Rapat akbar buruh di Lapangan Tenis Indoor, Senayan, Jakarta itu berlangsung semarak. Ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia itu bersorak saat Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyapa mereka. Mereka meyakini, Prabowo dapat memperjuangkan nasib mereka.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Rapat akbar buruh di Lapangan Tenis Indoor, Senayan, Jakarta, berlangsung semarak. Ribuan buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersorak saat Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyapa mereka. Mereka meyakini, Prabowo dapat memperjuangkan nasib mereka.
Sejak Rabu (1/5/2019) pagi, mereka memperjuangkan upah layak. Caranya adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Formula upah dalam aturan tersebut dinilai tak mencerminkan keadilan bagi buruh. Mereka juga menuntut penurunan tarif dasar listrik dan harga bahan pokok.
Begitu pun juga persoalan kesejahteraan guru honorer serta sistem kerja alih daya. Isu-isu itu tidak luput jadi sorotan buruh.
Suasana mulai berubah menjelang tengah hari saat orator dengan menggunakan pelantang suara meminta area sisi kanan Lapangan Tenis Indoor steril dari kumpulan orang. Pemandu acara menyatakan, Prabowo Subianto akan hadir di lokasi acara sesaat lagi.
Presiden KSPI Said Iqbal dengan berapi-api mendedahkan sejarah Hari Buruh Internasional dengan mengisahkan peristiwa pemogokan buruh AS yang dikenal dengan istilah Haymarket. Pada 1 Mei 1886, kata Iqbal berorasi dengan suara serak, sekitar 400.000 buruh berdemonstrasi.
Mereka menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Sisanya digunakan untuk rekreasi dan istirahat. ”Waktu itu, buruh tekstil bekerja 16 jam, bahkan buruh tambang bisa bekerja hingga 20 jam,” kata Iqbal.
Tulang punggung perekonomian
Sekitar pukul 12.00, Prabowo mendatangi lokasi acara. Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan bahwa buruh, petani, dan nelayan merupakan tulang ekonomi nasional. Mereka menghasil produk yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
”Kalian mengeluarkan tenaga keringat dan energimu untuk hidupkan keluargamu tiap hari. Karena itu kau pantas kita sebut tulang punggung bangsa Indonesia,” ujarnya, disambut tepuk tangan peserta aksi.
Analis Indonesia Labor Institute Rekson Silaban berpendapat, serikat buruh di dunia internasional memang sudah terbiasa ikut terlibat dalam proses demokrasi. ”Serikat buruh menyatakan dukungan tidak masalah, tetapi kalau dukungan kita kalah, misalnya, kita tidak bisa serta-merta mempertanyakan mekanisme demokrasi,” katanya.
Rekson menilai, jika pola semacam ini terus dipertahankan, serikat buruh di Indonesia akan terancam kehilangan reputasi. Lama kelamaan, anggota serikat akan mempertanyakan apakah serikat berjuang untuk buruh atau justru untuk kekuasaan. ”Kalau sudah kehilangan reputasi, serikat buruh akan kehilangan kepercayaan dan kehilangan anggota,” katanya.
Sehari sebelumnya, Rekson menulis artikel berjudul ”Merenungkan Ulang Makna Serikat Buruh”. Artikel yang tayang di Opini Kompas itu membedakan karakter serikat buruh di Indonesia dengan serikat buruh di Eropa dan Amerika.
Dalam dua pemilu terakhir, serikat buruh di Indonesia terang-terangan mendukung partai tertentu dan terlibat kampanye resmi. Menurut Rekson, serikat buruh membela diri dengan mengatakan bahwa fenomena itu juga terjadi di Eropa dan AS.
Padahal, kata Rekson, ada perbedaan yang jelas antara Indonesia dan mereka. Serikat buruh di Eropa dan Amerika cenderung berpihak kepada partai politik yang sejalan dengan garis perjuangan mereka. Serikat buruh di Inggris dekat dengan Partai Buruh Inggris, begitu juga dengan DGB Jerman ke Partai SPD, atau kedekatan AFL-CIO ke Partai Demokrat AS.