Menolak Pembukaan Lahan Masyarakat Merasa Diintimidasi Polisi
Menolak pembukaan lahan, warga Desa Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah merasa diintimidasi oleh aparat kepolisian.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Menolak pembukaan lahan, warga Desa Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah merasa diintimidasi oleh aparat kepolisian. Namun aparat membantah adanya intimidasi itu.
Menurut salah satu warga Desa Sembuluh, Wardian (64) di Palangkaraya, Kalteng, Senin (6/5/2019), Wardian dan keluarganya juga beberapa warga diintimidasi dengan cara diancam untuk ditembak dan dibubarkan paksa.
Pada Sabtu (4/5/2019) lalu, Wardian bersama beberapa warga datang ke hutan Batu Gadur di Desa Sembuluh sekitar pukul 10.00 WIB. Sesampai di lokasi, Wardian melihat sebuah eksavator mengambil batu latrit di lahan yang masih bersengketa antara warga dengan sebuah perusahaan perkebunan PT Salonok Ladang Mas (SLM).
“Kami minta operatornya baik-baik untuk berhenti bekerja karena masih sengketa, dan itu sudah sesuai dengan kesepakatan di mana saat itu difasilitasi oleh pihak kepolisian, tetapi kesepakatan untuk tidak bekerja sementara itu dilanggar, makanya kami datang untuk menghentikan pengerjaan,” ungkap Wardian.
Wardian mengungkapkan, saat ditanya operator pemilik alat berat menyampaikan bahwa alat berat tersebut adalah milik anggota kepolisian. Ia hanya diperintah untuk bekerja di lokasi itu.
“Setelah itu tidak lama, polisi datang bawa senjata lengkap. Saya mau dibawa ke kantor, ketika saya tanya alasan atau dasar membawa saya mereka tidak bisa menunjukkan. Saya ditarik-tarik, bahkan saat saya masuk ke mobil saya sendiri, kapolsek teriak tembak, tetapi tidak dilakukan anak buahnya,” jelas Wardian.
“Setelah itu tidak lama, polisi datang bawa senjata lengkap. Saya mau dibawa ke kantor, ketika saya tanya alasan atau dasar membawa saya mereka tidak bisa menunjukkan. Saya ditarik-tarik, bahkan saat saya masuk ke mobil saya sendiri, kapolsek teriak tembak, tetapi tidak dilakukan anak buahnya,” jelas Wardian.
Wardian mengungkapkan, dirinya dan keluarga tidak melakukan tindakan anarkis namun perlakuan polisi memperlakukan dirinya seperti seorang kriminal. “Saya ini ditarik dan dibekap seperti seorang kriminal dan teroris padahal kami ke sana mau ngomong baik-baik,” katanya.
Di beberapa aplikasi sosial media beredar video yang menunjukkan kekerasan polisi dan upaya untuk menangkap warga termasuk Wardian. Dalam video itu terlihat polisi menarik dan merangkul Wardian untuk dibawa ke kantor polisi.
Salah satu pemegang kamera, Roni Januardi, mengatakan, dirinya saat itu dilarang untuk mengambil gambar. Bahkan telepon pintarnya hendak direbut pihak kepolisian.
“HP saya mau diambil paksa, saya dilarang ambil video mereka bilang saya bukan wartawan sehingga tidak boleh ambil video,” ungkap Roni.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Polsek Danau Sembuluh Inspektur Dua Far’ul Usaedi membantah terjadi intimidasi pihaknya terhadap warga. Menurutnya, pihaknya sedang melakukan patroli sehingga wajib membawa senjata namun tidak digunakan.
“Kami bujuk rayu mereka dan kami ingin bawa ke kantor untuk dimintai keterangan. Kami ingin bicara baik-baik,” ungkap Far’ul.
Far’ul juga membantah ikut dalam pertemuan di mana terjadi kesepakatan agar alat berat tidak beroperasi. Menurutnya, saat itu proses mediasi dilakukan oleh pemerintahan desa.
“Kalau soal sengketa, perusahaan sudah membayar ganti rugi. Hal itu yang mau kami jelaskan, tetapi tidak sempat karena mereka pergi. Saya juga tidak tahu menahu alat berat itu milik siapa itu kontraktor yang ambil latrit,” ungkap Far’ul.
Sebelumnya, Kepala Bagian CSR, Community, Development and Operation PT SLM Sahmidi Sadio mengklaim lokasi yang dibuka merupakan wilayah yang sudah masuk dalam hak guna usaha (HGU) perusahaan. Total luas perusahaan dalam HGU sekitar 17.000 hektar.
Sahmidi menegaskan, pihaknya sudah melakukan pembukaan lahan sejak lama. Bahkan, di beberapa lokasi sudah mulai penanaman, dan hal itu dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Kami juga sudah melakukan ganti rugi lahan pada lokasi yang diklaim Bapak Wardian itu, dokumennya ada,” ungkap Sahmidi.
Koordinator Save Our Borneo (SOB) Safrudin mengungkapkan, video dan foto yang beredar sudah menjadi bukti kekejaman polisi. Seharusnya polisi hadir sebagai penengah dan mengamankan namun yang terjadi di lokasi adalah intimmidasi terhadap warga.
“Keterlibatan polisi justru menjadi masalah baru di tengah masyarakat. Mereka (polisi) harus dibina ulang dan dievaluasi, tindakan mereka merujuk pada kriminalisasi, semuanya kan mau ditangkap tetapi tidak jelas dasar penangkapannya apa,” kata Safrudin.