Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan. Di tengah tantangan yang semakin kompleks, perlu ada terobosan untuk menguatkan lembaga anti korupsi itu. Langkah ke arah ini memerlukan dukungan banyak pihak.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi kebutuhan mendesak. Di tengah tantangan yang semakin kompleks, perlu ada terobosan untuk menguatkan lembaga anti korupsi itu. Langkah ke arah ini memerlukan dukungan banyak pihak.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, perlu ada komitmen perbaikan terutama pada aspek tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mendukung langkah ini, dapat dilakukan dengan memperbarui Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga penindakan KPK bisa lebih luas.
"Banyak kejadian korupsi yang kecil-kecil tetapi tak ada yang menangani. Namanya korupsi tak hanya di birokrat, tetapi tingkah laku korupsi juga dilakukan banyak di antara kita yang swasta dan perorangan. Ini kebiasaan yang seperti pembiaran berlarut-larut," ujar Agus dalam peluncuran buku "KPK Berdiri untuk Negeri" di Jakarta, Senin (29/4/2019) .
Hadir di acara ini, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, dan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja.
Agus mengungkapkan kekecewaannya karena belakangan KPK malah diserang agar kekuatannya semakin berkurang. Sebagian penyidiknya menerima ancaman dan teror. Hal itu terceritakan secara detil dalam buku "KPK Berdiri untuk Negeri" yang ditulis oleh Arin Swandari, Cisya Satwika, dan Lilyani Harsulistyati. "KPK sangat berharap supaya terus diperkuat dengan UU yang mencakup banyak hal, bukan malah pembatasan," kata Agus.
Laode M Syarif pun mengaku kecewa jika KPK selalu dinilai tidak independen. Dia bahkan menyebut, tak ada satu partai pun yang bebas dari kasus korupsi. "Semua parpol yang ada di Indonesia, semua terwakili," tutur Laode.
Namun, lanjut Laode, KPK tak bisa bekerja sendiri dalam upaya memberantas korupsi. Seluruh elemen bangsa, menurut dia, harus ikut ambil bagian dalam upaya tersebut.
"Keberhasilan Indonesia dalam memberantas korupsi bukan hanya dilihat dari sisi penindakan, tetapi bagaimana korupsi itu secara signifikan berkurang di Indonesia lewat berbagai upaya pencegahan-pencegahannya. Dan itu, butuh kerja kolektif," kata Laode.
Pencegahan
Di forum yang sama, Endriartono Sutarto sepakat bahwa masyarakat tak bisa hanya berpegang pada peran KPK. Pencegahan itu lebih utama dibandingkan penindakan. Secara khusus, Endriartono menyoroti soal keberadaan inspektorat di birokrasi. Menurut dia, selama ini, peran inspektorat dalam upaya mencegah kasus korupsi di birokrasi tak terlihat. Buktinya, kasus-kasus korupsi di daerah, maupun kementerian tetap saja terjadi.
Seharusnya, lanjut Endriartono, jika terjadi korupsi, KPK harus mampu mempertanyakan peran inspektorat itu sendiri. "Yang diperiksa bukan hanya pelaku tetapi inspektur jenderalnya juga harus dimintai pertanggjungjawaban, sampai sejauh mana sudah melakukan tugas sehingga hal itu masih terjadi," katanya.
Dengan demikian, jika inspektorat itu terbukti tak melakukan pencegahan, maka mereka bisa didakwa telah melakukan pembiaran terhadap praktik korupsi.
Selain itu, Endriartono menuturkan, upaya mencegah korupsi juga bisa dilakukan dengan memberikan tuntutan hukuman setinggi-tingginya terhadap pelaku korupsi, juga sanksi sosial. "Hukuman-hukuman itu harus bisa mencegah orang lain untuk tidak korupsi lagi, harus menjadi salah satu upaya agar mereka menjadi jera," tuturnya.
Sementara itu, Sarwono Kusumaatmadja menambahkan bahwa tantangan pemberantasan korupsi semakin besar di era revolusi industri 4.0. Manusia diharapkan tak hanya cerdas dalam memanfaatkan teknologi, tetapi juga harus berakhlak. "Kehadiran teknologi ini bisa jadi bomerang bagi kita yang tidak siap secara etik dan akhlak karena korupsi bisa saja makin merajalela," ujar Sarwono.