Pala organik dari Maluku untuk pertama kalinya diekspor ke Belanda, Uni Emirat Arab, dan India dengan nilai mencapai Rp 24 miliar.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pala organik dari Maluku untuk pertama kalinya diekspor ke Belanda, Uni Emirat Arab, dan India dengan nilai mencapai Rp 24 miliar. Pengiriman ini menghidupkan kembali harapan di tengah situasi perdagangan rempah-rempah yang belakangan redup. Momentum ini mendorong rempah dari daerah berjuluk ”Kepulauan Rempah” itu untuk kembali bersaing di pasar global.
”Jika dirinci, nilai untuk biji pala Rp 11,4 miliar dan fuli (bunga pala) 12,6 miliar,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono dalam keterangan pers yang diterima Kompas, Rabu (1/5/2019). Adapun pelepasan ekspor dilakukan pada Selasa (30/4/2019).
Ekspor ini menjadi momentum untuk membangkitkan kembali kejayaan rempah di Maluku. Maluku dan Maluku Utara dijuluki sebagai ”Kepulauan Rempah”. Kekayaan sumber daya alam itulah yang memancing kehadiran imperialisme di Indonesia. Negara pemburu rempah dari Eropa datang ke Indonesia pada awal abad ke-16 dengan tujuan mencari pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku.
Menurut Kasdi, saat ini, permintaan sejumlah negara terhadap komoditas pala dari Indonesia sangat tinggi. Pemerintah terus mendampingi petani agar dapat menjaga kualitas produksi. Kualitas sangat ditentukan oleh ketersediaan benih yang bermutu, perawatan yang teratur, hingga pengelolaan pascapanen yang tepat.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar produksi pala terus meningkat lewat penyediaan bibit dan pupuk organik. ”Produktivitas saat ini hanya 0,4 ton per hektar. Kita akan membuat bibit unggul dengan produktivitas 1,2 ton per hektar,” ujarnya.
Selama enam tahun mendatang, pemerintah akan menyediakan benih unggul komoditas bermutu sebanyak 500 juta batang, termasuk pala.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Pertanian, pada 2017, luas lahan perkebunan pala di Indonesia mencapai 196.983 hektar dengan jumlah produksi 32.805 ton. Perkebunan pala itu tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Ketua Dewan Rempah Maluku Djalaludin Salampessy mengatakan, ekspor perdana tersebut menjadi angin segar bagi petani pala di Maluku. Belakangan ini, petani hilang harapan lantaran harga biji pala yang terus merosot hingga di bawah Rp 50.000 per kilogram. Banyak petani yang beralih menjadi buruh serabutan dan membiarkan kebun pala terbengkalai.
Djalaludin menjelaskan, pala organik yang diekspor itu berasal dari enam desa. Ia berharap agar pendampingan serupa juga dapat dilakukan di desa-desa lain sehingga semakin banyak petani yang menikmatinya. Jika masih mengalami keterbatasan sumber daya, pemerintah dapat melibatkan pihak lain untuk bersama mendampingi petani.
”Harga pala dalam negeri sangat murah. Ekspor semacam ini memberi harapan baru,” ujarnya.
Menurut dia, tantangan terberat yang akan dihadapi adalah perubahan iklim. Curah hujan tak menentu menyebabkan produksi pala ataupun komoditas rempah lainnya ikut anjlok. Para akademisi pun diharapkan dapat menemukan solusi atas kondisi ini lewat penelitian guna mendapatkan benih yang terbaik dan cocok dengan iklim sekarang.
Harga pala sangat murah. Kalau tidak ada jaminan harga, sama saja. Petani kerja capek, tapi tidak ada hasilnya.
Berdasarkan pantauan Kompas di sejumlah wilayah di Maluku belakangan ini, animo petani untuk menanam pala sangat minim. Padahal, banyak bantuan anakan dari berbagai pihak. Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, misalnya, menyediakan anakan gratis.
”Harga pala sangat murah. Kalau tidak ada jaminan harga, sama saja. Petani kerja capek, tapi tidak ada hasilnya,” ujar Carlos Titahena, tokoh agama di Pulau Seram.