Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi berupaya menyempurnakan sistem pemeringkat bahaya kebakaran lahan gambut. Sistem ini diharapkan membantu mendeteksi potensi kebakaran hutan dan lahan, termasuk strategi penempatan petugas pencegahan kebakaran.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi berupaya menyempurnakan sistem pemeringkat bahaya kebakaran lahan gambut. Sistem ini diharapkan membantu mendeteksi potensi kebakaran hutan dan lahan, termasuk strategi penempatan petugas pencegahan kebakaran.
Perekayasa dari Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah BPPT, Hartanto Sanjaya, mengatakan, BPPT sedang menyempurnakan sistem pemeringkat bahaya kebakaran (SPBK). SPBK yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saat ini hanya bisa meninjau kerawanan dari analisis parameter cuaca, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, dan kecepatan angin.
”Dengan penyempurnaan ini, SPBK tidak hanya meninjau kerawanan kebakaran dari segi cuaca, tetapi dari aspek lain, seperti aktivitas manusia, bahan bakaran, dan nilai ekonomi,” ujar Hartanto saat mengikuti rapat koordinasi satuan tugas pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (2/5/2019).
Hartanto mengungkapkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak hanya cuaca, tetapi juga dipengaruhi faktor lain, yang paling dominan aktivitas manusia. Di Indonesia, 90 persen penyebab karhutla adalah aktivitas manusia.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak hanya cuaca, tetapi juga dipengaruhi faktor lain, yang paling dominan aktivitas manusia.
Hal sama terjadi di Amerika Serikat di mana 80 persen penyebab karhutla adalah kegiatan manusia. Adapun di Kanada 60 persen dan di Australia 70 persen. ”Semakin dekat permukiman dengan tutupan lahan, lahan tersebut akan semakin rawan,” ujarnya.
SPBK juga mengukur bahan bakaran gambut. Jika lahan gambut di suatu wilayah semakin dalam, lahan semakin rawan terbakar karena kandungan bahan bakarnya tinggi. Adapun aspek nilai ekonomi lahan juga dipertimbangkan.
”Tentu akan ada perbedaan perlakuan antara lahan perkebunan milik perusahaan dan tanah telantar. Semakin telantar lahan tersebut, akan semakin rawan terbakar,” ucapnya.
Untuk itu, SPBK bekerja tidak hanya melalui citra satelit, tetapi juga melalui survei lapangan, yakni meminta data dari warga dan pemasangan alat di kawasan lahan gambut. Sistem ini, lanjut Hartanto, sudah diuji coba di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, sejak tahun lalu. Daerah ini dipilih karena merupakan kawasan paling rawan terbakar di Sumsel.
”Sekarang masih dalam proses validasi. Harapannya, pada Oktober 2019 sudah bisa digunakan sebagai acuan Satgas Karhutla Sumsel dalam mengambil keputusan di lapangan,” katanya. Apabila sistem ini berhasil, penggunaannya akan diperluas ke seluruh wilayah lain.
Komandan Satgas Pengendalian Karhutla Sumsel Kolonel Arh Sony Septiono mengatakan, per 1 April-31 Oktober 2019, melalui surat keputusan gubernur, posko kebakaran hutan dan lahan kembali diaktifkan. Itu berarti langkah pencegahan kebakaran sudah bisa dilakukan. ”Patroli dan memeriksa kesiapan kekuatan personel sudah dilakukan,” kata Sony.
Ada beberapa daerah rawan yang diwaspadai, seperti Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Muara Enim. ”Kekuatan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah kesiapan,” ucapnya.
Saat ini, kemarau belum masuk karena monsun barat dan timur masih bertabrakan di garis khatulistiwa sehingga energi matahari masih terpusat di daerah sekitar ekuator.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Bambang Beny Setiaji mengungkapkan, saat ini El Nino sudah aktif, tetapi musim kemarau di Sumsel diperkirakan akan masuk pada dasarian II bulan Mei. Saat ini, kemarau belum masuk karena monsun barat dan timur masih bertabrakan di garis khatulistiwa sehingga energi matahari masih terpusat di daerah sekitar ekuator.
Selain itu, masih ada tekanan rendah di Samudra Hindia sehingga potensi hujan masih ada. Diperkirakan kemarau akan masuk pada pertengahan Mei dan puncaknya akan terjadi pada Agustus-September. Pada masa itu, kondisi udara paling kering dan curah hujan paling rendah. ”Pada masa inilah perlu diwaspadai adanya karhutla,” ujar Bambang.