Peserta Jamsos Ketenagakerjaan di NTT Terendah Nasional
Jumlah peserta jaminan sosial ketenagakerjaan di Nusa Tenggara Timur terendah secara nasional hanya sekitar 5 persen dari total seluruh pekerja di provinsi itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ilustrasi — Pekerja Konstruksi
KUPANG, KOMPAS — Jumlah peserta jaminan sosial ketenagakerjaan di Nusa Tenggara Timur terendah secara nasional, yakni hanya 5 persen dari total seluruh pekerja di provinsi itu. Kesadaran pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya dalam program itu masih rendah.
Hal itu terungkap dalam dialog Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Cabang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT, pimpinan organisasi buruh se-NTT, dan pemerhati masalah ketenagakerjaan, di Kupang, Rabu (1/5/2019).
Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang NTT Rita Damayanti mengatakan, masalah ketenagakerjaan di NTT sangat rumit. ”Peserta BPJS Ketenagakerjaan di NTT hanya 5 persen dari total 72.876 pekerja atau sekitar 3.644 orang. Ini sangat disayangkan. Padahal, iuran BPJS Ketenagakerjaan hanya Rp 16.800 per bulan per karyawan. Perusahaan tidak mau bertanggung jawab atas keselamatan dan risiko kecelakaan kerja karyawan saat bekerja,” katanya.
Data itu menunjukkan, terdapat 69.232 karyawan di sektor formal, swasta, dan organisasi perangkat daerah (OPD) di NTT yang tidak terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, sesuai Instruksi Gubernur NTT, lima kategori pekerja wajib terlindungi, yakni pekerja formal, pekerja informal, pekerja non-PNS (tenaga honorer), pekerja aparat desa, dan pekerja jasa konstruksi.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Suasana dialog ketenagakerjaan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (1/5/2019). Dialog itu diikuti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Cabang NTT, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT, pimpinan organisasi buruh se-NTT, dan pemerhati masalah ketenagakerjaan.
Mengenai tenaga non-PNS, jumlah mereka mencapai ribuan orang. Namun, baru lima kabupaten/kota di NTT yang telah memberikan perlindungan ketenagakerjaan bagi tenaga honorer, yakni Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Sementara itu, 17 kabupaten lainnya belum melindungi pekerja non-PNS ini. Rita pun berharap kepesertaan mereka dapat diakomodasi dalam APBD Perubahan tahun ini. Sudah 10 tenaga kerja honorer yang mengalami kecelakaan atau meninggal saat bekerja, tapi tidak mendapatkan santunan karena tak terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTT Sesilia Sona mengatakan, pada peringatan Hari Buruh Internasional kali ini, pihaknya menyediakan posko pengaduan bagi para buruh. Aspirasi itu ditampung untuk disampaikan kepada pihak berwenang.
Jumlah perusahaan di NTT sebanyak 6.192, terdiri dari 5.577 perusahaan kecil, 494 perusahaan sedang, dan 121 perusahaan besar. Adapun jumlah pekerja sebanyak 72.876 orang, termasuk tenaga honorer di setiap OPD di NTT.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT Sesilia Sona
”Pengawas dari instansi pemerintah yang mengawasi perusahaan dan tenaga kerja hanya 13 orang. Bayangkan, bagaimana mereka bisa mengawasi semua perusahaan ini. Jumlah 13 pengawas ini pun sebagian besar berada di Disnakertrans Provinsi, sementara di kabupaten/kota sangat terbatas. Bahkan, di daratan Flores dengan sembilan kabupaten tidak ada pengawas ketenagakerjaan sama sekali,” kata Sona.
Sona menjelaskan, idealnya, satu pengawas melakukan pengawasan terhadap lima perusahaan. Perekrutan tenaga pengawas sudah dibuka, tetapi tidak ada yang berminat. Kendala lain, kondisi geografis NTT dengan 1.192 pulau membutuhkan anggaran yang tidak sedikit guna melakukan kegiatan pengawasan ini.
”Kasus ketenagakerjaan yang dilaporkan ke Disnakertrans NTT selama 2018 sebanyak 74 kasus. Sebanyak 18 kasus diselesaikan di pengadilan, 42 kasus diselesaikan lewat kesepakatan bersama, 6 kasus diselesaikan melalui anjuran-anjuran, dan 8 kasus melalui mediasi,” ujar Sona.
Sebagian besar kasus berupa pembayaran upah yang tidak sesuai perjanjian. ”UMP (upah minimum provinsi) seharusnya Rp 1.785.000, tetapi banyak perusahaan membayar jauh di bawah angka itu, terutama kepada karyawan baru. Karyawan yang sudah bekerja di atas 1 tahun dibayar mendekati UMP,” katanya.