Dengkul Bersua Dagu Saat Mendaki Sibela
Kabut pekat yang menyelimuti sebagian tubuh Gunung Sibela di Pulau Bacan membuat gugup. Di kaki gunung, tepatnya di Desa Gandasuli, tim harian Kompas bersiap mendaki gunung yang puncak tertingginya mencapai 2.118 meter di atas permukaan laut, Selasa (23/4/2019). Ransel sudah di punggung, langkah pertama pun diayunkan.
Inilah perjalanan jurnalistik tim harian Kompas untuk menyelami Hutan Sibela, sebuah cagar alam dengan luas 23.024 hektar. Kawasan ini oleh naturalis Inggris, Alfred R Wallace, dikesankan kaya akan aneka flora dan fauna, termasuk burung bidadari halmahera, satwa ikonik Maluku Utara.
Perjalanan yang dinamakan Ekspedisi Wallacea ini sebagai peringatan 150 tahun keberadaan Wallace di Nusantara. Selama di Nusantara, Wallace pernah ke Pulau Bacan yang secara administratif kini masuk wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Kompas ingin melihat keanekaragaman hayati di Sibela, termasuk membandingkan cerita Wallace pada 1,5 abad silam dengan fakta hari ini.
Kompas ingin melihat keanekaragaman hayati di Sibela, termasuk membandingkan cerita Wallace pada 1,5 abad silam dengan fakta hari ini.
Ekspedisi ini diikuti Aris Prasetyo dan Luki Aulia, wartawan Kompas yang sehari-hari bertugas di Jakarta; Bahana Patria Gupta, pewarta foto Kompas yang sehari-hari bertugas di Jawa Timur; serta Fransiskus Pati Herin, wartawan Kompas dengan wilayah liputan Maluku dan Maluku Utara. Selama ekspedisi di Sibela, tim Kompas ditemani empat pemuda dari Gandasuli.
Lepas dari permukiman Desa Gandasuli, medan jalanan dominan rata. Di sisi kiri dan kanan jalan berdiri pohon kelapa. Kelapa merupakan komoditas andalan warga setempat. Dagingnya diolah menjadi kopra.
Namun, tempat pengolahan dan kebun kelapa banyak yang tidak terurus. Sejak harga kopra anjlok hingga Rp 2.000 kilogram, petani kelapa tidak mau lagi mengolah kopra karena khawatir akan merugi.
Di ujung kebun kelapa, kami disambut tanaman pala, cokelat, dan cengkeh. Nasib tiga tanaman itu pun tidak berbeda jauh dengan kelapa. Harga jualnya terus anjlok. Beberapa petani dan warga yang ditanyai tentang kondisi harga saat ini secara tegas menyalahkan rezim.
Lewat unjuk rasa, warga berkali-kali menekan pemerintah daerah untuk menaikkan harga komoditas tersebut. Padahal, harga kini sangat bergantung pada mekanisme pasar.
Tiba-tiba saja teringat pada komentar Wakil Bupati Halmahera Selatan Iswan Hasjim yang ditemui di ruang kerjanya, Senin (22/4/2019). ”Harga komoditas itu yang bikin Pak Jokowi kalah di sini,” ujar Iswan yang merupakan kader Partai Hanura, salah satu anggota koalisi pendukung calon presiden Joko Widodo.
Tapi sudahlah, itu urusan politik. Politik memang banyak variabelnya. Lupakan dulu sejenak. Kendati demikian, melewati tanaman komoditas ini, terasa betapa beratnya perjuangan hidup mereka. Perjuangan yang tentu tak kalah beratnya dengan perjalanan kami hari itu. Melalui medan perjalanan yang tak pernah kami lalui. Namun, kini harus kami tapaki tanpa kompromi.
Tanjakan sudah menunggu di depan mata. Atur napas, lanjuuuuuutttt. Kecepatan yang semula agak kencang kini berkurang drastis. Satu langkah bahkan hanya dapat ditempuh dalam hitungan paling cepat dua detik. Bahkan, lebih.
Jika tak sanggup berdiri, badan direbahkan setelah menyingkirkan ransel. Saat raga seakan tanpa daya, ransel masih melekat di punggung pun ditindih agar tubuh bisa segera rebah. Baru kemudian atur napas, bangkit, dan lanjut lagi. Terhitung ada empat tanjakan tajam. Tanjakan yang sangat menyiksa.
Kami tak sempat menghitung berapa gradiennya. Tanjakan itu membuat dengkul seakan bersua dengan dagu. Empat pemuda Gandasuli yang sudah biasa melewatinya saja tampak ngos-ngosan. ”Berat!” ”Gila!” Begitu komentar kami.
Melihat kami seperti kehilangan semangat, mereka berusaha menghibur lewat candaan. Apalagi jika sudah muncul pertanyaan dari kami mengenai seberapa jauh lagi titik tujuan itu. Pertanyaan yang selalu diulang saat kami merasa kehilangan tenaga dan ingin menyerah.
Mereka berusaha meyakinkan bahwa titik yang dituju sudah dekat. ”Dekat” menurut versi mereka yang ternyata tidak sedekat yang kami harapkan. Untung, candaan mereka cukup menghibur. Salah satunya, ucapan ”hi, guys” dalam aksen kental Bacan yang membuat kami tak sanggup menahan tawa.
Baca juga: Nyaris Tenggelam demi Selembar Foto
Keempat pemuda itu adalah Naga, Ipul, dan Isdan yang merupakan pemuda Desa Gandasuli serta Avan dari Burung Indonesia. Mereka sudah sering menjelajahi kawasan itu. Apabila sebelumnya banyak keluarga mereka yang menjadi pemburu burung, seperti ayah Naga, kini anak-anak muda ikut menjaga Hutan Sibela. Mereka mengampanyekan gerakan menjaga Sibela dan perlindungan satwa melalui Komunitas Pelestarian Satwa Sibela.
Kelelahan berpadu canda dan tawa itu akhirnya membawa kami tiba di titik yang dituju pada pukul 18.15 WIT. Jika dihitung dari titik keberangkatan di Desa Gandasuli, kami telah menempuh perjalanan 3,9 kilometer. Jarak yang tidak terlalu jauh itu makan waktu tempuh sekitar 4 jam. Ini berarti kecepatan kami berjalan hanya 0,97 kilometer per jam!
Naga dan Ipul tersesat
Setelah tiba, keempat pemuda itu berbagi tugas. Isdan dan Avan mendirikan tenda, sementara Naga dan Ipul mengambil air. Satu jam berlalu, Naga dan Ipul belum juga kembali. Avan mencoba menelepon. Naga mengatakan, mereka tersesat dan kebingungan mencari jalan pulang.
Dalam kecemasan, kami menunggu mereka. Isdan beberapa kali menyorot cahaya senter ke atas untuk memberi tanda. Namun, lebatnya hutan membuat cahaya itu tidak tembus sempurna.
Avan terus menelepon. Dari percakapan antara Avan dan Naga, tidak tampak kecemasan ataupun kepanikan. Tidak begitu bagi tim Kompas. Kami sangat cemas. Empat jam berlalu. Sekitar pukul 22.30, tampak cahaya senter muncul dari balik pohon.
Naga dan Ipul berjalan cepat sambil menenteng jeriken air. Mereka tampak tidak masalah. Hanya kaki Naga mengalami luka robek akibat jatuh. Dalam kondisi itu, mereka masih saja bercanda, tentu dengan ucapan ”hi, guys”-nya. Tawa pun meledak.
Baca juga: Menginap di Kandang Gajah demi Menggali Fakta
Setelah menyantap mi rebus, kami beristirahat di dalam tenda. Kami tidur penuh kekhawatiran akan binatang melata, hujan, atau tertimpa ranting dan pohon. Untunglah, ketika fajar menjemput pagi, kami terbangun dalam kondisi baik-baik saja.
Pagi di tengah Hutan Sibela berteman cericit burung-burung. Suaranya berpadu, mulai dari yang merdu, kasar, malu-malu, hingga genit dan cerewet. Harmonis. Belum lagi oksigen yang melimpah masuk ke dalam paru-paru kami. Sempurna.
Pagi itu, kami berburu burung dan yakis atau kera. Bukan untuk ditangkap, melainkan diabadikan lewat ”tembakan” kamera Bahana. Kami menemukan satwa itu di dekat tempat peristirahatan hingga rute jalan pulang. Bahana berhasil mengabadikan beberapa foto satwa.
Sementara Aris, Luki, dan Fransiskus menangkap cerita Sibela lewat pengamatan dan pengalaman perjalanan. Semua kisah itu nantinya akan dihidangkan bagi sidang pembaca harian Kompas.
Sibela memberi banyak cerita indah selama kurang dari 24 jam kami berada di sana. Jalan dan tidur dalam pelukannya. Perjalanan melelahkan itu terbayar lunas. Terima kasih, semesta, telah mempertemukan kami dengan Sibela.