Sejumlah elemen buruh yang menyampaikan aspirasi di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, menuntut pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Aturan itu dinilai menghilangkan hak buruh untuk terlibat dalam penentuan upah layak.
Oleh
Stefanus ato/Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen buruh yang menyampaikan aspirasi di kawasan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, menuntut pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Aturan itu dinilai menghilangkan hak buruh untuk terlibat dalam penentuan upah layak.
Beberapa dari serikat buruh yang menyampaikan pendapat pada Rabu (1/5/2019) itu berasal dari Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN), dan Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia. Mereka mulai memadati jalanan sekitar Monumen Nasional pukul 09.00 sambil membawa bendera perserikatan dan spanduk.
Derap langkah massa itu bergerak dari Monas menuju Istana Merdeka, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Barikade polisi yang dilindungi pagar kawat berduri menahan para demonstran.
Kepalan tangan massa mengudara, suara orator lantang bergema, diikuti peserta lainnya. Mereka ingin aspirasinya didengar langsung Presiden Republik Indonesia. Massa yang tak bisa mendekati Istana Merdeka itu akhirnya kembali ke sekitar kawasan Monas dan berorasi mengelilingi Patung Air Mancur Arjuna Wijaya.
Mereka mengibarkan spanduk berisi tulisan cabut PP 78 Tahun 2015, tolak upah murah, hapus buruh magang, buruh kontrak, dan tolak pemutusan hubungan kerja sepihak. Ada juga tuntutan agar semua buruh mendapatkan layananan kesehatan melalui BPJS tanpa iuran karena dinilai memberatkan.
Ketua Umum GSBI Rudi HB Daman mengatakan, tuntutan buruh masih sama seperti tuntutan tahun sebelumnya, yaitu meminta pemerintah segera mencabut PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Regulasi itu merampas hak buruh untuk mendapatkan upah layak.
”PP 78 Tahun 2015 menghilangkan peranan serikat pekerja di dalam menentukan upah minimum. Kalau dulu, untuk menentukan upah minimum, itu melalui banyak survei yang dilakukan Dewan Pengupahan setiap tahun,” ujarnya.
Langkah untuk menentukan upah sebelum terbit PP 78 Tahun 2015 juga dirundingkan bersama antara pemerintah, serikat buruh, dan pengusaha. Hal itu berbeda dengan saat ini, yaitu upah minimum ditentukan sendiri oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan.
Rudi mengatakan, meski ada kenaikan upah minimum pada 2019 sebesar 8,03 persen, angka itu belum menjawab kesejahteraan buruh. ”Di Jakarta saja, kebutuhan minimum rata-rata buruh yang telah berkeluarga dan memiliki satu anak itu Rp 7,3 juta. UMP Jakarta yang hanya Rp 3,9 juta sangat tidak cukup untuk buruh,” ucapnya.
Hapus tenaga alih daya
Koordinator Front Perjuangan Rakyat Bekasi Raya Supriyanto, dalam orasinya, mendesak pemerintah menghapus sistem tenaga kerja kontrak, magang, dan tenaga alih daya. Sistem itu tidak memberikan jaminan bagi buruh mendapatkan layanan kesehatan, perlindungan kecelakaan kerja, tunjangan hari raya, hak memperoleh pembatasan waktu kerja, hak untuk libur, serta hak mendapatkan cuti.
”Tenaga alih daya, tenaga kerja kontrak, dan tenaga kerja magang menghilangkan kepastian kerja. Mereka tidak mungkin bisa mendapatkan upah layak jika status kerja mereka tidak jelas,” ujarnya.
Ketua Pengurus Serikat Pekerja Nasional Tingkat Perusahaan Kabupaten Tangerang Joko Wintolo meminta pemerintah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Kenaikan harga bahan pokok yang terjadi selama ini tidak diimbangi dengan pengupahan yang layak bagi buruh.
Sementara itu, koordinator karyawan mogok kerja PT Freeport, Jerry Jarangga, mengatakan, peringatan Hari Buruh Internasional secara khusus ingin menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo atas mogok kerja yang berujung pemutusan hubungan kerja kepada 8.300 karyawan Freeport.
”Banyak karyawan dan komisaris PT Freeport yang diputus kontrak kerjanya pada 2017. Selain itu, ada juga karyawan yang gajinya belum dibayarkan hingga hari ini,” kata Jerry.
Jerry mengatakan, pihaknya ingin bertemu Presiden Jokowi karena Presiden pernah berjanji pada 13 Februari 2019 untuk mengembalikan hak dari 8.300 karyawan yang dipecat. Pemecatan itu berdampak pada pemutusan layanan BPJS dan menyebabkan 41 pekerja yang sakit tidak bisa berobat dan meninggal.