6 Negara Perkuat Perlindungan Segitiga Terumbu Karang
Pemutakhiran dan penyempurnaan target kerja sama multilateral diperlukan untuk memperkuat perlindungan area segitiga terumbu karang dan ekosistem bahari di perairan Pasifik barat dan Samudra Hindia.
Oleh
KRSITIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemutakhiran dan penyempurnaan target kerja sama multilateral diperlukan untuk memperkuat perlindungan area segitiga terumbu karang dan ekosistem bahari di perairan Pasifik barat dan Samudra Hindia. Hal ini dapat dicapai dengan menyepakati sistem pengawasan serta berbagi data lintas batas negara.
Ide ini terungkap dalam pertemuan enam negara anggota Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (30/4/2019). Keenam negara tersebut adalah Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Niugini, dan Kepulauan Solomon.
Pertemuan ini bertujuan memperbarui rencana aksi regional (regional plan of action/RPOA) 10 tahunan untuk menjaga sumber daya bahari dan pesisir. RPOA pertama CTI-CFF dibuat pada 2009 di Manado setelah CTI-CFF dibentuk atas inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya menjaga sumber daya laut dan pesisir menjadi dasar mempertahankan keanekaragaman hayati laut serta ketahanan pangan.
Direktur Eksekutif Interim CTI-CFF Hendra Yusran Siry mengatakan, RPOA pertama telah berujung pada penguatan kerja sama antarnegara di area segitiga terumbu karang. Berkembang pula sistem manajemen perikanan yang berbasis pada perlindungan ekosistem. Setiap negara menerjemahkan RPOA ke rencana aksi nasional (national plan of action/NPOA).
”Misalnya, di Bitung, Sulut, kami mendorong KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk menerapkan Electronic Catch Data and Traceability atau ECDT untuk mendeteksi ikan ditangkap di mana dan menggunakan alat apa. Ini dapat memastikan tangkapan ikan dari Indonesia ramah lingkungan demi menguatkan usaha,” tutur Hendra.
Ia berharap, pertemuan ini dapat menghasilkan RPOA 2.0 yang lebih efisien untuk mengamankan ekosistem perairan di segitiga terumbu karang. Laut Sulu Sulawesi, Bismarck Solomon, dan Sunda Kecil menjadi prioritas kawasan.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi mengatakan, pusat segitiga terumbu karang berada di daerah Sulut. Indonesia juga merupakan negara anggota terbesar. Dari wilayah bahari terlindungi (marine protected area/MPA) seluas 217.176 km persegi di kawasan, Indonesia memiliki MPA seluas 181.848 km persegi.
Oleh karena itu, kerja sama multilateral enam negara dapat meringankan beban Indonesia dalam menjaga sumber daya bahari. ”Ancaman seperti sampah plastik, pengurangan jumlah ikan, dan perubahan iklim bisa kita atasi bersama. Diperlukan RPOA baru yang memuat agenda prioritas setiap negara,” kata Andi.
Sistem pengawasan dan evaluasi pencapaian target RPOA 2.0 perlu disepakati untuk memastikan kepatuhan negara. Adapun pusat data regional yang disebut Coral Triangle Atlas juga perlu dibentuk demi pengambilan kebijakan regional dan nasional yang lebih akurat.
Perwakilan dari Kepulauan Solomon, Alick Misibini, mengatakan, RPOA 2.0 harus membantu negara anggota menghadapi tantangan baru dalam mempertahankan ekosistem laut. Beberapa tantangan baru tersebut antara lain polusi dari darat, perubahan iklim, serta pengembangan sumber daya bahari dan pesisir secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Sekitar 600 jenis atau 76 persen dari seluruh spesies terumbu karang di dunia hidup di perairan keenam negara anggota CTI-CFF itu, termasuk 15 spesies endemik kawasan. Terumbu karang tersebut juga menjadi tempat tinggal 2.500 atau 37 persen spesies ikan koral. Berbagai mamalia laut dan kura-kura juga hidup di area ini.
Adapun 364 orang juta orang yang tinggal di area segitiga terumbu karang bergantung pada sumber daya bahari.
Beragam tantangan
Sementara itu, setiap negara menghadapi tantangan yang berbeda-beda. Perwakilan Filipina, misalnya, menyatakan, manajemen data perikanan belum maksimal sehingga diperlukan pembuatan data bersama. Di samping itu, kementerian lain dan masyarakat Filipina belum banyak yang mengetahui CTI-CFF.
Adapun delegasi Kepulauan Solomon menghadapi populasi yang semakin besar. Di samping itu, kemampuan teknis tentang perikanan dan konservasi sumber daya bahari masih rendah. Timor Leste menghadapi masalah serupa.
Delegasi Malaysia dari Kementerian Energi, Ilmu Pengetahuan, Lingkungan, dan Perubahan Iklim (Mestecc) Husni Alhan mengatakan, pihaknya akan memperbarui undang-undang perlindungan lingkungan Malaysia.
”Saat ini, undang-undang yang berlaku dibuat pada 1974. Saat itu, belum banyak masalah lingkungan seperti sekarang,” ucapnya.
Malaysia juga mendorong pengurangan sampah plastik. Mestecc tengah menyusun peta jalan pengurangan plastik hingga 2030.
Di lain pihak, Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw mendukung CTI-CFF. Ia juga telah mendorong pengurangan polusi plastik di perairan utara Sulawesi.
”Sampah plastik di Teluk Manado hanya 1 persen dari semua sampah di laut utara Jawa. Kami juga sudah mendorong kabupaten dan kota untuk memiliki kebijakan pengurangan plastik. Saat ini, baru tiga dari 15 kota kabupaten yang sudah memulai, yaitu Bitung, Minahasa Tenggara, dan Minahasa Selatan,” tuturnya.