Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bertanggung jawab atas persoalan-persoalan selama pelaksanaan pemilu serentak 2019. Pernyataan ini disampaikan menanggapi banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia akibat kelelahan dalam proses rekapitulasi suara.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bertanggung jawab atas persoalan-persoalan selama pelaksanaan pemilu serentak 2019. Pernyataan ini disampaikan menanggapi banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal dunia akibat kelelahan dalam proses rekapitulasi suara.
Banyak kalangan menilai, Pemilu 2019 merupakan pemilu paling kompleks karena pemilihan presiden dan wakil presiden digelar bersamaan dengan pemilihan calon anggota legislatif di tingkat daerah hingga pusat. Di banyak daerah, pemilih mencoblos lima surat suara, yaitu presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat RI, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakikan Rakyat provinsi, dan Dewan Perwakikan Rakyat kabupaten/kota.
Adapun, putusan Mahkamah Konstitusi mensyaratkan perpanjangan waktu 12 jam tanpa jeda untuk rekapitulasi suara yang belum tuntas dalam sehari. Sampai Senin (29/4/2019) pagi, KPU mencatat 296 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 2.151 anggota KPPS dilaporkan sakit.
"KPU akan bertanggung jawab terhadap semua persoalan. Namun, sekali lagi kemampuan KPU terbatas. KPU sudah berupaya mengantisipasi jatuhnya korban jiwa sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Namun, memang proses rekapitulasi membutuhkan waktu yang lebih lama dan tanpa jeda. Penyelenggara pemilu bekerja lebih keras," ucap Ketua KPU Arief Budiman dalam diskusi “Pemilu Serentak 2019: Jurdil dan Manusiawikah?” oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah bekerjasama dengan Kolegium Jurist Institute di Jakarta, Senin (29/4).
Salah satu langkah antisipasi yang telah dilakukan KPU ialah melakukan simulasi jumlah pemilih per tempat pemungutan suara (TPS). Arief menyebutkan, dengan jumlah 500 pemilih per TPS, proses pemungutan sampai rekapitulasi membutuhkan waktu lebih dari 24 jam.
KPU juga mencoba simulasi dengan 300 pemilih per TPS. Hasilnya, proses pemungutan sampai rekapitulasi berlangsung 16,5 jam. Namun KPU tidak mengambil opsi ini karena tidak efisien. "Mengurangi pemilih dari 500 jadi 300 akan menambah biaya pemilu. Biaya semakin besar dan boros karena jumlah TPS dan KPPS bertambah," ujarnya.
Selain itu, dalam proses perekrutan KPPS tidak ada proses tes kesehatan di rumah sakit. Arief menyebutkan, tes kesehatan hanya berlaku bagi anggota KPU dari pusat sampai kabupaten/kota.
Kurang siap
Beban kerja yang terlalu berat menjadi salah satu penyebab banyaknya KPPS yang menjadi korban jiwa. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, persiapan pemilu serentak 2019 kurang matang. Perekrutan KPPS terlalu mepet dan tidak terbuka sehingga penjaringan orang muda kurang maksimal.
Ia menjelaskan, UU Pemilu telah menyesuaikan kapasitas beban kerja dengan kemampuan penyelenggara. Batas usia minimal penyelenggara diturunkan dari 25 tahun menjadi 17 tahun. Namun memang belum ada ketentuan batas usia maksimal.
"Mepet dan tertutup. Akhirnya petugas KPPS kebanyakan berasal dari pensiunan, orang tua yang aktif di RT/RW. Sebaliknya saksi-saksi kebanyakan anak muda. Persiapan harus lebih matang dan jauh hari agar lebih banyak anak muda menjadi KPPS. Ini juga sebagai upaya pencegahan," ucap Titi.
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara Suwahju menambahkan, kedepannya untuk evaluasi dan pembahasan aturan maupun undang-undang pemilu sebaiknya terselenggara secara terbuka dengan pelibatkan banyak pihak. "Perlu banya masukan demi sistem dan manajemen yang lebih baik. Selama ini, proses pembahasan selalu tertutup," ujarnya.