Perusahaan didorong berinvestasi dalam pengembangan rantai pasok untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan barang modal. Pengembangan rantai pasok bisa melalui pembinaan dan reorganisasi usaha mikro, kecil, dan menengah.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan didorong berinvestasi dalam pengembangan rantai pasok untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan barang modal. Pengembangan rantai pasok bisa melalui pembinaan dan reorganisasi usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, ukuran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia beragam, baik dari sisi manajemen inventaris, pengadaan modal kerja dan kualitas bahan baku, akses dan informasi pasar, riset dan penelitian, hingga standardisasi produk.
”Perusahaan besar dibutuhkan untuk menjembatani persoalan ukuran UMKM itu,” kata Ari saat sesi seminar ”Makro Ekonomi bagi UMKM” dalam rangka HUT Ke-39 Yayasan Dharma Bhakti Astra, Kamis (2/5/2019), di Jakarta.
Perusahaan besar, lanjut Ari, dapat melakukan reorganisasi UMKM berdasarkan ukuran dan karakteristiknya. Mereka dibina secara berkelanjutan untuk terlibat dalam rantai pasok perusahaan. Reorganisasi ini juga bisa menekan tingginya biaya produksi sekaligus mempercepat pertumbuhan UMKM.
Di Indonesia, mayoritas perusahaan berskala kecil menengah dan kecil sehingga kemampuan menanggung biaya tambahan relatif rendah. Kekosongan segmen perusahaan berskala menengah dan sedang ini menyebabkan tingginya impor bahan baku dan barang modal yang mencapai 75 persen dari total impor.
”Mayoritas UMKM masih bergerak sendiri-sendiri. Padahal, keterkaitan dengan perusahaan besar sangat penting untuk mempercepat pertumbuhan UMKM,” kata Ari.
Kekosongan segmen perusahaan berskala menengah dan sedang ini menyebabkan tingginya impor bahan baku dan barang modal yang mencapai 75 persen dari total impor.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, total UMKM saat ini berjumlah 62,93 juta atau sekitar 99 persen dari unit usaha yang ada. Usaha besar dengan omzet lebih dari Rp 50 miliar dan aset lebih dari Rp 10 miliar hanya berjumlah sekitar 5.400 unit usaha.
Ketua Pengurus Yayasan Dharma Bakti Astra Hendry C Widjaja mengatakan, materi dan metode pembinaan harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tujuannya, agar pembinaan semakin tepat sasaran dan berkelanjutan. Tren pembinaan UMKM kini bukan lagi secara perorangan, melainkan per kelompok.
”Penyesuaian itu mulai dari hanya berbasis pendampingan menjadi UKM mandiri secara individual hingga kini dalam kelompok. Kami sudah memiliki 15 kelompok UMKM yang saling terintegrasi,” kata Hendry.
Sejak berdiri 39 tahun lalu, Yayasan Dharma Bakti Astra telah membina 10.894 UMKM dengan 68.030 tenaga kerja. Pembinaan dan pendampingan itu mencakup 34 provinsi yang dibantu mitra-mitra internal Astra. Tujuannya, memperbaiki produktivitas UMKM di Indonesia.
Manfaat pembinaan
Salah satu UMKM binaan Astra, Rusli, petani di Desa Suka Damai, Bontang, Kalimantan Timur, mendapat pendampingan sistem intensifikasi padi (SRI) organik sejak 2016. Rusli beralih dari budidaya padi konvensional—dengan menggunakan bahan-bahan kimia—menjadi organik karena biaya produksi bisa lebih murah.
”Budidaya padi organik ini bisa memangkas biaya produksi hampir 80 persen dari sekitar Rp 5 juta menjadi Rp 1 juta untuk sekali panen setiap 1 hektar lahan,” kata Rusli.
Sebelum beralih ke budidaya organik, Rusli diajak mengunjungi sejumlah gabungan kelompok tani organik di beberapa wilayah. Mereka belajar cara mengolah lahan dan bahan-bahan alami yang dibutuhkan untuk membuat pupuk organik. Rusli kini membentuk komunitas petani muda di Bontang bersama 20 petani dari 4 desa.
Binaan lainnya, Asrullah, pemilik UMKM manufaktur PT Isra Presisi Indonesia, mengatakan, pendampingan dari perusahaan besar penting untuk memperoleh pengetahuan tentang perkembangan teknologi dan manajemen keuangan. Kedua hal itu sulit didapatkan oleh UMKM karena biaya yang cukup mahal.
”Saya dua kali diajak Astra ke Jepang untuk melihat perkembangan teknologi di sana, apa yang bisa diterapkan dalam negeri,” kata Asrullah.
Pendampingan dari perusahaan besar penting untuk memperoleh pengetahuan tentang perkembangan teknologi dan manajemen keuangan. Kedua hal itu sulit didapatkan oleh UMKM karena biaya yang cukup mahal.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir dalam berbagai kesempatan menekankan, kontribusi UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi mesti ditingkatkan. Produktivitas UMKM akan didorong melalui akses permodalan rendah bunga, seperti kredit usaha rakyat (KUR).
Target penyaluran KUR tahun ini sebesar Rp 140 triliun untuk sektor produksi 60 persen dan perdagangan 40 persen. Sektor produksi mencakup pertanian, perikanan, industri, konstruksi, dan jasa. Tenor KUR berkisar 3-5 tahun, tergantung dari jenis usaha dengan pembiayaan maksimal Rp 75 juta per penerima dengan bunga 7 persen.