TALIWANG, KOMPAS —Empat edisi Kompas Tambora Challenge-Lintas Sumbawa 320K menghadirkan beragam cerita. Ada juara 2015, Alan Maulana, yang mampu finis meski berhalusinasi hingga kisah Eni Rosita yang berlari meski menderita luka bakar. Kisah perjuangan dan penaklukan diri seperti itu diharapkan kian menarik pada edisi kelima tahun ini.
Setelah sukses pada empat edisi itu, lomba lari terekstrem di Asia Tenggara, Lintas Sumbawa 320K, akan kembali digelar pada 1-4 Mei 2019. Lomba tahun ini berpotensi diwarnai kisah yang tak kalah heroik, apalagi ini menjadi debut bagi lebih dari separuh peserta.
Lomba ultramaraton Kompas Tambora Challenge 2019, seperti empat edisi sebelumnya, menempuh jarak 320 kilometer (km) atau 200 mil. Lomba pertama kali digelar pada 2015, bertepatan dengan peringatan 200 tahun letusan mahadahsyat Gunung Tambora. Para peserta akan start di Pototano, Sumbawa Barat, dan finis di Doro Ncanga, kaki Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Hingga Minggu (28/4/2019), terdata 60 persen dari 56 peserta merupakan wajah baru. Banyaknya peserta baru membuat lomba lebih menarik karena akan menghadirkan kisah dan persaingan lebih segar. Wajah-wajah baru akan bersaing dengan Alan, pelari yang memenangi lomba dalam keadaan berhalusinasi. Dia sempat tak tahu tujuannya berlari dari pertengahan lomba hingga finis.
Di kelompok putri, peserta akan menghadapi kehebatan juara bertahan dua tahun beruntun, Eni. Saat juara pada perhelatan pertama, Eni sedang dalam pemulihan luka bakar akibat siraman air keras beberapa bulan sebelum lomba.
Salah satu peserta baru, Erry Permana (53), mengatakan sedikit grogi jelang Kompas Tambora Challenge perdananya. Namun, dia antusias menghadapi tantangan berat itu. ”Cukup bikin deg-degan. Padahal, saya sudah sering ikut charity run ultra 150K,” kata peserta yang masuk kategori relay atau lari berdua untuk 320 km.
Pelari asal Bandung itu telah mempersiapkan diri dengan menabung waktu istirahat dan mengonsumsi makanan bernutrisi. Dia rutin berlari lima kali seminggu dengan jarak 10-15 km dan berlari jarak jauh 21-30 km pada hari libur. Latihan itu dilakukan dalam kondisi panas ataupun hujan.
Batasan waktu
Tantangan lomba kali ini amat berat. Peserta individu harus finis dalam waktu 68 jam atau berkurang 4 jam dari batasan waktu edisi sebelumnya. Untuk relay, batas waktunya 64 jam, juga berkurang 4 jam dari sebelumnya.
Selain itu, para pelari harus berhadapan dengan perubahan cuaca ekstrem. Pada siang hari, suhu bisa mencapai 40 derajat celsius. Temperatur akan turun pada malam hari, diikuti dengan angin kencang.
Untuk itu, Direktur Lomba Lexi Rohi mengingatkan, peserta wajib mengikuti ketentuan dari buku petunjuk. ”Karena 60 persen wajah baru, peserta wajib membawa perlengkapan sesuai buku petunjuk,” ucapnya.
Dalam buku petunjuk, pelari disarankan membawa alat seperti tas kantong air, lampu reflektor, jaket tahan air, tali sepatu ekstra, serta lampu kepala dan cadangan baterai.
Menjelang lomba, panitia mengabarkan, dua peserta mengundurkan diri. Peserta tersisa 56 orang dari 58 pelari. Dua peserta itu dari kategori relay, Thomy Whibawa dan Desmon Andriano. Thomy harus mengikuti pendidikan kepolisian, sedangkan Desmon menderita usus buntu.
”Saya tiba-tiba sakit pinggang, setelah diperiksa ternyata usus akut dan harus dioperasi saat itu. Dokter enggak kasih izin buat ikut,” kata Desmon yang masih dalam pemulihan.
Walaupun dua peserta itu mundur, pasangan relay mereka tetap akan melanjutkan lomba sendirian dan hasilnya tidak masuk dalam penentuan juara. Dengan pengunduran diri tersebut, jumlah peserta relay menjadi 24 pelari. Sementara dalam kategori lain masih sama, yaitu 23 pelari individual dan 9 pelari ekshibisi. Dua hari jelang lomba, Lexy menyatakan, persiapan sudah sesuai harapan. Tim telah memeriksa rute lomba.