Gonjang-ganjing harga tiket mahal sudah menyeruak sejak akhir tahun lalu dan berlanjut hingga kini.
Oleh
Maria Clara Wresti
·4 menit baca
Gonjang-ganjing harga tiket mahal sudah menyeruak sejak akhir tahun lalu dan berlanjut hingga kini. Kementerian Perhubungan mengimbau semua maskapai menurunkan harga tiket. Kemenhub sebatas mengimbau karena harga tiket dinilai sebagai ranah bisnis yang jadi hak pelaku usaha. Selain itu, harga tiket belum melewati batas atas ketetapan pemerintah.
Awalnya, Indonesia National Air Carriers Association (Inaca) mendeklarasikan akan menurunkan harga. Memang ada yang turun, tetapi tak semua maskapai menurunkan harga tiketnya. Garuda Indonesia tetap menggunakan tarif Y atau tarif tertinggi. Kalaupun turun, harga tiket tak sepenuhnya turun karena dikemas dengan pameran perjalanan daring dalam kurun waktu tertentu atau hanya di rute terbatas.
Problemnya, Garuda Indonesia adalah price setter, patokan harga bagi maskapai lain. Jadi, semua maskapai juga mematok harga tinggi. Apalagi, kita tak bisa menutup mata, kini tinggal ada dua grup maskapai penerbangan, yakni Garuda dan Lion. Jika Garuda mematok harga mahal, Lion tentu tak mau lagi menerapkan harga murah. Apalagi, dengan menerapkan harga murah selama ini, maskapai berdarah-darah.
Akan tetapi, praktik harga tinggi kini menuai efek negatif. Penumpang mengundurkan diri dan mencari alternatif moda transportasi lain. Penurunan ini terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Keberadaan jalan tol yang sudah banyak tersambung membuat penumpang beralih ke kendaraan pribadi, bus, atau kereta api. Angkutan laut yang sebelumnya mengalami penyusutan jumlah penumpang kini bahkan menunjukkan peningkatan.
Sebaliknya, penumpang angkutan udara turun. Menurut laporan Kepala Otoritas Bandara Wilayah VI Sumatera Agoes Soebagio, penurunan jumlah penumpang di wilayahnya mencapai 15-20 persen. Angka itu sama dengan angka nasional.
Sementara Airnav Indonesia menyebutkan, jumlah penerbangan secara nasional turun 15 persen. Jadi, maskapai mengurangi frekuensi penerbangan karena penumpang berkurang, bahkan membatalkan penerbangan.
Penurunan jumlah penumpang angkutan udara tentu berdampak pada sektor lain, terutama pariwisata dan perdagangan. Pelancong yang ingin mengeksplorasi Nusantara harus berpikir ulang soal harga tiket pesawat.
Pelancong milenial juga akan memilih ke luar negeri karena harga tiket pesawatnya lebih murah.
Pada Desember 2018, Garuda menjual tiket domestik sebesar 10,60 sen dollar AS per kilometer (km), sementara tiket internasionalnya dijual seharga 6,10 sen dollar AS per km. Adapun Citilink menjual tiket seharga 7,07 sen dollar AS per km. Garuda menjual tiket internasional jauh lebih murah daripada tiket domestik, bahkan dibandingkan dengan Qantas dan Singapore Airlines yang menjual tiket dengan harga 7,41 sen dollar AS dan 7,23 sen dollar AS per km.
Penurunan jumlah penumpang angkutan udara tentu berdampak pada sektor lain, terutama pariwisata dan perdagangan.
Garuda bersikukuh di harga tinggi. Barangkali karena pangsa pasarnya adalah pegawai pemerintahan dan BUMN. Jadi, negara yang membayar. Namun, tingginya harga tiket mempunyai efek cukup luas bagi ekonomi, terutama di daerah.
Tidak hanya pada penumpang, tingginya harga tiket pesawat juga berdampak pada kargo. Perdagangan yang sedang tumbuh pesat dengan adanya e-dagang kini mulai berhitung kembali. Jangan sampai ongkos kirim lebih mahal daripada harga barang. Dengan demikian, negara dirugikan lagi. Harus membayar tiket mahal, pemasukan negara melalui pajak dari perdagangan, pariwisata, dan hal lain juga berkurang.
Selama ini, maskapai memang berdarah-darah karena menjual tiket dengan harga murah. Namun, dengan harga tiket tinggi, sektor-sektor lain ikut berdarah. Pendapatan operator bandara juga menurun karena pemasukan dari retribusi penumpang berkurang. Maskapai sendiri bahkan tidak bisa menangguk keuntungan besar karena menurunnya penumpang.
Selama ini, maskapai memang berdarah-darah karena menjual tiket dengan harga murah.
Sepuluh tahun lalu, penerbangan Indonesia masuk dalam kategori penerbangan yang keselamatannya diragukan. Eropa bahkan menolak untuk menerima kedatangan pesawat Indonesia.
Awalnya tidak ada yang yakin ada yang bisa membenahi masalah keselamatan ini. Namun, setelah semua pemangku kepentingan duduk bersama dan mencari jalan keluar, penerbangan Indonesia masuk kategori aman selamat. Praktik keselamatan penerbangan Indonesia 81 persen sesuai dengan standar Badan Penerbangan Sipil Dunia (ICAO).
Saat ini, masalah besar yang harus dipecahkan adalah masalah komersial. Pemerintah membuat aturan yang mendorong pertumbuhan dan maskapai perlu mematuhi sepenuh hati. Tidak ada salahnya melihat praktik di negara lain, siapa tahu bisa menumbuhkan pemikiran baru yang lebih baik.