Ibu Kota Pindah, Kebutuhan Biaya Bisa Capai Rp 466 Triliun
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan dua skenario pembiayaan terkait rencana pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa. Pembiayaan diupayakan tidak membebani APBN dengan melibatkan peran swasta dan badan usaha milik negara.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro, Selasa (30/4/2019), di Jakarta, mengatakan, estimasi biaya untuk pemindahan ibu kota negara sudah dihitung kendati lokasinya belum diputuskan. Ibu kota baru akan menjadi pusat pemerintahan sehingga skenario kebutuhan biaya berdasarkan jumlah aparatur sipil negara (ASN).
Skenario pertama membutuhkan biaya Rp 466 triliun dengan asumsi jumlah ASN yang bertugas sebanyak 195.000 orang. Adapun skenario kedua membutuhkan Rp 323 triliun dengan asumsi 111.000 ASN yang bertugas.
Pemindahan hanya pada fungsi pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif, parlemen (MPR/DPR/DPD), yudikatif (kehakiman, kejaksaan, MK), pertahanan dan keamanan (TNI, Polri), serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.
”Salah satu aspek yang bisa dilakukan ketika pindah ke pusat pemerintahan baru adalah mengubah ukuran jumlah ASN di tingkat pemerintah pusat,” kata Bambang dalam konferensi pers pembahasan rencana pemindahan ibu kota negara, di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Skenario pertama membutuhkan biaya Rp 466 triliun dengan asumsi jumlah ASN yang bertugas sebanyak 195.000 orang. Adapun skenario kedua membutuhkan Rp 323 triliun dengan asumsi 111.000 ASN yang bertugas.
Bambang menekankan, ibu kota baru didesain bukan untuk menandingi Jakarta. Pusat ekonomi dan bisnis, seperti jasa keuangan, perdagangan, dan industri, tetap di Jakarta. Kantor pusat Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal tidak pindah ke luar Jawa.
Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke wilayah lain, kemarin, dibahas serius dalam rapat terbatas (ratas) yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Inilah ratas yang keempat khusus membahas persiapan pemindahan ibu kota negara.
Meskipun prinsip pemindahan sudah disetujui dalam ratas, pemindahan ibu kota tak akan menghentikan pembangunan masif di Jakarta dan sekitarnya. Pemindahannya lewat kajian mendalam sehingga butuh waktu panjang untuk secara resmi memindahkan ibu kota negara.
Rencana pemindahan ibu kota ini sudah dibahas sejak era presiden pertama RI, Soekarno, pada 1957, Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Presiden Jokowi, sejak 2017.
Pembiayaan kreatif
Bambang menyebutkan, biaya pemindahan ibu kota diupayakan tidak membebani APBN. Pada tahap awal, porsi pembiayaan dari pemerintah dan swasta masing-masing 50 persen. Porsi pemerintah akan dikurangi secara bertahap melalui skema pembiayaan kreatif yang melibatkan peran swasta dan BUMN.
”Anggaran pemerintah hanya untuk infrastruktur dasar yang tidak mungkin dikerjakan pihak swasta ataupun BUMN. Target pembangunan 5-10 tahun,” ujar Bambang.
Selain melibatkan swasta dan BUMN, lanjut Bambang, porsi pembiayaan dari pemerintah bisa dikurangi dengan strategi pengelolaan aset. Berbagai aset pemerintah yang tidak digunakan di Jakarta bisa disewakan untuk menambah pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Sumber pendapatan itu untuk membangun gedung di lokasi ibu kota baru.
Meski demikian, rencana pemindahan ibu kota ini membutuhkan proses politik yang panjang. Pemerintah harus mengubah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Ada proses politik sehingga pemerintah harus berkonsultasi dengan DPR,” lanjut Bambang.
Dihubungi terpisah, peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, pemindahan ibu kota negara mesti diikuti pembangunan pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa. Tujuannya, agar kebijakan pemerataan ekonomi bisa terealisasi kendati denyut pertumbuhan ekonomi masih di Jawa.
”Yang paling penting adalah pengembangan jalur distribusi logistik, baik di laut maupun udara. Konektivitas adalah pintu menuju pemerataan ekonomi,” ujar Rusli.
Menurut Rusli, pemindahan ibu kota ke luar Jawa akan bermanfaat untuk keamanan maritim dan akses perdagangan internasional. Pemerintah bisa lebih fokus membuka jalur perdagangan dan memperbaiki industri. Ketergantungan pada komoditas mentah bisa benar-benar dikurangi dengan penciptaan nilai tambah.
Dalam pengantar ratas tentang pemindahan ibu kota di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin, Presiden juga menegaskan, diperlukan cara berpikir jangka panjang dan berlingkup luas dalam membahas rencana pemindahan ibu kota. Pertimbangan utama pun harus kepentingan bangsa dan negara dalam menyongsong kompetisi global.