Menakar Upah Ideal Buruh di Wilayah Kepulauan
Kesejahteraan merupakan dialektika yang muncul seiring peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei. Nominal upah adalah angka krusial yang selalu menjadi polemik antara para pekerja dan pengusaha.
Pemerintah sebagai birokrat berperan sebagai penengah yang pengatur kebijakan agar buruh mendapatkan upah yang pantas dan layak, tetapi di sisi yang lain juga harus menjaga iklim usaha untuk terus tumbuh dan berkembang.
Namun, di balik dialektika tersebut, ada pertanyaan yang selayaknya dicermati, yaitu seberapa besarkah efisiensi upah jika dibandingkan dengan skala ekonomi antarwilayah Indonesia?
Alhasil, upah buruh di setiap kabupaten/kota diputuskan melalui mekanisme tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Angka nominal upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang diumumkan menjelang pergantian tahun di setiap daerah adalah hasil mekanisme perundingan tripartit itu.
Sayangnya, mekanisme penetapan UMK yang sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut belum banyak memuaskan para buruh. Upah belum memenuhi standar kelayakan, item survei upah harus ditambah lagi, dan nominal kenaikan upah harus di atas inflasi daerah adalah sejumlah tuntutan yang acap kali disuarakan para pekerja walapun angka upahnya sudah ditetapkan melalui tripartit.
Di sisi lain, sejumlah pengusaha merasa keberatan dengan tuntutan itu karena tidak semua usaha selalu menghasilkan keuntungan dan bahkan sebagian malah merugi. Kenyataan demikian harus dikaji pemerintah lebih mendalam lagi agar mampu memberikan formulasi kebijakan yang tepat sehingga dapat memenangkan semua pihak.
Wilayah efisiensi rendah
Idealnya, suatu saat nanti upah buruh dapat mencapai standar yang layak dan sejahtera. Para pengusaha pun dapat menghasilkan produksi yang terus meningkat permintaannya dan menguntungkan sehingga mampu memenuhi semua kebutuhan para pekerjanya. Namun, mencapai ciata-cita itu bukanlah pekerjaan mudah.
Hingga saat ini, tidak semua pengusaha di semua provinsi di Indonesia mampu membayar upah tenaga kerja sesuai standar yang ditetapkan lewat UMK. Satu indikasinya terlihat dari olahan data tentang upah minimum provinsi (UMP) yang digabungkan dengan data jumlah tenaga kerja industri dan produk domestik regional bruto (PDRB) sektor industri di semua provinsi di Indonesia.
Perbandingan upah buruh industri dan output (PDRB) industri suatu wilayah menggambarkan kemampuan upah yang dibayarkan para pengusaha dan efisiensi usaha di suatu wilayah. Persentase perbandingan yang relatif kecil menggambarkan efisiensi yang tinggi, sedangkan persentase yang besar menggambarkan beban yang berat suatu industri dalam mengupah pekerjanya.
Dari 34 provinsi di Indonesia, ada sejumlah daerah yang perbandingan nilai upah buruh dalam setahun dengan PDRB-nya sangat timpang. Ada enam provinsi yang rata-rata total nilai upah buruh sektor industrinya sekitar 77 persen dari total PDRB sektor industri. Daerah yang secara umum sektor industrialisasinya seperti ini berada di Provinsi Aceh, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Maluku, dan Maluku Utara.
Baca juga: Pasar Tenaga Kerja, yang Tumbuh dan yang Tersisih
Artinya, nilai barang dan jasa sektor industri yang tecermin dari PDRB itu mayoritasnya digunakan untuk membayar upah buruh. Ongkos untuk bahan baku serta perawatan alat-alat produksi belum termasuk di dalamnya.
Sementara dua wilayah berikut juga mengalami situasi industri yang sulit. Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai wilayah dengan perbandingan antara upah buruh dan PDRB industri yang melampaui 100 persen.
Rasio upah buruh terhadap PDRB industri di Provinsi Gorontalo mencapai 114 persen. Sebagai ilustrasinya, ouput PDRB industri Gorontalo hanya sekitar Rp 1,4 triliun, sedangkan biaya upah yang harus dibayarkan apabila mengacu pada rata-rata UMP termasuk 1 kali tunjangan hari raya (THR) mencapai Rp 1,61 triliun.
Kondisi yang tidak kalah pelik terjadi juga di daerah lainnya, yaitu di Provinsi NTT. Perbandingan upah buruh industri dengan PDRB industri mencapai 300 persen. Dengan nilai PDRB industri NTT pada 2017 sekitar Rp 1,15 triliun, daerah ini harus membayar ongkos upah buruh hingga kisaran Rp 3,46 triliun.
Bias struktur ekonomi
Selain delapan provinsi di atas, ada juga provinsi lain yang cukup berat menanggung beban upah buruh di sektor industri. Provinsi-provinsi tersebut mencatat angka perbandingan biaya upah dan besaran PDRB di bawah mencapai 45 persen. Apabila biaya tenaga kerja ini ditambahkan ke faktor produksi lainnya, bukan tidak mungkin keuntungan perusahaan akan menjadi relatif kecil.
Kondisi ini akan rentan menekan upah buruh menjadi lebih murah lagi karena pengusaha berupaya menambah keuntungan perusahaan yang relatif sedikit. Daerah demikian tersebar di enam provinsi lainnya, yaitu Bengkulu, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Papua.
Mekanisme penetapan UMK yang sudah di atur dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut belum banyak memuaskan para buruh.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan sejumlah provinsi tersebut, khususnya delapan provinsi dengan rasio upah per PDRB di atas 100 persen, relatif berat melangsungkan proses industrialisasi di daerahnya. Salah satunya karena bias struktur ekonomi.
Di wilayah-wilayah tersebut, perekonomian daerah masih didominasi sektor ekonomi primer, yaitu pertanian. Hanya dua provinsi, yaitu Bali yang bertumpu pada sektor akomodasi dan Kalimantan Utara yang perekonomiannya bertumpu di sektor pertambangan.
Kondisi itu mencerminkan bahwa di daerah tersebut sangat minim pengusaha atau investasi di bidang industri sehingga penciptaan barang-barang hasil industri relatif masih sedikit. Jika ada, nilainya pun tidak terlalu besar sehingga menimbulkan inefisiensi.
Daerah efisiensi tinggi
Meskipun demikian, pada sisi lain ada juga sejumlah daerah yang tergolong sangat maju industrialisasinya. Perbandingan upah buruh industri di provinsi-provinsi ini tidak lebih dari seperlima output sektor industri. Bahkan, beberapa di antaranya kurang dari 10 persen.
Secara keseluruhan daerah yang tergolong sangat efisien sektor industrinya ini ada di 14 provinsi di Indonesia. Dari 14 provinsi itu, ada delapan provinsi yang wilayahnya tergolong sangat tinggi dalam aspek efisiensi upah buruh di sektor industri.
Hal ini tecermin dari total PDRB industri di setiap provinsi itu berada pada rentang di atas Rp 100 triliun hingga kisaran Rp 750 triliun. Provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Kalimantan Timur (Kaltim).
Dari kedelapan daerah itu, ada tiga provinsi yang perbandingan nilai upah buruh dengan output PDRB-nya kurang dari 10 persen, yaitu provinsi Riau 3,93 persen, DKI Jakarta 8,53 persen, dan Kaltim 1,94 persen.
Rendahnya persentase ini mengindikasikan bahwa hampir semua sektor industri di wilayah tersebut relatif efisien dalam aspek komponen upah di sektor industri. Semua biaya faktor produksi dapat ditekan seefisien mungkin, sedangkan di sisi lain masih dapat membayar upahnya sesuai dengan ketentuan rata-rata UMK yang berlaku.
Sebagai ilustrasi betapa besarnya keuntungan industri di Kaltim, Riau, dan DKI Jakarta dapat dilihat dari kecilnya biaya upah terhadap PDRB industri pada 2017. Di Kaltim, upah buruh yang harus dibayarkan dalam setahun rata-rata sekitar Rp 2,19 triliun. Angka ini relatif sangat kecil karena PDRB industri yang dihasilkan mencapai Rp 112 triliun.
Perbandingan seperti ini juga terlihat di Riau, yaitu dengan PDRB industri sekitar Rp 178 triliun, para pengusaha hanya membayarkan upah berikut THR-nya sekitar Rp 7 triliun. Untuk daerah ibu kota negara, seperti DKI Jakarta, ternyata para investor industri juga mampu berefisiensi tinggi seperti di Kaltim dan Riau. Dengan PDRB industri sekitar Rp 323 triliun, para pemilik pabrik hanya mengeluarkan seluruh total upah buruh di kisaran Rp 27,6 triliun.
Tentu saja perbandingan antara upah buruh di sektor industri dan total output sektor industri di suatu wilayah hanyalah salah satu indikator dalam persoalan pengupahan. Masih ada juga faktor lain yang perlu dipertimbangkan, seperti output dalam konteks subsektor industri, inflasi, dan output total di wilayah bersangkutan.
Meskipun demikian, perhitungan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa penting bagi pemerintah untuk melihat bahwa penentuan upah layak di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perbedaan kondisi makroekonomi antarwilayah. (LITBANG KOMPAS)