Pembangunan jalan tol tetap menjadi prioritas pemerintah. Namun, badan usaha jalan tol membutuhkan kepastian, terutama terkait investasi, proses perjanjian, dan pembangunan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan jalan tol tetap menjadi prioritas pemerintah untuk mendukung konektivitas dan pengembangan wilayah. Meski demikian, badan usaha membutuhkan kepastian, terutama terkait investasi, proses perjanjian, dan pembangunan.
Rapat Koordinasi Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) di Jakarta, Senin (29/4/2019), antara lain membahas hal itu. Dalam forum tersebut, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan, pembangunan infrastruktur, termasuk jalan tol, tetap menjadi prioritas pemerintah.
”Dalam RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2020, belanja modal untuk infrastruktur harus ditingkatkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6 persen,” kata Basuki.
Hingga kini, panjang jalan tol yang telah beroperasi mencapai sekitar 1.000 kilometer dari target 1.852 km jalan tol terbangun sampai akhir 2019. Salah satu pencapaiannya adalah beroperasinya Jalan Tol Jakarta-Surabaya yang akan diuji keandalannya sebagai jalur mudik dan balik pada Lebaran tahun ini.
Terkait lahan, Basuki akan menemui Direktur Utama Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) untuk memastikan penggantian dana talangan telah diserahkan kepada badan usaha jalan tol. Sebab, dana tersebut akan digunakan kembali untuk membangun jalan tol.
Berdasarkan data LMAN, khusus untuk 2018, dari anggaran Rp 18 triliun, jumlah dana yang telah ditagihkan mencapai Rp 700 miliar dengan yang telah dibayarkan LMAN mencapai Rp 636 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) Desi Arryani berpendapat, pembangunan jalan tol yang masif menimbulkan tantangan. ”Badan usaha jalan tol menghadapi tantangan pendanaan, yaitu kebutuhan investasi yang besar. Tantangan teknisnya, (badan usaha) pasti menghadapi masalah pembebasan lahan,” ujarnya.
Menurut Direktur Utama PT Waskita Toll Road Herwidiakto, secara umum kebutuhan badan usaha jalan tol saat ini adalah kepastian waktu dalam proses addendum perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) karena perubahan lingkup dalam proses pembangunan. Dalam proses konstruksi biasanya muncul permintaan seperti pembangunan jalan layang atau jembatan penyeberangan orang dari pemerintah daerah yang berbeda dari desain awal.
Kepastian waktu addendum PPJT dinilai penting karena perubahan lingkup itu terkait proses pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan. Kini koridor waktunya dianggap kurang jelas. ”Misalnya mau memberi jawaban kepada peminjam sebulan atau dua bulan lagi dianggap tidak jelas,” ujarnya.
Selain itu, proses penggantian dana talangan diharapkan lebih cepat. Sampai saat ini, sekitar Rp 6,5 triliun talangan PT Waskita Toll Road belum diganti LMAN.