Harga Gabah Jatuh, Petani Terancam Kekurangan Modal
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Tidak optimalnya penyerapan Perum Bulog pada panen raya 2019 berdampak pada anjloknya harga gabah di tingkat petani. Akibatnya, petani terancam kesulitan modal untuk musim tanam pada pertengahan 2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada April 2019 sekitar Rp 4.357 per kilogram (kg), lebih rendah 4,37 persen dibanding April 2018. Harga itu juga merupakan nilai terendah sejak Januari 2018.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, anjloknya harga GKP di bawah angka tahun lalu merupakan tanda tidak optimalnya fungsi Perum Bulog dalam melindungi harga di tingkat petani melalui penyerapan dalam negeri. "Akibatnya, daya tawar petani menjadi lemah," ujarnya saat dihubungi, Jumat (5/3/2019).
Idealnya, Guntur mengatakan, pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dari dalam negeri yang dilakukan Bulog dapat membentuk harga yang melindungi petani. Dampaknya, penggilingan atau pelaku usaha beras swasta lainnya akan memberikan harga yang lebih tinggi dari Bulog.
Anjloknya harga GKP akibat seretnya serapan Bulog turut berimbas pada pendapatan di tingkat petani. Guntur mengatakan, hal ini dapat mengurangi modal untuk musim tanam berikutnya.
Anjloknya harga GKP akibat seretnya serapan Bulog turut berimbas pada pendapatan di tingkat petani
Hal ini tercermin dari nilai tukar petani tanaman pangan atau NTPP. BPS mencatat, NTPP pada April 2019 sebesar 104,03 atau turun 1,21 persen dibandingkan Maret 2019.
Menurunnya NTPP tersebut, menurut Guntur, menandakan daya beli petani terhadap kebutuhan sehari-harinya dan modal produksinya melemah. "Kalau nilai tukar lebih rendah, kemampuan modal untuk masa tanam berikutnya jadi berkurang," katanya.
Berdasarkan kajiannya, Guntur mengatakan, NTPP seharusnya di angka 105. Nilai ini mengindikasikan, petani dapat memiliki simpanan lebih salah satunya untuk modal produksi di musim tanam selanjutnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, petani mulai kesulitan menjual berasnya pada penggilingan kecil. Dia menuturkan, penyerapan Bulog yang tidak optimal membuat beras di penggilingan kecil menumpuk. Akibatnya, penggilingan tersebut tak bisa lagi membeli gabah dari petani.
Padahal, penjualan gabah tersebut dapat menjadi salah satu sumber modal bagi petani untuk musim tanam berikutnya. "Kalau hal ini terjadi secara masif, dapat berisiko terhadap pengadaan beras nasional," ujar Dwi.
Secara terpisah, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar mengatakan, pihaknya tetap membeli beras, baik dari penggilingan kecil maupun gabungan kelompok tani. Bulog juga mengandalkan penggilingan miliknya yang berkisar 30 unit untuk mengolah gabah dari petani. Saat ini, Bulog memprioritaskan penyerapan gabah.
Bukan solusi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengadakan rapat koordinasi yang membahas kebijakan beras, Jumat. Deputi Bidang Industri Agro dan Farmasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara Wahyu Kuncoro dan Bachtiar hadir dalam rapat itu.
Meskipun demikian, pemerintah belum memiliki strategi terbaru untuk mendongkrak serapan Bulog dalam rangka melindungi harga di tingkat petani. Wahyu mengatakan, Bulog akan tetap serap selama harga di tingkat petani sesuai dengan Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras. Adapun harga yang berlaku saat ini menurut aturan tersebut sebesar Rp 4.070 per kg.
Seretnya penyerapan Bulog disinyalir disebabkan oleh menyempitnya saluran beras di hilir. Salah satu wacana untuk mengatasinya, menurut Bachtiar, ialah menyalurkan beras Bulog untuk tunjangan pangan bulanan bagi aparatur sipil negara (ASN), termasuk pegawai negeri sipil serta anggota TNI dan Polri. Rencananya, tiap ASN mendapatkan 18 kg per bulan.
Selain itu, Bachtiar mengatakan, Bulog tengah menjajaki ekspor beras domestik ke Malaysia. Harapannya, dua langkah tersebut dapat mendongkrak serapan dalam negeri.
Meskipun demikian, Peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) M Husein Sawit berpendapat, ekspor tersebut bersifat nonekonomis.
Terkait rencana saluran untuk ASN, Husein mengatakan, langkah tersebut bersifat sementara. Kualitas CBP Bulog tidak sesuai dengan selera pasar ASN.
Secara keseluruhan, Dwi berpendapat keduanya bukan solusi untuk mengoptimalkan fungsi dalam melindungi harga di tingkat petani. "Solusinya ialah, mengembalikan Bulog sebagai operator badan stabilisasi pangan nasional, bukan korporasi yang berorientasi pada untung," katanya.