Pengupahan, Jaminan Sosial, dan Tata Kelola Serikat Buruh Jadi Isu Refleksi
Ada tiga isu penting mewarnai refleksi Hari Buruh Internasional di Indonesia, yakni pengupahan, pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan tata kelola serikat buruh ataupun pekerja. Ketiga isu ini dinilai perlu jadi perhatian bersama tenaga kerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ada tiga isu penting mewarnai refleksi Hari Buruh Internasional di Indonesia, yakni pengupahan, pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan tata kelola serikat buruh ataupun pekerja. Ketiga isu ini dinilai perlu jadi perhatian bersama tenaga kerja.
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, di Jakarta, Rabu (1/5/2019), mengatakan, isu pengupahan berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP ini, upah minimum ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebut upah minimum ditetapkan dengan mekanisme tripartit.
Soal jaminan sosial ketenagakerjaan, banyak tenaga kerja rentan belum menjadi peserta program. Menurut Rekson, kalangan internasional juga mengingatkan agar serikat buruh semakin kuat, baik dari sisi representasi, independensi, maupun tata kelola organisasi yang demokratis.
”Jumlah buruh Indonesia yang bergabung di serikat sedikit. Ini disebabkan strategi pengorganisasian serikat kurang kuat dan peran industri sektor industri manufaktur semakin tergantikan oleh jasa. Selama ini buruh industri manufaktur menjadi penyumbang utama keanggotaan serikat,” ujarnya.
Independensi serikat buruh di Indonesia sedang bermasalah. Rekson mengamati, beberapa serikat secara terang-terangan mengatakan keberpihakannya terhadap partai politik tertentu.
Pengupahan dan jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan isu utama.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyebut, masih ada sejumlah masalah ketenagakerjaan yang tidak kunjung selesai. Sebagai contoh, nasib pekerja alih daya, perselisihan hubungan industrial marak, dan rendahnya mutu kinerja pengawas ketenagakerjaan.
Meski demikian, pengupahan dan jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan isu utama. Letak masalah pengupahan ada di PP Nomor 78 Tahun 2015 Pasal 44 dan 45. Kedua pasal ini mengatur formula perhitungan, penetapan upah minimum, dan peninjauan kebutuhan hidup layak. Dua pasal itu dianggap menutup fungsi serikat pekerja atau buruh dan dewan pengupahan untuk berunding serta merumuskan kenaikan upah minimum.
Di sisi regulasi, Pasal 44 yang menyebut adanya formula perhitungan upah minimum tidak sejalan dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
”Selama tiga tahun terakhir, besaran kenaikan upah minimum relatif sama di seluruh provinsi tanpa mempertimbangkan keadaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Akibatnya adalah lahir kesenjangan nominal upah minimum antar provinsi,” ujarnya.
Menurut Timboel, setiap tahun jaminan sosial ketenagakerjaan menghasilkan investasi yang besar. Sebagai gambaran, hasil investasi jaminan sosial ketenagakerjaan tahun 2018 sebesar Rp 27 triliun dan ditargetkan naik menjadi Rp 36 triliun pada 2019. Apabila perolehan itu dapat dimaksimalkan mendukung kehidupan sehari-hari tenaga kerja, kesejahteraan mereka yang hanya menerima upah minimum tidak lagi bermasalah.
Dia mengakui bahwa jumlah pekerja dan buruh yang ikut berserikat semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh perpecahan kalangan elite serikat pekerja dan serikat buruh. Beberapa elite bahkan mengalami ketumpulan ide yang membangun.
Perubahan pasar
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri memandang ada empat isu yang mewarnai pasar tenaga kerja Indonesia sekarang. Isu pertama mengenai ekosistem ketenagakerjaan yang memerlukan transformasi, mulai dari produktivitas pekerja hingga hubungan industrial agar lebih relevan dengan perubahan zaman.
Isu kedua berkaitan dengan pertama. Semua angkatan kerja seharusnya memperoleh pembelajaran ketrampilan secara berkelanjutan. Keterampilan dan kompetensi adalah mata uang masa depan bagi pekerja. Program pelatihan kerja perlu diperbanyak sehingga berdampak pada peningkatan produktivitas.
Untuk isu ketiga, Hanif mengatakan, pasar tenaga kerja semakin fleksibel karena dipengaruhi disrupsi teknologi. Negara harus hadir memberikan perlindungan yang salah satunya berwujud jaminan sosial bagi seluruh profesi pekerja.
Sementara untuk isu terakhir, dia mengamati angkatan kerja usia muda sekarang tidak melulu mencari lowongan pekerjaan. Sebaliknya, sejumlah angkatan kerja muda memilih menciptakan lapangan kerja melalui berbagai macam kreativitas dan inovasi bisnis.
”Bonus demografi, disrupsi teknologi, industri 4.0, dan pasar tenaga kerja yang fleksibel perlu direspons secara sinergis dan kolaboratif oleh pemerintah, serikat pekerja, dunia usaha dan masyarakat secara umum,” katanya.
Hanif menyambut positif perayaan peringatan Hari Buruh Internasional 2019 yang berlangsung tertib dan aman di beberapa kabupaten/kota.
”May Day 2019 merupakan momentum yang pas merespons perubahan dan memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan,” kata Hanif.
Hanif menambahkan, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. Soal pengupahan, misalnya, kenaikan upah dijamin naik setiap tahunnya. Selain itu, program perluasan manfaat jaminan sosial bagi pekerja formal dan informal.