Kuota Internet: Kebutuhan Pokok Era Digital
Bukan nasi, tetapi eksistensi yang menjadi kebutuhan pokok penduduk Indonesia saat ini.
Sebagai warga negara, hampir 60 persen penduduk Indonesia merupakan individu-individu yang aktif menggunakan dan berinteraksi melalui internet, atau warganet.
Proporsi tersebut menempatkan Indonesia dalam 10 besar pengguna internet terbesar di dunia. Dengan 143 juta pengguna internet, menurut data Statista 2017, Indonesia berada pada peringkat 5 dunia, di bawah China, India, Amerika Serikat, dan Brasil.
Jumlah tersebut diperkirakan akan semakin melonjak melihat perkembangan populasi warganet di Indonesia yang semakin meluas dalam 10 tahun terakhir.
Bila pada tahun 2010 hanya terdapat 42 juta pengguna internet di Indonesia, pada 2017 jumlah itu bertambah 240 persen menjadi 143 juta pengguna.
Lonjakan tersebut jauh melampaui perkembangan jumlah penduduk Indonesia pada kurun waktu yang sama yang naik sekitar 8,3 persen, dari 240 juta orang pada 2010 dan menjadi 260 juta orang pada 2017.
Lonjakan warganet paling tinggi di Indonesia terjadi pada 2015. Jika pada 2014 jumlah warganet mencapai 88 juta orang, setahun kemudian jumlahnya meningkat menjadi 110 juta pengguna, atau naik 20 persen.
Tarif murah
Terdapat dua faktor utama penyebab lonjakan warganet. Faktor pertama adalah murahnya tarif internet di Indonesia. Berdasar hasil pengumpulan data dari enam operator penyedia internet nasional pada Agustus 2018, terungkap bahwa tarif per kilobit termurah adalah Rp 0,003 per kilobit. Tarif tersebut didapatkan dari paket data sebesar 30 gigabit yang dijual dengan harga Rp 100.000 dengan masa aktif satu bulan.
Tarif per kilobit termahal di Indonesia ada pada harga Rp 0,038 per kilobit yang didapat dari paket internet 2 gigabit seharga Rp 75.000 dengan masa aktif sebulan. Jika ditilik dari harga normal atau biaya internet dengan pulsa reguler, pengguna dibebani biaya antara Rp 5 hingga Rp 10 per kilobit.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia, rentang tarif tersebut masuk kategori murah. Data survei McKinsey tahun 2016 menunjukkan, tarif internet di Indonesia adalah kedua yang paling murah di dunia setelah India. Tarif internet per gigabit di Indonesia senilai Rp 92.480.
Di kawasan Asia Tenggara, negara yang tarif internetnya paling dekat selisihnya dengan Indonesia adalah Thailand yakni Rp 165.920 per gigabit. Sedangkan tarif internet paling mahal di dunia ada di Kanada, dengan uang Rp 1,6 juta hanya mendapatkan internet 1 gigabit saja!
Selain tarif murah, faktor pendorong lonjakan jumlah warganet yang kedua adalah semakin terjangkaunya perangkat akses internet. Perangkat yang dominan digunakan untuk mengakses internet adalah ponsel pintar. Sebesar 83 persen pengakses internet di Indonesia menggunakan ponsel pintar. Sedangkan pengguna perangkat komputer hanya separuhnya, yakni 44 persen.
Ponsel pintar bukan lagi barang mewah yang hanya dapat dibeli orang berduit. Justru saat ini pasar ponsel pintar didominasi oleh kelas menengah bawah. Berdasar data riset International Data Corporation, penjualan ponsel pintar segmen menengah bawah seharga Rp 1,4 juta hingga 2,8 juta, tumbuh 10 persen setiap tahunnya.
Sedangkan penjualan ponsel pintar segmen sangat rendah dengan harga di bawah Rp 1,4 juta turun drastis dari 55 persen di tahun 2015 menjadi hanya 25 persen pada 2017.
Bergesernya konsumen ponsel pintar kelas sangat rendah menjadi menengah bawah menunjukkan peningkatan daya beli dan kebutuhan kemampuan gawai yang lebih baik. Gawai dengan spesifikasi lebih baik dapat mengakomodasi kebutuhan pengguna dengan lebih beragam.
Keragaman pengguna internet tidak hanya sebatas berselancar menggunakan peramban atau browser saja, tetapi dapat juga digunakan untuk mengakses video streaming dan bermain gim daring.
Menengah bawah
Salah satu pemain besar ponsel pintar low price adalah Xiaomi. Produk-produk Xiaomi mengisi pasar ponsel pintar Indonesia di segmen menengah dan menengah bawah dengan pertumbuhan penjualan yang signifikan.
Berdasar data International Data Corporation, market share Xiaomi pada kuartal kedua 2017 hanya sebesar 3 persen. Namun, penjualan Xiaomi melejit hanya dalam waktu setahun mencapai nilai market share 25 persen.
Xiaomi hanya terpaut dua persen dengan Samsung (market share 27 persen). Salah satu faktor keberhasilan Xiaomi adalah kemampuannya menawarkan spesifikasi smartphone berkualitas dengan harga bersaing.
Lonjakan penjualan Xiaomi dan ponsel pintar segmen menengah bawah pada umumya menegaskan temuan APJII tentang kelas ekonomi warganet di Indonesia. APJII menyebutkan 74,62 persen warganet merupakan masyarakat ekonomi menengah bawah.
Tidak dimungkiri, berdasar patokan Bank Dunia, Indonesia merupakan negara dengan kondisi ekonomi menengah bawah. Pendapatan perkapita tahunan Indonesia tahun 2017 senilai 3.540 dollar AS atau setara Rp 49,5 juta. Nilai tersebut masuk dalam kategori menengah bawah menurut klasifikasi Bank Dunia, dalam interval 996 dollar AS hingga 3.895 dollar AS.
Walaupun Indonesia masih termasuk negara ekonomi menengah bawah, belanja internet masyarakatnya terbilang besar. Berdasar riset Ericsson Lab pada tahun 2017, wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, rata-rata konsumsi kuota internet per ponsel pintar mencapai 5,5 gigabit sebulan.
Pengeluaran masyarakat Indonesia untuk kebutuhan internet cukup besar. Berdasar data Susenas BPS, rata-rata penggunaan kuota internet per kapita pada 2017 sebesar Rp 86.600. Nominal tersebut dapat digunakan untuk membeli kuota internet minimal 6 gigabit dengan masa berlaku satu bulan.
Dengan pengandaian dalam satu keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua anak yang semuanya aktif mengakses internet, pengeluaran internet satu keluarga mencapai Rp 346.400 per bulan.
Jika dibandingkan dengan konsumsi beras, makna pengeluaran tersebut adalah belanja internet jauh lebih banyak dibanding nilai belanja beras per kapita dalam sebulan. Berdasar Susenas 2016, rerata belanja beras per bulan per kapita nasional senilai Rp 258.000.
Nilai belanja beras diasumsikan dikonsumsi oleh empat orang dalam satu keluarga. Dengan demikian, didapatkan gambaran bahwa biaya internet jauh lebih besar daripada biaya membeli beras dalam sebulan.
Kendati masyarakat Indonesia mayoritas berada pada tingkat ekonomi menengah bawah, biaya akses internet sudah pada posisi lebih besar dari uang untuk membeli beras.
Fenomena ini semakin menegaskan bahwa di era digital ini kondisi sosial ekonomi bukan menjadi penghalang untuk mempertahankan eksistensi warganet.
Warganet hidup tidak hanya makan nasi saja, tetapi akses internet berangsur menjadi hidangan utamanya. (Litbang Kompas)