Berebut Kucuran Air dari Atap Dunia
Pemanasan global dan perubahan iklim berpotensi besar memicu konflik sumber daya alam di sejumlah kawasan. Salah satunya di kawasan lereng Himalaya, pemicunya adalah soal rebutan air.
Hampir setiap hari, banyak orang dicemaskan soal peluang konflik di Laut China Selatan. Jarang yang menyinggung konflik di sekitar Hindu Kush Himalaya. Padahal, konflik di sana melibatkan hingga 4 miliar dari 7,7 miliar penduduk Bumi. Sengketa itu dipicu oleh air.
Pegunungan Hindu Kush Himalaya menjadi sumber utama bagi sungai-sungai besar yang mengalir di Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, China, India, Kamboja, Laos, Myanmar, Nepal, Pakistan, Thailand, dan Vietnam. Air dari lapisan-lapisan es di pegunungan itu mengaliri Brahamaputra-Jamuna dan Gangga serta Indus di Bangladesh-India-Pakistan, Mekong dan Irawadi di Asia Tenggara, serta Yangtze dan Sungai Kuning di China. Selama ribuan tahun, sungai-sungai itu memberi air, makanan, dan energi bagi warga yang dilewatinya.
Dalam laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2007 disebutkan, lapisan es di wilayah yang juga dikenal sebagai ”Atap Dunia” itu akan mencair dan berkurang drastis pada 2100. Penyebab utamanya pemanasan global. Bahkan, saat laju kenaikan suhu Bumi bisa ditekan sekalipun, pelelehan lapisan-lapisan es di ”Kutub Ketiga” itu tetap tidak terhindarkan.
Pelelehan itu memiliki dampak, setidaknya dua hal. Pertama, banjir dan kedua adalah kekurangan air di 12 negara yang mengandalkan Hindu Kush Himalaya sebagai sumber air. ”Jika gletser meleleh karena peningkatan suhu, setelah limpahan karena terlalu banyak air, akan ada kekurangan dan itu akan menimbulkan banyak masalah,” kata Utusan Khusus Inggris untuk LSM internasional soal perubahan Iklim, RTCC, Laksamana Pertama (Purn) Neil Morisetti, sebagaimana disiarkan di laman RTCC.
Pendapat itu disandarkan pada telaah Morisetti pada laporan IPCC 2007. Meski tidak secara terbuka, ia menyebut, kekurangan air bisa meningkatkan ketidakstabilan kawasan.
Konflik segi empat
Banjir karena luapan air di sungai-sungai yang berhulu di Hindu Kush Himalaya sudah terjadi dalam ribuan tahun terakhir. Sejak era Mohenjo-Daro ribuan tahun lalu hingga Bollywood, banjir kerap terjadi. India, Pakistan, China, dan Thailand berusaha mengendalikan banjir itu antara lain dengan membangun bendungan. Namun, India cemas dan prihatin atas aneka proyek bendungan China.
”Sengketa India- China telah berubah dari lahan menjadi air. Air menjadi pemecah baru dan akan menjadi pusat (masalah). Hanya China punya kemampuan membangun bendungan raksasa dan kekuatan untuk melawan penentangnya. Ini perang yang efektif tanpa harus menembakkan senjata,” kata peneliti Center for Policy Research New Delhi, Brahma Chellaney, sebagaimana dikutip media Inggris, The Guardian.
China-India memang pernah terlibat perang terbuka gara-gara rebutan kendali atas sebagian wilayah Kashmir pada 1962. Perang itu terjadi di antara perang India-Pakistan soal Kashmir. Hingga sekarang, masih terjadi baku tembak di antara prajurit- prajurit India-China di perbatasan Kashmir yang mereka kendalikan.
Konflik karena air Himalaya, menurut Chellaney, menempatkan India di posisi lebih lemah dari China. Salah satu sebab adalah separuh dari air melewati wilayah yang dikontrol China. Sebelum masuk ke Brahmaputra di India dan Jamuna di Bangladesh, air dari Hindu Kush Himalaya terlebih dulu mengalir di Yarlung Tsangpo di China-Tibet. Secara faktual, China mengendalikan Tibet.
Apalagi, lanjut Chellaney, China tidak hanya membangun dam di wilayah yang dikontrolnya. China juga mendanai proyek sejenis di Pakistan, tetangga sekaligus musuh bebuyutan India. Kedekatan Beijing-Islamabad membuat sebagian pejabat India, sebagaimana dikutip CNN, khawatir China- Pakistan bersekongkol dan memanfaatkan air sebagai alat menekan New Delhi.
Caranya, dam-dam China dipakai untuk mengurangi pasokan air ke India. China menampiknya dengan berkali-kali membahas kerja sama pemanfaatan air dari Hindu Kush Himalaya.
India sendiri juga membangun banyak bendungan. Bangladesh dan Pakistan harus menanggung dampaknya. Dam India di hulu Brahmaputra bisa mengurangi pasokan air ke Bangladesh. Pengurangan 10 persen saja dari debit air Brahmaputra akan membuat hampir seluruh wilayah pertanian Bangladesh—sepanjang tahun—kesulitan. Setidaknya 40 juta petani kecil Bangladesh bergantung pada Jamuna yang airnya terlebih dulu mengalir di Brahmaputra.
Dam India juga bisa mengurangi pasokan ke Sungai Indus yang menjadi andalan Pakistan. New Delhi sangat tahu ketergantungan Islamabad kepada Indus dan berkali-kali memanfaatkan itu.
Selepas bom bunuh diri di Kashmir, Februari 2019, Menteri Urusan Air India Nitin Gdakari secara terbuka mengancam Pakistan dengan air. Ancaman itu serius bagi Pakistan yang masih menjadikan pertanian sebagai salah satu penggerak perekonomian.
Hingga 85 persen pertanian Pakistan dihasilkan di daerah yang bergantung pada pasokan air dari sungai di India. Pakistan bisa mendapat pasokan itu setelah ada perjanjian Indus Water Treaty (IWT) pada 1960. Perjanjian itu terus bertahan meski terjadi empat perang besar antara India dan Pakistan.
Di Afghanistan, Taliban berkali-kali menggunakan air sebagai senjata. Di sungai-sungai yang berhulu ke Hindu Kush Himalaya, ada dam-dam lama. Sebagian dam itu dirusak Taliban. Akibatnya, banjir melanda markas tentara Afghanistan dan tentara pendudukan pimpinan Amerika Serikat.
Di Asia Tenggara, Vietnam- Thailand-Laos terus saling intai soal pemanfaatan Mekong. Sawah di Vietnam-Thailand mengandalkan air Mekong untuk irigasi utama. Tanpa Mekong, sawah dan ladang di negara-negara itu akan sulit ditanami. Ujungnya tidak ada beras Thailand atau Vietnam di pasar Cipinang. (AP/AFP/REUTERS/RAZ)