Pertumbuhan Kelas Menengah Indonesia Jadi Daya Tarik
Terus bertumbuhnya kelas menengah menjadi peluang bagi perusahaan manajemen aset untuk memperkuat bisnisnya di Indonesia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terus bertumbuhnya kelas menengah ke depan menjadi peluang bagi perusahaan manajemen aset untuk memperkuat bisnisnya di Indonesia. Layanan jasa keuangan yang dibutuhkan biasanya terkait investasi sekaligus persiapan untuk masa pensiun.
Populasi yang besar dengan jumlah kelas menengah yang terus tumbuh di Indonesia menjadi alasan bagi Principal Financial Group untuk memperkuat bisnis pengelolaan aset dengan meningkatkan kepemilikan di PT Principal Asset Management Indonesia menjadi 60 persen. Sementara kepemilikan CIMB Group menjadi 40 persen.
CEO Principal Indonesia Agung Budiono dalam konferensi pers, Jumat (3/5/2019), di Jakarta, menyatakan, keputusan memperkuat layanan jasa keuangan di Indonesia didasari beberapa hal. Populasi yang besar telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 290 juta jiwa pada tahun 2030.
Dari proyeksi tersebut, jumlah kelas menengah pada saat itu diperkirakan akan mencapai 90 juta orang dari saat ini sekitar 60 juta orang. Populasi generasi muda yang sekaligus pengguna media sosial juga akan menambah besar ekonomi digital di Indonesia.
”Kebutuhan layanan finansial orang Indonesia berubah dengan cepat. Kami akan mendorong untuk tidak hanya fokus mengelola kekayaan mereka sendiri, tetapi juga berinvestasi untuk generasi masa depan,” kata Agung.
Kebutuhan layanan finansial orang Indonesia berubah dengan cepat.
Presiden Direktur PT Bank CIMB Niaga Tbk Tigor M Siahaan mengatakan, salah satu tren adalah semakin besarnya masyarakat Indonesia yang mengakses internet melalui telepon pintar. Setidaknya sekitar 130 juta orang di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu dengan telepon pintarnya 4-6 jam.
Sementara jumlah kelas menengah yang terus tumbuh menandakan pendapatan masyarakat terus meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut biasanya dibarengi dengan kebutuhan untuk menabung dan berinvestasi.
”Kami tidak hanya mengeluarkan produk bagi kalangan atas saja, tetapi juga kalangan bawah. Karena meski mulai dari bawah, ke depan diharapkan penghasilan semakin baik. Nah, kebiasaan untuk memulai berinvestasi itu yang susah. Makanya, dari Rp 10.000, tetapi yang penting mulai dulu,” kata Tigor merujuk pada produk Bukareksa yang diluncurkan CIMB Principal melalui laman pemasaran Bukalapak.
Dengan adanya tren seperti itu, lanjut Tigor, perusahaan pengelola aset atau layanan keuangan dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan masyarakat. Produk keuangan yang hendak ditawarkan mesti disesuaikan dengan kebiasaan dan budaya lokal.
Presiden Principal Asia Thomas Cheong mengatakan, menjalankan pengelolaan aset di negara maju dengan negara berkembang itu berbeda. Di negara berkembang, pengelolaan pendapatan mesti sekaligus memikirkan masa tua atau ketika nanti pensiun.
Menurut Thomas, semakin berkembangnya layanan berbasis digital akan mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus memunculkan tren baru. Dia mencontohkan, di China, orang yang lahir setelah tahun 1995 sudah tidak lagi pergi ke bank. Mereka bertransaksi dengan menggunakan telepon pintar. Hal ini diyakini secara bertahap akan terjadi di Indonesia.
”Maka, yang penting adalah bagaimana mengedukasi konsumen Anda untuk berinvestasi dan menabung. Di Indonesia sungguh merupakan peluang yang menarik,” kata Thomas.
CEO Principal Asset Management ASEAN Juan Ignacio Eyzaguirre menambahkan, bagi Principal Financial Group, kawasan Asia Tenggara sangat strategis. Sebab, meski kelas menengah tumbuh sangat cepat di kawasan, penetrasi pasar modal masih rendah. Hal itu tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara lain.