Pembelajaran Berbasis HOTS Belum Konsisten Diterapkan
Pembelajaran berbasis “High Order Thinking Skills” atau ketrampilan berpikir tingkat tinggi hingga saat ini belum konsisten diterapkan oleh para guru di kelas. Sebagian guru masih mengajar dengan paradigma lama antara lain menekankan siswa untuk menghafal rumus-rumus atau teori, bukan melatih kemampuan bernalar pada siswa.
Oleh
Samuel Oktora
·4 menit baca
SUMEDANG, KOMPAS — Pembelajaran berbasis High Order Thinking Skills (HOTS) atau ketrampilan berpikir tingkat tinggi belum konsisten diterapkan oleh para guru di kelas. Sebagian guru masih mengajar dengan paradigma lama antara lain menekankan siswa untuk menghafal rumus-rumus atau teori, bukan melatih kemampuan bernalar pada siswa.
Padahal, sikap guru yang demikian berdampak kurang baik bagi siswa karena dalam soal-soal ujian nasional (UN) mulai tahun 2018 sebagian bobotnya mengacu pada HOTS. Maka tak heran banyak siswa terkejut dengan model soal pada UN 2018, dan mereka juga kesulitan mengerjakan soal tersebut karena guru belum mengajarkan model pembelajaran berbasis HOTS.
Hambatan ini terjadi ditengarai karena sejumlah hal, di antaranya sebagian guru enggan belajar guna meningkatkan kemampuannya. Dalam kaitan pembelajaran berbasis HOTS, guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga harus luas wawasannya sehingga guru diharapkan tak berpuas diri dengan apa yang sudah dicapainya, melainkan tetap harus terus belajar menghadapi perubahan zaman.
Dalam kaitan pembelajaran berbasis HOTS, guru tak saja dituntut kreatif, melainkan juga harus luas wawasannya.
“Sampai saat ini masih ditemukan sebagian guru yang tidak menerapkan HOTS dalam mengajar, mungkin karena ada yang merasa sudah mempunyai pengalaman sekian lama sehingga yang bersangkutan merasa tak perlu belajar dan menerapkan HOTS. Padahal dalam Kurikulum 2013 menekankan aspek bernalar tinggi pada siswa dengan berbasis HOTS,” kata Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Matematika SMA Kabupaten Sumedang, Titin Suryati Sumadewi kepada Kompas di Sumedang, Jawa Barat, Senin (29/4/2019).
Menurut Titin yang pernah meraih medali emas bidang matematika SMA/ SMK Olimpiade Sains Guru 2014, guru juga dituntut mampu merumuskan soal yang memuat masalah yang kontekstual. Artinya, ada permasalahan dalam kehidupan atau lingkungan sehari-hari yang dikaitkan dengan konsep matematika. HOTS juga diterapkan pada semua mata pelajaran baik jenjang pendidikan dasar, maupun pendidikan menengah.
“Kemampuan seorang guru dalam menyajikan soal itu berbanding lurus dengan kemampuan guru dalam mengerjakan soal. Jadi jangan harap guru dapat melatih siswa untuk mengerjakan soal HOTS, jika guru itu tak dapat menyajikan soal-soal berbobot HOTS karena yang bersangkutan kurang pengalamannya dalam mengerjakan soal HOTS. Itulah pentingnya guru terus belajar. Guru yang sekadar pintar dalam mengerjakan soal-soal belum tentu menguasai HOTS dengan baik,” ujarnya.
Titin yang juga Wakil Kepala SMA Negeri 1 Kabupaten Sumedang Bidang Kurikulum ini mengarahkan kepada para guru mata pelajaran agar dalam setiap memberikan pekerjaan rumah minimal 20 persen merupakan soal dengan konsep HOTS.
Hal itu dimaksudkan agar siswa yang menghadapi UN tidak kaget sebab dalam soal UN, bobot soal 20 persen itu mengacu pada HOTS. Begitu pula dalam model soal pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), persentase HOTS sangat besar.
Dalam soal UN, bobot soal 20 persen itu mengacu pada HOTS. Begitu pula dalam model soal pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN), persentase HOTS sangat besar.
Titin berpendapat, bagi para guru yang masih kesulitan dalam menguasai pembelajaran berbasis HOTS, salah satu forum yang dapat membantu adalah MGMP tingkat sekolah, maupun kabupaten/ kota.
Dalam kegiatan MGMP, para guru mata pelajaran dapat berkumpul untuk berdiskusi, apa yang menjadi kendala dalam pengajaran dapat dibahas, dan mereka dapat saling berbagi pengalaman.
Titin mencontohkan, di lingkungan SMAN 1 Sumedang, MGMP Matematika dijadwalkan setiap hari Rabu pagi karena pada saat itu sebagian besar guru setelah jam kedua longgar waktunya sehingga mereka bisa berkumpul.
“Untuk MGMP Matematika SMA Kabupaten Sumedang biasa menggelar pertemuan sebulan sekali, di antaranya membahas soal UN atau pun soal-soal berbasis HOTS,” ucap Titin.
Menemukan ide utama
Dua siswa itu kelas XII SMAN 1 Sumedang, Revaldi Kurnia (18) dan Dadang Hawari Subhan (17) merasakan manfaat pembelajaran HOTS. Mereka berhasil meraih medali emas dan perak dalam Thailand InternationalMathematical Olympiad (TIMO) 2019, yang digelar di Phuket, Thailand, tanggal 5-8 April lalu.
Revaldi dan Dadang juga memperoleh medali emas peringkat terbaik (penghargaan Best of The Best) dan peraih merit dalam Kompetisi Matematika Nalaria Realistik (KMNR) ke-14, Minggu (28/4) di Jakarta.
Sejak tahun 2018, kata Revaldi, gurunya mengajarkan model soal HOTS yang memakai logika, bukan menghafal rumus-rumus. Jadi dalam menyelesaikan soal, yang utama adalah bagaimana menemukan ide utamanya terlebih dahulu, baru menentukan cara atau rumus mana yang akan digunakan. Meski dalam materi yang sama dengan tipe soal diubah-ubah tak masalah, yang penting paham konsepnya.
Dalam menyelesaikan soal, yang utama adalah bagaimana menemukan ide utamanya terlebih dahulu, baru menentukan cara atau rumus mana yang akan digunakan.
“Saya tak kesulitan menghadapi UN, dari 2 jam waktu yang disedaiakan, seperti Matematika dalam satu jam saya sudah selesai,” kata Revaldi.
Sementara itu Dadang berpendapat, sampai saat ini masih ada guru yang mengajarkan siswa untuk menghafal rumus-rumus saja. “Guru seperti ini memaksakan rumus yang diajarkan untuk diterapkan siswa. Kalau ada siswa mempunyai cara yang lain dianggap salah,” ucap Dadang.