidi lagi, tetapi karena pengembang masih mendahulukan penjualan rumah yang sudah tersedia. (NAD)