Tubuh tinggi ramping itu meliuk luwes mengikuti cerita yang dibawakannya. Sesekali diselingi lagu dan canda. "Pak Kasur sudah tua", katanya sambil terbungkuk-bungkuk di muka kelas. Ada mobil datang. Wah, Pak Kasur kesrempet. Jatuh!
Oleh
JOHNNY TG
·5 menit baca
Tubuh tinggi ramping itu meliuk luwes mengikuti cerita yang dibawakannya. Sesekali diselingi lagu dan canda. ”Pak Kasur sudah tua,” katanya sambil terbungkuk-bungkuk di muka kelas. Ada mobil datang. Wah, Pak Kasur kesrempet. Jatuh! Aduh, aduh! Anak-anak, siapa yang mau menolong?” Seorang anak laki-laki yang gemuk, umur 4 tahun, dengan sigap melompat ke depan memabangunkan Pak Kasur.
Itulah cara pak Kasur mengajar di kelas. Tawa dan muka ceria anak-anak asuhannya terlihat lepas dan bebas. Orang tua, ibu-ibu yang mengantar anak-anaknya ikut dilibatkan. Dengan keterlibatan langsung para orangtua di sekolah, anak tetap bisa merasakan “suasana” sekolah saat berada di rumahnya. Kalau ibu hadir, ia bisa melihat kekurangan anaknya dan menolong si anak di rumah.
Jadi pendidikan tidak terputus. Hal seperti ini tentu tidak bisa diharapkan dari pembantu rumah tangga, kata Pak Kasur. Oleh sebab itu, sebelum anak-anak mulai bersekolah, ibu-ibu di ajarkan nyanyi dulu supaya kelak bisa mengajar anaknya di rumah, kalau di sekolah si anak tertinggal dari anak-anak lain dalam seni suara. Untuk memantau perkembangan si anak, orang tua memperoleh buku laporan (bukan rapor seperti yang kita kenal), nyanyian-nyanyian yang diajarkan, laporan daya tangkap, kecerdasan, ketangkasan, tata tertib pergaulan dan seni suara. Selain itu orang tua juga mendapat buku gambar berisi hasil karya anak-anaknya.
Dalam mengajar, Pak Kasur selalu didampingi oleh para asisten yang rata-rata lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), beberapa diantaranya bahkan dari IKIP. Sebelum menerima asistennya, ia mengajukan persyaratan unik seperti harus bisa tertawa, murah senyum, ramah, sabar, suka bercanda, bisa menari, menyanyi. Paling penting adalah harus sayang anak dan mendorong anak agar jangan sampai merasa terpojok. Membesarkan hati agar tidak rendah diri, minder terhadap lingkungan adalah hal yang vital. Karena hal ini merupakan fondasi bagi si anak agar kelak mereka tidak canggung dan percaya diri saat nantinya terjun ke masyarakat.
Serba bisa
Pak Kasur, nama sesungguhnya adalah Soerjono. Ia putera bungsu delapan bersaudara dari keluarga Reksomenggolo. Lahir di Purbalingga, Purwokerto, 26 Juli 1912. Sejak kecil sudah suka melawak hingga teman-temannya, terutama sekali anak-anak selalu dekat dengannya. Ia pun mahir bermain bola, dalang, menari, menyanyi dan menjadi pandu (kini Pramuka). Nama pak Kasur di dapatnya saat ikut di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Saat menjadi pimpinan, ia disebut Kakak Soerjono, atau Kak Soer, yang lama kelamaan menjadi Kasur.
Ia bersekolah di HIS, MULO dan sekolah guru bantu atau HIK di Bandung. Karirnya sebagai pendidik dimulai sebagai guru bantu di Ardjoena School di Bantul, Yogyakarta. Sempat bertugas di Bandung, tempat dimana ia bertemu dan menikah dengan Sandiah di Yogyakarta, yang kelak lebih dikenal sebagai Bu Kasur, Juli 1946. Dari perkawinannya, mereka dikaruniai empat putera dan seorang puteri. Pada jaman revolusi, pak Kasur ikut memanggul senapan dan menjadi dalang “Wayang Suluh”.
Tahun 50an, Pak Kasur pindah ke Jakarta, tinggal di Jalan Haji Agus Salim dan bekerja sebagai guru dan anggota Badan Sensor Film. Pak Kasur sudah mencipta lagu sejak tahun 50an, seperti Naik Delman (awal 1954). Lagu ini terinspirasi saat ia naik delman dari Sokaraja Wetan ke Purwokerto, untuk mengejar kereta api pertama jurusan Jakarta. Jumlah lagu ciptaannya mencapai 120 buah lagu dan 66 lagu sudah dibukukan. Ia pun melakukan siaran anak-anak di Radio Republik Indonesia (RRI) pada tahun 1952. Tahun 1953, Pak Kasur mendirikan Taman Kanak-kanak, Taman Putra (SD) dan Taman Pemuda (SMP/SMA). Namun yang diasuhnya hanya Kebun Kanak-kanak Mini, kini menjadi TK Mini Pak Kasur di Cikini, Jakarta. Mulai tahun 1960 hingga 1966, ia mengasuh acara anak-anak di TVRI.
Saat mengajar, ia selalu membuat sendiri bahan ajar, mulai dari alat peraga, boneka dan lagu-lagu. Membuat boneka menjadi salah satu kebisaannya. Daya khayal menjadi hal utama untuk mewujudkan sebuah boneka.
Bahan-bahan yang dipakai disini sangat sederhana, yaitu kertas koran. Prosesnya, kata Pak Kasur, mula-mula lembaran kertas koran digunting jadi persegi kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam sebuah kotak penampungan. Setelah itu, potongan-potongan tadi direndam semalam dengan air panas agar kuman mati. Ini untuk menjaga kesehatan anak-anak yang membuat boneka itu.
Keesokan harinya, setelah lembut kertas ditumbuk sehingga menggumpal. Tumbukan tadi dicampur dengan kanji. Yang paling penting dalam membuat boneka adalah kepalanya. Sebelumnya, kita harus menyediakan tempat leher dari karton, sebesar jari tangan. Bundaran untuk kepala dijemur selama dua hari, lalu dibuat hidung, mata dan telinga. Baru dijemur lagi selama dua hari hingga kering. Kemudian kepala tadi ditempel kertas layangan agar bisa di beri cat berwarna untuk menggambarkan rambut, alis, bulu mata dan sebagainya. Proses yang terlihat panjang ini, ternyata bisa dilakukan bersama anak-anak didiknya.
“Anak-anak membuat macam-macam tergantung dari keinginannya. Ada yang buat hidungnya panjang sekali seperti Petruk, atau kupingnya besar. Malah ada yang sudah pandai yaitu untuk biji matanya digunakan kelereng. Boneka-boneka tadi juga diberi baju dari potongan sisa-sisa kain. Maka itu kalau punya sisa kain yang tak terpakai lagi, boleh dikirim kemari,” kata Pak Kasur senang.
Kalau boneka-boneka semua sudah selesai, dikumpulkan untuk dimainkan bersama-sama. Ceritanya boleh dikarang sendiri oleh anak-anak yang dibagi dalam beberapa babak. Lama pertunjukannya tidak boleh lebih dari 20-30 menit, agar tidak bosan. Belajar sambil bermain, dan bermain sambil belajar.
Keahliannya dalam memainkan boneka juga digunakan pemerintah untuk mengenalkan program-program pemerintah. Pada awal Januari 1972, Pak Kasur menggunakan sandiwara boneka (puppet show) dalam acara seminar Penyuluh Keluarga Berencana di Kemang dan Cilandak, Jakarta.
Bukan saja membuat tertarik para peserta seminar tapi juga peserta lain yang sedang mengikuti Pendidikan Dasar Pendidikan Kesehatan Masyarakat. “Main sandiwara boneka tidak boleh lebih dari 30 menit, kata Pak Kasur kepada para peserta seminar. Karena boneka yang digunakan ada bagian yang tidak dapat bergerak, seperti kepala.
Beda dengan wayang yang hampir semua bagiannya bisa digerakkan. Ini tidak membosankan. Selain itu dialognya juga harus pendek-pendek saja. Dalang harus menguasai skenario, tingkatan pendidikan penonton, adat-adat di daerah. Paling penting harus dapat membuat humor.
Pada Jumat malam, 26 Juni 1992, Pak Kasur meninggal di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 80 tahun.
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 1972, halaman 5, Kompas, Sabtu, 5 Februari 1972, halaman 5, Kompas, Sabtu, 24 November 1973, halaman 5, Kompas, Kamis, 25 April 1974, halaman 5, Kompas, Minggu, 30 Desember 1979, halaman 2, Kompas, Minggu, 28 Juni 1992, halaman 5.