Warga Provinsi Aceh memiliki tradisi sendiri menyambut Ramadhan. Dalam istilah lokal disebut ”meugang”. Ramadhan disambut gembira dengan menyantap masakan lezat bermenu utama daging.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
Warga Provinsi Aceh memiliki tradisi sendiri menyambut Ramadhan. Dalam istilah lokal disebut meugang. Ramadhan disambut gembira dengan menyantap masakan lezat bermenu utama daging. Tradisi ini dirawat turun-temurun.
Sabtu (4/5/2019) pagi, suasana Pasar Ulee Kareng, Banda Aceh, lebih ramai dari biasanya. Deretan lapak pedagang daging memenuhi sepanjang jalan. Warga memadati lapak-lapak itu untuk memburu daging sapi.
Daging yang dijual di pasar itu umumnya daging sapi lokal. Harganya Rp 160.000 per kilogram. Tidak ada perbedaan dibandingkan harga tahun lalu. Meski harganya terbilang mahal, tidak menyurutkan antusias warga membelinya.
”Adak hana peng, sie meugang wajeb na (Meski tidak ada uang, daging megang harus beli),” kata Rasidin, warga Banda Aceh.
Bagi warga Aceh, membeli daging meugang untuk keluarganya merupakan sebuah kewajiban. Mereka jauh-jauh hari menabung uang untuk dibelanjakan pada hari meugang. Daging lembu, kambing, atau kerbau menjadi pilihan utama. Daging itu dimasak beragam menu dan disantap bersama. Meugang telah menguatkan ikatan keluarga.
Bagi mahasiswa di perantauan, tidak jarang mereka pulang ke kampung halaman untuk merayakan meugang bersama keluarga. Rasa rindu terhadap masakan ibu menggerakkan kaki mereka menempuh perjalanan panjang.
Sementara bagi lelaki yang baru saja menikah, pada meugang pertama harus membeli daging untuk mertua. Memang tidak ada aturan yang mewajibkan, tetapi ini menyangkut harga diri bahwa dia mampu menjadi menantu idaman.
Seperti yang dirasakan Syahril, warga Bireuen, yang menikah pada Desember 2018. Walaupun tidak bisa pulang ke rumah mertua karena ada urusan pekerjaan, dia mengirimkan sejumlah uang untuk berbelanja daging. ”Kirim Rp 1 juta, cukuplah buat beli beberapa kilo daging dan keperluan dapur,” kata Syahril.
Berada di permukiman warga pada hari meugang, akan tercium aroma rendang dan ragam masakan. Siap-siap dipersilakan masuk ke rumah untuk menikmati makan siang bersama. Meugang juga dimaknai sebagai hari saling berbagi.
Dalam sebuah desa, jika ada keluarga kurang mampu, tokoh desa atau perangkat desa berkewajiban menyumbangkan daging untuk keluarga itu. Pada hari meugang, semua orang di Aceh harus merasakan masakan daging walau hanya satu-dua potong.
Meugang berlangsung sejak Kesultanan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. Ketua Rumoh Manuskrip Aceh Tarmizi A Hamid mengatakan, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, menjelang Ramadhan, Sultan Iskandar Muda membagikan daging, uang, dan kain kepada warga miskin supaya mereka menyambut bulan Ramadhan dengan bahagia.
Sultan menginginkan semua warga menyambut bulan suci itu dengan riang, salah satunya dengan menyantap makanan yang lezat. Warga miskin yang jarang memakan daging pada kesempatan itu dapat menikmati makanan yang terbilang mewah.
”Rujukan sejarah tradisi meugang tetap pada Kerajaan Aceh Darussalam, seperti termaktub dalam Qanun Al Asyi,” kata Tarmizi.
Qanun Al Asyi atau Qanun Meukuta Alam merupakan undang-undang dasar kerajaan. Qanun tersebut mengatur semua sendi kehidupan dari tata pemerintahan, hukum, adat, hingga rakyat. Qanun ini berlandaskan ajaran Islam.
Menurut Tarmizi, dalam Qanun Meukuta Alam Bab II Pasal 47 disebutkan, saat mendekati meugang, keuchik (kepala desa) di seluruh Aceh mencatat jumlah fakir miskin, janda, orang lumpuh, yatim piatu, dan warga yang tidak bisa mencari nafkah. Kemudian, pihak kerajaan menyalurkan pangan dan sandang bagi mereka.
Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat, tradisi ini dilanjutkan penerusnya. Setelah Kerajaan Aceh Darussalam runtuh akibat peperangan panjang melawan kolonial Belanda, tradisi itu tetap dilakukan warga hingga kini. Tetap abadi menjaga saudara sedaging menyambut bulan suci.