Berkah Ladang Jagung Sumbawa
Ladang seluas 250.000 hektar di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, setiap tahun menghasilkan 1,8 juta ton jagung. Tidak berlebihan menyebut Pulau Sumbawa sebagai salah satu penyangga jagung Nusantara.
Sengatan sinar mentari di ”Tana Samawa”, julukan Pulau Sumbawa, Senin (29/4/2019) menjelang pukul 14.00 Wita, menembus kaus lengan panjang dan menggigit kulit. Namun, panas menyengat itu tidak mengganggu Tina (24) yang ditemui di Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat.
Tina memasukkan jagung yang telah dijemur ke karung. Sesekali perempuan asal Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, itu menoleh ke arah pondok. Di sana, suaminya sedang menggendong anak bungsu mereka yang terus menangis. Tina tampak ingin segera merampungkan pekerjaan untuk meredakan tangis si kecil.
Ladang tempat Tina bekerja seluas 3 hektar memanjang dari tepi jalan raya Poto Tano-Taliwang hingga kaki bukit. Setengah area sudah kosong karena tanaman jagung selesai dipanen. Terlihat tumpukan jagung berwarna kuning jingga sedang dijemur.
Tina bergerak dari satu tumpukan jagung ke tumpukan lain. Sesekali ia menyeka keringat. Kaus lengan panjang yang dijadikan penutup kepala dan celana pendek yang dikenakan bukan lawan sebanding meredam jilatan terik sinar matahari.
Tak jauh dari Tina, beberapa pria melakukan kegiatan sama. ”Saya memang tidak sendiri, tetapi bersama enam orang lain. Kami semua berasal dari Sumba,” kata Tina yang membawa anaknya yang berusia satu setengah tahun beserta suaminya.
Ladang seluas 3 hektar itu dipanen Tina bersama enam kerabatnya. Mereka diupah Rp 7 juta untuk memanen jagung milik I Wayan Swastika (37), warga Budisari, Poto Tano. Menurut Tina, mereka datang ke Sumbawa untuk mencari upah sebagai buruh petik dan panen jagung. ”Kami sudah satu minggu di sini,” kata Tina.
Tidak hanya Tina dan kerabatnya yang datang ke Sumbawa untuk menjadi buruh ladang. Panen jagung juga menarik Rohaniah (47), perempuan asal Lombok Timur, beserta empat tetangga. Mereka sudah berada di Sumbawa sekitar seminggu.
”Sudah lumayan, tetapi masih banyak yang belum dipanen. Masih setengah lagi dari ladang jagung seluas 1 hektar. Kami bergantian kerja,” katanya.
Rohaniah dibayar Rp 2,5 juta untuk memanen ladang jagung seluas 1 hektar. Uang tersebut harus dibagi lima, yakni dengan empat tetangganya. Uang jatahnya, Rp 500.000, harus disisihkan Rp 80.000 untuk ongkos pulang pergi menggunakan bus ke kampung halaman di Lombok Timur.
Rohaniah dan para tetangganya bekerja selama sekitar sebulan, Untuk makan sehari-hari, bahan makanan dan minuman diberi oleh pemilik ladang.
”Lumayanlah pemasukan ini untuk tambahan uang Lebaran. Memang harus begini karena tiga anak saya sudah besar, tetapi masih menganggur semuanya,” tutur Rohaniah.
Kerja harian
Jika waktu masih tersisa dan ladang telah selesai dipanen, biasanya Rohaniah menjadi pekerja harian di ladang lain. Dia dibayar Rp 50.000-Rp 60.000 per hari. ”Sebenarnya tahun ini ingin kerja harian lagi, tetapi karena hampir bulan puasa, jadi harus pulang. Paling ini selesai pas awal bulan, jadi langsung balik,” ucapnya.
Membayar buruh tani merupakan cara yang sering digunakan pemilik lahan setiap kali musim panen tiba. ”Biasanya saya ambil buruh harian dengan bayaran Rp 50.000 per hari. Namun, panen kali ini saya bayar untuk satu bulan karena istri baru melahirkan,” kata I Wayan Swastika. Musim tanam biasanya dilakukan pada September-Oktober.
Menurut Swastika, ia tidak hanya panen untuk lahan 3 hektar miliknya yang berada tak jauh dari pelabuhan Poto Tano, tetapi juga ladang dekat rumahnya.
”Saya punya 2 hektar lagi di dekat rumah di daerah Budisari, Poto Tano. Sekarang sudah mulai dipanen. Para buruh berasal dari Sumba juga,” katanya.
Panen jagung di Sumbawa umumnya dilakukan satu kali setahun terutama pada lahan tegalan atau yang jauh dari sumber air. Untuk lahan produktif bisa dua kali setahun. Panen dilakukan setelah jagung berusia sekitar 110 hari.
”Sangat bergantung pada ketersediaan air. Karena ladang saya jauh dari air, maka sangat mengandalkan hujan. Kalau hujan, bisa tanam. Kalau tidak, ya, dibiarkan kosong,” kata Swastika. Panen sebelumnya mundur ke Januari 2019 dari seharusnya Desember 12018 akibat gempa Lombok, September tahun lalu.
Sebagian besar ladang jagung di Pulau Sumbawa berupa tegal. Biasanya berada di perbukitan. Maka, ketika menyusuri Pulau Sumbawa, mulai dari Sumbawa Barat hingga Kabupaten Bima, perbukitan tertutup hamparan ladang jagung. Sekitar Januari lalu, panen tengah berlangsung.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumbawa Barat, Sumbawa, Dompu, dan Kabupaten Bima, pada tahun 2017, total produksi jagung di empat wilayah tersebut 1,7 juta ton dengan luas lahan 245.640 hektar.
Dari empat wilayah tersebut, produktivitas Sumbawa paling tinggi, yakni 621.400 ton dengan luas lahan 96.660 hektar. Produktivitas ini meningkat dari tahun 2016 yang mencapai 467.240 ton pada luas lahan 76.670 hektar.
Posisi kedua ditempati Dompu dengan produktivitas 661.030 ton pada luas lahan 88.343 hektar. Kabupaten Bima memproduksi 299.440 ton pada luas ladang jagung 44.000 hektar, sedangkan Sumbawa Barat 121.730 ton pada luas lahan 16.630 hektar.
”Kalau hujan bagus, dari 3 hektar lahan, saya bisa mendapat 25 ton. Akan tetapi, tahun ini hujan susah, maka paling banyak saya dapat 10 ton,” kata Swastika.
Jagung milik Swastika dan petani lain di Pulau Sumbawa biasanya dijual kepada pengepul yang langsung mendatangi mereka. Saat ini jagung dijual Rp 3.700 per kilogram. Jagung kemudian didistribusikan ke luar Sumbawa, seperti Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.
Peluang industri
Bupati Dompu Bambang M Yasin yang ditemui di sela-sela penutupan Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K di Doro Ncanga, Sabtu (4/5), mengatakan, jagung merupakan salah satu tanaman andalan warga Pulau Sumbawa, termasuk masyarakat Kabupaten Dompu.
”Jagung merupakan tanaman identitas bagi masyarakat Pulau Sumbawa,” kata Yasin. Besarnya produksi jagung di Pulau Sumbawa memunculkan peluang untuk membangun industri hilir pengolahan jagung. Wakil Bupati Sumbawa Barat Fud Syaifuddin mengatakan, mereka mencari investor yang mau membangun pabrik di daerah itu.
”Jagung berpotensi besar, selain untuk makanan ringan, juga untuk pakan ternak. Kami sedang mencari investor untuk itu. Saat ini kami sudah bekerja sama dengan para pengusaha, tetapi mereka sebatas membeli bahan mentah, bukan mengolah jagung,” kata Fud.
Menurut Fud, saat ini pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan pengusaha dari Malaysia. ”Kami sudah bertemu. Mereka menjajaki potensi yang bisa dibawa ke Malaysia termasuk jagung, madu, dan palawija,” kata Fud. (ZAK/KEL/RUL/BRO)