Mengintip Naturalisasi Sungai di ”Negeri Singa”
Di pinggir sungai di sini tidak pernah ada pemukim sejak 1960-an. Orang bisa coba-coba bangun rumah di pinggir sungai, pasti pemerintah akan tegas melarang. (Meg, warga Ang Mo Kio, Singapura).
Jumat pagi itu, Meg bersama beberapa ibu seusianya baru saja berburu foto alam di taman kota Bishan-Ang Mo Kio Park yang di tengahnya dibelah Sungai Kallang.
Mereka menenteng kamera DLSR dengan lensa panjang, terlihat bersemangat memperhatikan sungai yang mengalir jernih dan burung-burung yang melintas di atas taman. Meg yang menyaksikan perubahan Sungai Kallang itu antusias bercerita soal keluarga berang-berang (otter) yang sering mampir ke sana.
”Itu tanda sungai sudah bersih dan sehat lingkungannya. Dulu masih berpolusi, jadi berang-berang juga tak ada di sini,” katanya.
Itu tanda sungai sudah bersih dan sehat lingkungannya. Dulu masih berpolusi, jadi berang-berang juga tak ada di sini.
Alur Sungai Kallang meliuk-liuk alami berkilo-kilometer. Kawasan itu memang dipenuhi kehidupan tanaman dan satwa liar. Tak heran banyak orang berburu foto di situ.
Baca juga: Pakar ITB: Normalisasi Sungai Tetap Dibutuhkan
Ikan-ikan air tawar terlihat berenang bebas di air yang jernih. Para biawak pun tak terlihat terancam berbagi ruang dengan manusia. Sepanjang hari, seluruh taman yang dikelilingi gedung bertingkat itu juga dihibur oleh kicauan burung dan nyanyian serangga yang menenangkan batin.
Dikutip dari data Badan Nasional Air Singapura, Public Utilities Board (PUB), Sungai Kallang di Bishan-Ang Mo Kio Park adalah bagian dari proyek naturalisasi sungai Pemerintah Singapura. Program ini disebut ABC Waters Programme. Dimulai pada 2006, program itu mengubah Sungai Kallang dari kanal beton menjadi sungai yang meliuk alami dengan bantaran hijau.
Teknik dan perencanaannya begitu rumit, tak sekadar membersihkan dan menanami dengan tanaman produktif. Sekitar 10 tipe teknik bio-engineering diterapkan di sana. Percobaannya saja memakan waktu 11 bulan.
Tanaman di sana bukan tanaman produktif saja, melainkan justru didominasi tanaman yang memang secara alami tumbuh di sekitar sungai.
Di bagian hulu terdapat biotape, yaitu sebidang tanaman yang sengaja dirancang sebagai penyaring polusi alami.
Kembalinya sungai yang sehat dan alami menarik kedatangan satwa liar yang menghidupkan rutinitas kota. Meg dan rekan-rekannya begitu antusias bercerita soal keluarga berang-berang dan monyet yang kembali ke sana.
”Dahulu memang Singapura habitat alami berang-berang, tetapi mereka tak ada lagi saat sungai kotor,” katanya.
Kedatangan satwa liar itu, kata Meg, menunjukkan lingkungan sungai yang semakin sehat dan bersih hingga bisa menopang kehidupan alami.
Warga Singapura pun begitu gembira dengan hadirnya satwa-satwa liar alami itu. Kehidupan mereka dibagikan oleh warga Singapura, salah satunya di halaman Facebook, Ottercity.
Kehidupan mereka dibagikan warga Singapura, salah satunya di halaman Facebook, Ottercity.
Tata sungai, tata bantaran
Dari sisi penanganan banjir, naturalisasi meningkatkan kemampuan bantaran menyerap luapan air dibandingkan tepian beton.
Namun, penanganan banjir di sana tak hanya mengandalkan kemampuan resap tepian kali hasil naturalisasi. Penataan sungai dan penataan bantaran dilakukan secara terpadu dengan sistem antisipasi banjir.
Baca juga : Asa Sungai di Masa Antroposen
Meg bercerita, sejak sebelum naturalisasi dilakukan pun, banjir memang sudah tak pernah menjadi masalah di sana.
Sungai itu terhubung dengan jaringan saluran air Singapura. Terlihat pula sodetan-sodetan pendek di bantarannya. Sodetan-sodetan itu mengarah ke danau dan kolam-kolam penampung luapan air di dalam Bishan-Ang Mo Kio Park.
Batu-batu pemecah arus juga tampak ditempatkan di aliran sungai, dilengkapi sensor dan alarm tinggi air. Di banyak titik ada papan peringatan. Saat alarm tinggi air menyala, warga harus segera meninggalkan daerah aliran dan bantaran demi keselamatan. Saat debit air meningkat, luapan Sungai Kallang melebar jauh dari sungai intinya.
Sistem antisipasi banjir ini hanya mungkin terbangun dengan bantaran yang bebas dari okupansi.
Mungkin karena itu, naturalisasi tak pernah menjadi kontroversi di Singapura. Sebab, akar masalah penataan sungai sudah diselesaikan, termasuk penataan bantaran dan ketegasan agar tak ada bangunan yang melanggar aturan di bantaran sungai.
Tak terlihat sungai di Singapura yang bantarannya terganggu oleh permukiman yang melanggar aturan, baik di sungai yang dinormalisasi menjadi kanal beton seperti di Fullerton Square maupun di sungai yang sudah dinaturalisasi menjadi ekosistem alami seperti Sungai Kallang.
Meg dan rekan-rekannya saling melengkapi cerita. Sejak 1960-an, Pemerintah Singapura sudah menyediakan flat-flat hunian vertikal sehingga tak ada lagi perkampungan atau hunian liar di negeri itu.
Dari sumber sejarah, di tahun 1960 itu, Pemerintah Singapura merintis program resettlement (penataan permukiman) dan banyak memindahkan warga perkampungan ke hunian vertikal.
Baca juga : Singapura Ingatkan Ancaman Kabut Asap
Singapura sudah melangkah begitu jauh soal penataan sungai hingga sumber daya airnya. Dalam Singapore Dialogue on Sustainable World Resource tahun ke-6 yang diselenggarakan Singapore Institute of International Affairs (SIIA) di Singapura, Kamis (2/5/2019), Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli mengatakan, Singapura bahkan sudah melakukan daur ulang air, yaitu dari air sisa pakai menjadi air ultra bersih berkualitas yang bisa digunakan kembali.
Untuk Jakarta
Untuk menikmati naturalisasi yang sekaligus atasi banjir seperti di Singapura, pertama-tama Jakarta harus tangani akar masalah dahulu.
Ahli lanskap kota dan penggiat Peta Hijau, Nirwono Joga, mengatakan, masalah sungai Jakarta adalah penyempitan parah karena masih banyaknya okupansi permukiman. Mau naturalisasi atau normalisasi, pertama-tama sungai dan bantaran di Jakarta harus ditata.
Oleh karena itu, kata Nirwono, pengerukan sungai dan relokasi hunian yang melanggar aturan bantaran mau tak mau mutlak diperlukan. Saat ini, lebar sungai di DKI Jakarta rata-rata sudah menyusut dari sekitar 50 meter menjadi hanya 15 meter.
Oleh karena itu, untuk mengatasi banjir Jakarta secara signifikan, pelebaran dan pengerukan harus dilakukan untuk mengatasi banjir secara signifikan.
”Untuk itu, mau tak mau harus dilakukan pelebaran (kali) yang artinya juga harus ada rekolasi warga dari bantaran kali,” katanya, beberapa saat lalu.
Mau tak mau harus dilakukan pelebaran (kali) yang artinya juga harus ada rekolasi warga dari bantaran kali. (Nirwono Joga)
Naturalisasi ataupun normalisasi sungai bukanlah dua konsep yang perlu dibenturkan untuk masalah banjir Jakarta. Sebab, akar masalah di Jakarta adalah penataan bantaran, jauh lebih mendasar dari dua konsep itu.
Sulit membayangkan kebahagiaan bercengkerama dengan berang-berang saat banjir masih terus mengancam.
Baca juga : Dipuji dan (Masih) Dicaci karena Asap