Puluhan Perusahaan di Wilayah III Cirebon Melanggar UMK
Di Plumbon, Cirebon, ada buruh yang dibayar Rp 30.000 per hari, dengan waktu kerja dari pagi sampai pukul 22.00.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Puluhan perusahaan di Wilayah III Cirebon, Jawa Barat, ditemukan melanggar aturan upah minimum kabupaten/kota. Namun, penindakan terkendala laporan buruh yang merahasiakan nama perusahaan karena takut dipecat.
Menurut Kepala Seksi Pengawasan Norma Kerja Unit Pengelolaan Teknis Daerah Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah III Cirebon Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Jawa Barat (Jabar) Joao De Araujo mengatakan, terdapat lebih dari 20 perusahaan yang tidak membayar buruh sesuai UMK. Perusahaan itu tersebar di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan.
”Tahun 2018, ada sekitar 50 perusahaan yang melanggar. Kasus pelanggaran UMK paling tinggi di Wilayah III Cirebon. Kasus lainnya, seperti tidak adanya jaminan sosial untuk buruh dan pemagangan,” ujar Joao setelah menerima perwakilan buruh Wilayah III Cirebon saat peringatan May Day atau Hari Buruh, Rabu (1/5/2019) di Cirebon.
Sebelumnya, ratusan buruh dari sejumlah serikat, seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya, menggelar aksi di depan kantor UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah III Cirebon di Jalan Brigjen Dharsono. Jalur pantura tersebut sempat ditutup setengah lajur untuk arah ke Jakarta dan Jawa Tengah. Polisi mengatur arus lalu lintas.
Tahun 2018, ada sekitar 50 perusahaan yang melanggar. Kasus pelanggaran UMK paling tinggi di Wilayah III Cirebon. Kasus yang terjadi, seperti tidak adanya jaminan sosial untuk buruh dan pemagangan.
Menurut Joao, kasus perusahaan yang melanggar UMK bisa bertambah. Alasannya, buruh enggan melaporkan perusahaannya karena takut dipecat. ”Kami sering menerima pengaduan buruh. Kami sudah berjanji tidak menyebut nama yang bersangkutan, tetapi mengatakan nama perusahaannya. Mereka tetap tidak mau,” ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, pihaknya telah berupaya bertindak tegas kepada perusahaan yang melanggar. Tahun lalu, misalnya, pihaknya membawa 10 perusahaan di Wilayah III Cirebon ke pengadilan karena terjerat tindak pidana ringan. Pelanggarannya antara lain tidak melakukan pemeriksaan kesehatan.
”Ada yang dapat denda Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Ini sesuai aturan. Kami juga membawa perusahaan ke kepolisian karena diduga membuat penipuan tentang pelaporan UMK,” ujarnya.
Joao mengakui, pihaknya kesulitan mengawasi pengupahan 4.698 perusahaan karena jumlah pengawas hanya 22 orang. Menurut dia, pihaknya setidaknya membutuhkan 10 pengawas lagi. Setiap bulan, pengawas dibebankan memeriksa lima perusahaan.
”Kasus pelanggaran UMK ini saya ibaratkan besi tua karat yang susah diamplas. Ini butuh waktu dan proses. Kami tidak berdiam diri,” ujarnya. Penindakan dilakukan dengan pemberian nota hingga pemanggilan perusahaan.
Rp 30.000 per hari
Sekretaris Jenderal FSPMI Cirebon Raya Moh Machbub mengakui, buruh takut melaporkan nama perusahaan yang melanggar UMK karena tidak ingin dipecat. Apalagi, tidak semua perusahaan memiliki wadah pimpinan unit kerja (PUK) serikat pekerja.
”Kami mendapatkan laporan dari buruh di enam perusahaan. Tapi, mereka takut menyebutkan nama perusahaannya. Padahal, di Plumbon, Cirebon, ada yang dibayar Rp 30.000 per hari, dengan waktu kerja dari pagi sampai pukul 22.00,” ujarnya. Artinya, buruh tersebut hanya mendapatkan sekitar Rp 750.000 per bulan.
Angka ini jauh dari UMK di Wilayah III Cirebon. Tahun ini, jumlah UMK di wilayah itu tercatat Rp 1.734.994 di Kuningan hingga tertinggi di Indramayu, yakni Rp 2.117.713. Adapun UMK berdasarkan survei kebutuhan hidup layak oleh tim independen, menurut Machbuh, lebih dari Rp 3 juta per bulan.
Kami mendapatkan laporan dari buruh di enam perusahaan. Tapi, mereka takut menyebutkan nama perusahaannya. Padahal, di Plumbon, Cirebon, ada yang dibayar Rp 30.000 per hari, dengan waktu kerja dari pagi sampai pukul 22.00.
Ia mendesak, pemerintah mengatasi masalah pembayaran di bawah UMK yang berlangsung dari tahun ke tahun. Apalagi, Wilayah III Cirebon menjadi tujuan industri. Daerah tersebut telah memiliki infrastruktur memadai, seperti Jalan Tol Cikopo-Palimanan yang menghubungkan Jakarta dan Cirebon serta Bandara Internasional Jabar Kertajati, di Majalengka.
Lahan untuk industri juga masih terbuka luas. Pemkab Cirebon, misalnya, menyiapkan 10.000 hektar untuk industri. Di sisi lain, UMK di Wilayah III Cirebon lebih kompetitif dibandingkan daerah industri seperti Karawang dan Bekasi yang mencapai lebih dari Rp 4 juta per bulan.
”Jangan sampai nanti, masalah UMK masih terulang. Kalau masih begini, kami tetap akan turun ke jalan saat May Day,” katanya.