Kreativitas Guru Menjadi Kunci
Pembelajaran berbasis penalaran yang tinggi menuntut guru kreatif agar dapat menyampaikan bahan ajar secara efektif dan efisien.
JAKARTA, KOMPAS — Kurikulum 13, yang berbasis pengembangan nalar tingkat tinggi, telah mengubah pola pembelajaran di sekolah. Pola pikir dan strategi pembelajaran yang awalnya berpusat pada guru atau teacher centered kini menjadi terpusat pada siswa atau student centered. Sebagai ujung tombak perubahan ini, guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan materi pelajaran.
Guru juga harus memiliki wawasan yang luas dan terus belajar menghadapi perubahan zaman. Dengan demikian, guru akan mampu merumuskan soal yang memuat masalah yang kontekstual sebagaimana tuntutan dalam sistem pembelajaran yang berbasis penalaran tinggi atau Higher Order Thingking of Skills (HOTS) sesuai Kurikulum 13.
Sistem pembelajaran HOTS tidak hanya untuk mendorong kreativitas anak, tetapi juga keberanian berpikir di luar kebiasaan. Proses berpikir tersebut perlu diolah setiap hari. Proses pembelajaran ini tidak hanya menjawab pertanyaan benar atau salah, tetapi mendorong siswa untuk mampu menggambarkan sebuah perspektif sesuai dengan konteks.
”Jangan harap guru dapat melatih siswa untuk mengerjakan soal HOTS jika guru itu tak dapat menyajikan soal-soal berbobot HOTS karena yang bersangkutan kurang pengalaman dalam mengerjakan soal HOTS. Itulah pentingnya guru terus belajar,” ujar Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika SMA Kabupaten Sumedang Titin Suryati Sumadewi kepada Kompas di Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019).
Jangan harap guru dapat melatih siswa untuk mengerjakan soal HOTS jika guru itu tak dapat menyajikan soal-soal berbobot HOTS karena yang bersangkutan kurang pengalamannya dalam mengerjakan soal HOTS.
Titin yang juga Wakil Kepala SMA Negeri 1 Kabupaten Sumedang Bidang Kurikulum ini mengarahkan para guru mata pelajaran agar dalam setiap memberikan pekerjaan rumah kepada siswa minimal 20 persen merupakan soal berbasis HOTS. Bagi para guru yang masih kesulitan menguasai pembelajaran berbasis HOTS, salah satu forum yang dapat membantu adalah MGMP tingkat sekolah maupun kabupaten/kota.
Memahami proses
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Kolese Kanisius Jakarta T Gunawan Wibowo mengatakan, sistem pembelajaran HOTS akan menjadi sebuah persoalan ketika guru mengajar di kelas sebagai sebuah rutinitas. Dalam sistem HOTS, anak diolah dalam pembelajaran yang tidak hanya sampai pada tingkat pengetahuan kognitif, fakta, dan konsep. ”Fungsi guru adalah untuk menyiapkan masa depan anak,” ujarnya.
Karena itu, kata Gunawan, guru seharusnya tidak hanya memberikan latihan soal untuk mengejar ujian nasional, tetapi perlu menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, mata pelajaran Matematika dan Fisika tidak hanya membahas rumus, tetapi siswa diajak untuk memahami proses pemikiran sesuai dengan konsep kedua mata pelajaran itu.
Dalam materi statistika yang ada pada pelajaran Matematika, kata Gunawan, siswa dapat diajak melihat kondisi indeks saham gabungan. Siswa perlu diajak untuk memahami faktor sosial apa yang menyebabkan naik dan turunnya saham.
Untuk dapat memahami dengan mudah sistem pembelajaran HOTS, siswa perlu mendapatkan pengetahuan awal dari materi yang diberikan. Mereka pun selalu dilatih membiasakan berpikir tingkat tinggi dengan membuat refleksi belajar setiap akhir jam pelajaran. ”Siswa diajak melihat proses pembelajaran sehingga mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan kognitif saja,” ujar Gunawan.
Hal senada dikatakan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Wilayah Bali I Wayan Suwirya. Guru, katanya, dituntut mampu mengarahkan siswanya agar mampu menyelesaikan problem yang berkaitan dengan kehidupan nyata. IGI, misalnya, mendorong penerapan kolaboratif pelajaran sains, teknologi, seni, dan matematika (science, technology, engineering, art, and math/STEAM) sebagai salah satu model pembelajaran berbasis masalah.
Guru dituntut mampu mengarahkan siswanya agar mampu menyelesaikan problem yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
Model STEAM, menurut Suwirya, sejalan dengan penerapan model HOTS karena guru dan siswa bersama-sama dalam memecahkan persoalan. ”Kalau hanya menghafal rumus-rumus, masih perlu, namun tidak lagi efektif karena guru dan siswa sama-sama menghadapi masalah yang nyata di lapangan,” ujar Suwirya.
Sarana memadai
Selain guru dituntut kreatif, perlu didukung juga dengan sarana yang memadai agar pelaksanaan pembelajaran berbasis HOTS bisa maksimal. ”Dalam penerapan HOTS, guru memang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menyajikan materi pelajaran. Hal ini perlu didukung dengan sarana yang memadai melalui teknologi digital kata Ketua IGI Kabupaten Sumedang Ade Sugiana.
Namun, di lapangan masih banyak sekolah yang kekurangan sarana, misalnya untuk proyektor presentasi (proyektor LCD). Ade mencontohkan, dari 30 SMA negeri di Sumedang, sampai saat ini sekolah yang seluruh kelasnya tersedia proyektor presentasi baru SMA Negeri 1 Sumedang.
Ade yang juga guru Bahasa Inggris di SMP Negeri 6, Sumedang ini menuturkan, jika guru dalam mengajar ditunjang fasilitas proyektor LCD, yang bersangkutan dapat menyiapkan bahan ajar relatif lebih baik dan lengkap.
Terkait dengan beban pembuatan kelengkapan administratif, menurut Gunawan, kelengkapan administratif seperti rencana pelaksanaan pembelajaran dapat membantu guru dalam merancang pembelajaran. ”Kondisi di kelas dapat berbeda dengan perencanaan pembelajaran. Namun, melalui perencanaan yang baik akan membantu guru dalam menyiapkan materi dengan baik,” ujarnya.
Menurut Staf Ahli di Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Doni Koesoema A, dengan beban kerja guru 24 jam per pekan, guru masih memiliki ruang untuk meningkatkan kompetensi. Mereka juga masih ada waktu untuk menyiapkan materi yang lebih kreatif dan inovatif sebab selama ini waktu tatap muka guru hanya 18 jam per pekan. ”Tergantung guru tersebut memiliki motivasi yang lebih atau tidak,” ujar Doni.
(LARASWATI ARIADNE ANWAR/SAMUEL OKTORA/COKORDA YUDISTIRA/DAHLIA IRAWATI/PRAYOGI DWI SULISTYO)